Indonesia menganut sistem hukumCivil Law dan Amerika menganut sistem hukum Common Law. Apa itu ciri-ciri Civil Law dan Common Law?
Jawaban:
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sistem Hukum
Civil Law dan Common Law keduanya merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (hal. 235) berpendapat bahwa di dunia ini kita tidak jumpai satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Adapun sistem hukum yang dimaksud di sini meliputi unsur-unsur seperti: struktur, kategori, dan konsep. Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai.
Lebih lanjut Satjipto mengatakan bahwa kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Sistem Hukum Eropa Benua dan Sistem Hukum Inggris. Orang juga lazim menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System untuk yang pertama, dan Common Law System untuk yang kedua.[1]
Karakteristik Civil Law System
Ciri pokok Civil Law adalah sistem ini menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu tidak dikenal dalam sistemCommon Law.[2]
Menurut Nurul Qamar dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System (hal. 40):
Ciri atau Karakteristik Sistem Civil Law adalah:
1. Adanya sistem kodifikasi
2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang menjadi rujukan hukumnya yang utama.
3. Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial
Ad.1 Adanya sistem kodifikasi
Alasan mengapa sistem Civil Law menganut paham kodifikasi adalah antara lain karena demi kepentingan politik Imperium Romawi, di samping kepentingan-kepentingan lainnya di luar itu. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman hukum.[3] Agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan raja supaya ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum, perlu dipikirkan kesatuan hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya suatu kodifikasi hukum.[4]
Ad. 2 Hakim Tidak Terikat pada Preseden
Nurul mengutip pendapat Paul Scholten yang mengatakan bahwa maksud pengorganisasian organ-organ negara Belanda tentang adanya pemisahaan antar kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan peradilan dan sistem kasasi serta kekuasaan eksekutif, dan tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya, dengan cara tersebut maka terbentuklah yurisprudensi.[5]
Ad. 3 Peradilan Menganut Sistem Inkuisitorial
Dalam sistem ini hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam menilai bukti.[6]
Hakim di dalam sistem Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.[7]
Karakteristik dari Sistem Common Law
Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:[8]
1. Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama
2. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden
3. Adversary System dalam proses peradilan
Ad. 1 Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama
Ada 2 (dua) alasan mengapa yurisprudensi dianut dalam sistem Common Law, yaitu:[9]
a. Alasan psikologis
Alasannya adalah karena setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggungjawab atas putusan yang dibuatnya sendiri.
b. Alasan praktis
Diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering diungkapkan bahwa hukum harus mempunyai kepastian daripada menonjolkan keadilan pada setiap kasus konkrit.
Selain itu menurut sistem Common Law, menempatkan undang-undang sebagai acuan utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagi pula dengan berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan.[10]
Ad. 2 Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Preseden
Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.[11]
Maskipun dalam sistem Common Law, dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis, akan tetapi bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadlan, dengan melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Artinya, fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.[12]
Ad. 3. Adversary System dalam Proses Peradilan
Dalam sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing menggunakan lawyernya berhadapan di depan hakim. Para pihak masing-masing menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang berperkara merupakan lawan antar satu dengan yang lainnya yang dipimpin oleh lawyernya masing-masing.[13]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Referensi:
1. Nurul Qamar. 2010. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System.Makassar: Pustaka Refleksi.
2. Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
[1] Satjipto Rahardjo, hal, 235
[2] Satjipto Rahardjo, hal. 243
[3] Nurul Qamar, hal 40
[4] Nurul Qamar, hal 41
[5] Nurul Qamar, hal 46
[6] Nurul Qamar, hal 46
[7] Nurul Qamar, hal 47 (menurut Friedman)
[8] Nurul Qamar, hal 47
[9] Nurul Qamar, hal 47-48 (menurut Philip S. James)
[10] Nurul Qamar, hal 48
[11] Nurul Qamar, hal 49
[12] Nurul Qamar, hal 49
[13] Nurul Qamar, hal 49
Sumber : hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar