Selasa, 25 April 2017

Tugas Hukum Kepartaian & Pemilu

1. Uraikan sejarah kepartaian, termasuk sejarah kepartaian di Indonesia!
2. Sebutkan & jelaskan macam-macam Fungsi Parpol!
Uraikan tugas tersebut, carilah didalam buku berikut ini:
1. Jimly Asshiddiqie Pengantar Hukum Tata Negara
2. Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
Tuliskan dalam kertas folio bergaris, dikumpul tanggal 12 September 2019.

Perbedaan Karakteristik Sistem Civil Law dengan Common Law

Indonesia menganut sistem hukumCivil Law dan Amerika menganut sistem hukum Common Law. Apa itu ciri-ciri Civil Law dan Common Law?

Jawaban:

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sistem Hukum

Civil Law dan Common Law keduanya merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (hal. 235) berpendapat bahwa di dunia ini kita tidak jumpai satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Adapun sistem hukum yang dimaksud di sini meliputi unsur-unsur seperti: struktur, kategori, dan konsep. Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai.

 

Lebih lanjut Satjipto mengatakan bahwa kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Sistem Hukum Eropa Benua dan Sistem Hukum Inggris. Orang juga lazim menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System untuk yang pertama, dan Common Law System untuk yang kedua.[1]

 

Karakteristik Civil Law System

Ciri pokok Civil Law adalah sistem ini menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu tidak dikenal dalam sistemCommon Law.[2]

 

Menurut Nurul Qamar dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System (hal. 40):

Ciri atau Karakteristik Sistem Civil Law adalah:

1.    Adanya sistem kodifikasi

2.   Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang menjadi rujukan hukumnya yang utama.

3.    Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial

 

Ad.1 Adanya sistem kodifikasi

Alasan mengapa sistem Civil Law menganut paham kodifikasi adalah antara lain karena demi kepentingan politik Imperium Romawi, di samping kepentingan-kepentingan lainnya di luar itu. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman hukum.[3] Agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan raja supaya ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum, perlu dipikirkan kesatuan hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya suatu kodifikasi hukum.[4]

 

Ad. 2 Hakim Tidak Terikat pada Preseden

Nurul mengutip pendapat Paul Scholten yang mengatakan bahwa maksud pengorganisasian organ-organ negara Belanda tentang adanya pemisahaan antar kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan peradilan dan sistem kasasi serta kekuasaan eksekutif, dan tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya, dengan cara tersebut maka terbentuklah yurisprudensi.[5]

 

Ad. 3 Peradilan Menganut Sistem Inkuisitorial

Dalam sistem ini hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam menilai bukti.[6]

 

Hakim di dalam sistem Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.[7]

 

Karakteristik dari Sistem Common Law 

Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:[8]

1.    Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama

2.    Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden

3.    Adversary System dalam proses peradilan

 

Ad. 1 Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama

Ada 2 (dua) alasan mengapa yurisprudensi dianut dalam sistem Common Law, yaitu:[9]

a.    Alasan psikologis

Alasannya adalah karena setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggungjawab atas putusan yang dibuatnya sendiri.

b.    Alasan praktis

Diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering diungkapkan bahwa hukum harus mempunyai kepastian daripada menonjolkan keadilan pada setiap kasus konkrit.

 

Selain itu menurut sistem Common Law, menempatkan undang-undang sebagai acuan utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagi  pula dengan berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan.[10]

 

Ad. 2 Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Preseden

Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.[11]

 

Maskipun dalam sistem Common Law, dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis, akan tetapi bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadlan, dengan melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Artinya, fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.[12]

 

Ad. 3. Adversary System dalam Proses Peradilan

Dalam sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing  menggunakan lawyernya berhadapan di depan hakim. Para pihak masing-masing menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang berperkara merupakan lawan antar satu dengan yang lainnya yang dipimpin oleh lawyernya masing-masing.[13]

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Referensi:     

1.    Nurul Qamar. 2010. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System.Makassar: Pustaka Refleksi.

2.    Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

 

[1] Satjipto Rahardjo, hal, 235

[2] Satjipto Rahardjo, hal. 243

[3] Nurul Qamar, hal 40

[4] Nurul Qamar, hal 41

[5] Nurul Qamar, hal 46

[6] Nurul Qamar, hal 46

[7] Nurul Qamar, hal 47 (menurut Friedman)

[8] Nurul Qamar, hal 47

[9] Nurul Qamar, hal 47-48 (menurut Philip S. James)

[10] Nurul Qamar, hal 48

[11] Nurul Qamar, hal 49

[12] Nurul Qamar, hal 49

[13] Nurul Qamar, hal 49

Sumber : hukumonline.com

Sabtu, 22 April 2017

DOA MEMBELAH LANGIT

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Doa adalah mukh (ubun-ubun/inti) ibadah. Doa adalah silah (senjata) orang Mukmin. Begitulah Nabi saw. menggambarkan doa, dan betapa pentingnya doa. Doa yang dipanjatkan dengan sungguh-sungguh, benar-benar dari dalam hati, merasuk ke dalam seluruh bagian tubuh, sehingga apa yang terbersik dan terucap sama, akan mengantarkan kenikmatan tersendiri bagi seorang hamba di hadapan Rabb-Nya.

Ketika doa dipanjatkan dengan khusyu’, diulang tiga kali, dilakukan pada waktu-waktu mustajab, seperti saat sujud, waktu di antara adzan dan iqamat, dua pertiga malam terakhir, di saat Allah turun ke langit bumi, maka doa itu akan diijabah oleh Allah SWT. Apalagi, jika dilakukan di tempat-tempat mustajab, seperti Raudhah, Rukun Yamani, Multazam, Hijr Ismail, dan sebagainya. Maka, apapun kesulitan seorang hamba, akan diberikan jalan keluar oleh Allah SWT. Apapun kondisinya, pasti Allah akan memberikan jalan keluar yang terbaik untuknya.

Karena itu, kehidupan Nabi saw. mulai dari bangun tidur hingga mau tidur lagi, berisi doa. Karena doa adalah senjata dan inti ibadah seorang hamba kepada-Nya. Ketika mengalami kesulitan yang luar biasa, ‘Ali meminta isteri tercintanya, Fatimah datang menghadap ayahandanya tuk meminta bantuan. “Itu pasti ketukan Fatimah. Tidak biasanya dia datang kepadaku saat seperti ini. Tolong bukakan pintu untuknya.” Kata Nabi kepada Ummu Aiman. Di hadapan ayahandanya, Fatimah berkeluh, “Ayah, makanan para malaikat ialah mengagungkan, menyusikan dan memuji Allah. Tetapi, makanan kami kan lain?”

Nabi dengan penuh kasih memandang iba putri tercintanya sembari bertutur, “Sunggu, sejak sebulan ini tungku rumah keluarga Muhammad juga tidak menyala. Tetapi, baru saja aku diberi seekor kambing betina. Kalau kamu mau, aku akan usahakan lima ekor untukmu. Atau, kamu aku ajari lima kalimat yang pernah diajarkan Jibril kepadaku?” Tutur Nabi saw. kepada Fatimah. “Ajarilah saja aku lima kalimat yang pernah diajarkan Jibril kepadamu.” Jawab Fatimah.

Nabi pun mengajarkan lima kalimat itu, “Bacalah selalu:

ياَ أَوَّلَ الأَوَّلِيْنَ وَيَا آخِرَ الأَخِرِيْنَ، يَا ذَا الْقُوَّةِ الْمَتِيْنِ، وَيَا رَاحِمَ الْمَسَاكِيْنَ، وَياَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Ya Awwala al-awwalin wa ya Akhira al-akhirin ya Dza al-Quwwati al-matin, wa ya Rahima al-masakin, wa ya Arhama ar-rahimin.

“Wahai Dzat yang Maha Awwal, wahai Dzat yang Maha Akhir, wahai Dzat Pemilik kekuatan yang hebat, wahai Dzat yang Maha pengasih bagi orang-orang miskin, wahai Dzat yang Maha Pengasih..”

Fatimah pun pulang menemui suami tercintanya. Setiba di rumah, ‘Ali bertanya kepada isteri tercintanya itu, “Apa yang kamu bawa?” Jawab Fatimah, “Duniamu baru saja hilang, maka sekarang kubawakan untukmu akhirat.” Meski harus menahan lapar, ‘Ali pun menimpali ucapan isteri tercintanya itu dengan kata-kata indah, “Sungguh luar biasa hari-harimu, Fatimah.” [as-Suyuthi, Musnad Fathimah, hal. 7]

Iya, memang hanya doa yang diberikan Nabi saw. kepada putrinya. Tetapi, ketika doa itu dibaca, dipanjatkan dengan sepenuh jiwa dan raga, sembari menghadirkan “Dzat yang Maha Awwal, Dzat yang Maha Akhir, Dzat Pemilik kekuatan yang hebat, Dzat yang Maha pengasih bagi orang-orang miskin, dan Dzat yang Maha Pengasih..” maka doa yang dipanjatkan hamba-Nya itu pun sanggup membelah langit. Apa yang diminta pun tak kuasa ditahan oleh-Nya, kecuali pasti diberikan kepada hamba-Nya.

Lihatlah, bagaimana saat Nabi berdoa di malam Perang Badar. Setelah seluruh persiapan dilakukan, tinggal satu, mengharapkan pertolongan Allah SWT. Malam itu pun Nabi bersama sahabat melakukan shalat malam. Di belakangnya ada Abu Bakar as-Shiddiq. Doa yang dipanjatkannya pun tidak main-main:

اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ لا تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ

Allahumma in tuhlika hadzihi al-‘ishabata la tu’bad fi al-ardhi

“Ya Allah, sekiranya Engkau binasakan kelompok yang tersisa ini (dalam Perang Badar), maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi.” [Dikeluarkan Ibn Mundzir, al-Ausath fi as-Sunan]

Doa ini dipanjatkan di tengah pekatnya malam, saat Allah turun ke langit bumi. Diulang-ulang Nabi, dengan khusyu’, sambil menangis hingga tubuh baginda yang mulia itu bergetar, sampai surbannya jatuh. Abu Bakar yang berada di belakang Nabi pun memungut surban itu, lalu bertutur kepada Nabi, “Cukup ya Rasul, cukup ya Rasul, Allah pasti telah mendengarkan doa Tuan.” Maka, lihatlah kemudian, Allah menurunkan 5000 pasukan malaikat-Nya untuk membantu Nabi saw.

Ketika Nabi dikepung pasukan koalisi, yang terdiri dari kaum Kafir Quraisy, Yahudi dan kabilah-kabilah lain, saat Perang Khandak, setelah seluruh persiapan dilakukan, dan rencana penjanjian dibatalkan, Nabi saw bermunajat kepada Allah di atas bukit. Tiga malam berturut-turut, Nabi saw. memanjatkan doa:

اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيْعَ الْحِسَابِ، اللَّهُمَّ اهْزِمِ الأحْزَابَ، اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ

Allahumma ya Munzila al-kitab, Sari’a al-hisab, Allahumma ahzimh al-Ahzab, Allahumma ahzimhum wa zalzilhum..

“Ya Allah, Dzat yang Maha menurunkan Kitab (al-Qur’an), yang Maha Cepat perhitungan-Nya, ya Allah kalahkanlah pasukan koalisi (musuh), ya Allah kalahkanlah mereka, dan goncanglah mereka..” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Doa-doa yang dipanjatkan di tengah malam ini, diulang-ulang, bahkan hingga tiga malam berturut-turut, dipanjatkan dengan khusyu’ dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah SWT, akhirnya doa itu pun sanggup membelah langit, dan Allah pun tak kuasa menahan, kecuali mengabulkan apa yang diminta. Allah pun memberikan pertolongan kepada hamba-Nya di saat genting seperti itu. Setelah doa itu dipanjatkan, Abu Sa’id al-Khudri menuturkan, “Allah SWT memukul musuh-musuh kami dengan angin. Allah pun mengalahkan mereka dengan angin.” [Hr. Ahmad dalam Musnad]

Begitulah Nabi mengajarkan doa, dan bagaimana kekuatan doa bagi hamba-hamba-Nya. Dalam kitab Tarikh Dimasyqa dituturkan, suatu ketika ada seorang yang tengah melintasi Jabal Lubnan, dihadang oleh begal. Begal itu pun menghunus pedang, siap membunuhnya. Sebelum begal itu membunuhnya, orang tadi meminta izin shalat 2 rakaat. Dia pun ingat firman Allah:

أَمَّنْ يُجِيْبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْءَ [سورة النمل: 62]

“Siapakah yang memperkenankan doa orang yang dalam kondisi terjepit, ketika dia berdoa kepada-Nya.” [Q.s. an-Naml: 62]

Ayat ini dibaca dengan khusyu’, diulang tiga kali. Begitu salam, begal itu pun sudah tewas. Di sana ada seorang lelaki tegap berdiri. Orang ini bertanya kepada lelaki itu, “Siapa Anda?” Dia menjawab, “Aku adalah malaikat penunggu gunung. Aku diutus Allah untuk menolongmu. Saat Engkau membaca ayat itu sekali, Allah terpanggil. Ketika Engkau baca yang kedua, Arsy-Nya pun bergetar. Ketika Engkau baca yang ketiga, maka Dia pun tak kuasa menahan, kecuali memenuhi permohonanmua.”

Begitulah, kekuatan doa. Maka, Nabi saw. tak pernah melupakan doa, baik berdoa sendiri maupun meminta didoakan. Ketika ‘Umar berangkat haji, Nabi saw. pun menyelipkan pesan, “Umar, jangan Engkau lupakan aku dalam doamu.” Subhanallah..

Semoga kita bisa mengisi hari, jam, menit dan tiap detik dalam kehidupan kita dengan doa. Dengannya, langit akan terbuka, dan Allah pun akan mengabulkan semua permintaan kita. Maka, doa pun menjadi ubun-ubun ibadah dan senjata kekuatan kita. Amin

Hafidz Abdurrahman..

Kamis, 13 April 2017

Arsil: "Istilah Makar Digunakan dengan Salah Kaprah"

Undang-undang Pidana (KUHP). Kemudian dengan mudah pasal tersebut dimanfaatkan menjaga kekuatan politik. Menurut Arsil, istilah makar dalam pasal-pasal di KUHP Indonesia memendam masalah. Kata makar dipaksakan menjadi arti dari istilah Belanda "anslaag". Padahal kata makar sendiri merupakan istilah serapan dari bahasa Arab. 

Hingga kini ada berbagai jenis makar yang tersebar di KUHP. Beberapa di antaranya Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan presiden dan wakil presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar pemerintahan, Pasal 139a makar wilayah negara sahabat, Pasal 139b makar pemerintahan sahabat, Pasal 140 makar raja atau kepala negara sahabat.

“Istilah makar itu harus diganti dengan 'serangan'. Bisa 'serangan berat', 'serangan bersenjata‎'. Kata dasarnya harus 'serangan', entah itu berat atau ringan. Harus dengan unsur serangan untuk melawan presiden dan menggulingkan pemerintah,” ungkapnya. Ini penting agar bisa dibedakan dengan sekadar mengkritik pemerintah, sekeras apa pun kritik itu.

Berikut perbincangan reporter Tirto, Dieqy Hasbi Widhana dengan Arsil. 

Bagaimana pasal makar yang diambil dari kata "Anslaag" (bahasa Belanda) bisa disalahgunakan sampai sekarang? 

Istilah "makar" digunakan dengan salah kaprah. Itu berasal dari bahasa Arab dan kita tidak mengenal istilah itu sehari-hari. Makar itu kemudian menjadi salah satu unsur dari pasal KUHP. Ada beberapa pasal di KUHP yang menggunakan istilah makar. ‎

Makar itu sendiri apa? Kita harus kembali ke KUHP bahasa Belanda. Jadi (istilah) makar ini (muncul untuk) menggantikan (kata) apa sih? Makar itu sebenarnya menggantikan "anslaag". Makar di dalam KBBI (termutakhir) itu ada tiga arti. Satu itu artinya tipu muslihat. Kedua, dengan maksud membunuh atau menyerang. Ketiga, menggulingkan pemerintah. Nah, arti kedua dan ketiga itu sebenarnya didapat dari praktik, penerapan pasal-pasal yang di KUHP. Jadi bukan arti yang sebenarnya. 

Sekarang kita mengenal makar itu seakan-akan upaya menggulingkan pemerintah. Padahal bukan itu, kita harus kembali ke istilah aslinya yaitu "anslaag" yang artinya serangan atau violence attack

Ketika orang menggunakan istilah makar, itu sebenarnya yang di kepalanya adalah kudeta. Jadi sebaiknya gunakan istilah kudeta saja dibanding makar. Lebih baik kudeta. 

Sekarang makar itu, kan, diartikan upaya menggulingkan pemerintah. Nah, sementara pasal yang dirujuk, yaitu pasal 107, bunyinya: makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah. Jadi ketika makar diartikan sebagai menggulingkan pemerintah, menjadi redundant bunyinya. Upaya penggulingan pemerintah dengan maksud menggulingkan pemerintah. Menjadi tidak jelas bentuk perbuatan yang dilarang akan seperti apa. 

Kalau dibalikkan ke (istilah) aslinya, maka bentuknya harus serangan, tidak bisa sekadar rencana. Misalnya kita duduk-duduk terus bilang: 'Wah kita mesti jatuhkan pemerintah, nih. Gimana caranya? Misalnya, dengan cara demo setiap hari di depan istana.' Apakah yang seperti itu bisa dipidana? Ya enggak, kalau kita mengartikan ke istilah aslinya bahwa makar itu serangan. Demonstrasi itu bukan serangan. 

Itu masalahnya karena salah penafsiran "aanslag"? Dulu menafsirkan "anslaag" dalam bahasa Indonesia menjadi makar mengacu pada apa?

Istilah makar menggantikan "anslaag" itu terjadi mulai 1920. Itu diambil dari Balai Pustaka. Kita enggak tahu apakah arti makar dulu pada tahun segitu memang setara dengan "anslaag" atau tidak. Tapi sekarang sudah tidak setara. Seharusnya istilah (anslaag) dikembalikan lagi menjadi serangan. Melakukan penyerangan. 

Jadi untuk bisa dipidana karena kudeta, harus ada suatu bentuk serangan (ini baru sesuai dengan makna "aanslag"). Kemudian kita bisa berdebat soal bentuk serangan itu harus seperti apa. Apakah memakai senjata, melakukan penyerbuan segerombolan orang. 

Apakah syarat terpenuhinya tuduhan penggulingan pemerintahan itu berupa pemakaian senjata?

Intinya adalah bisa dengan atau tanpa senjata, tapi harus ada paksaan, force. Kalau di KUHP Jerman, yang setara dengan pasal 107 KUHP itu setara dengan pasal 81 KUHP Jerman. KUHP Jerman memakai istilah force, kekuatan. Jadi untuk bisa dipidana dengan melakukan upaya penggulingan pemerintah harus ada kekuatan yang nyata, baik serangan memakai senjata maupun tidak. Begitu juga makar untuk membunuh, pasal 104 KUHP itu harus ada serangan. Tanpa serangan gak bisa. 

Tapi apa yang dimaksud dengan menyiapkan massa berkekuatan nyata? Harus menggandeng militer agar bisa terpenuhi unsur perlawanan setara dengan pemerintah?

Bisa iya, bisa tidak. Misal gini ilustrasinya, ada ribuan orang digerakkan untuk menyerbu Istana Presiden. Maka itu suatu bentuk kekuatan, suatu bentuk ancaman yang nyata kepada presiden. Misalnya, untuk memaksa turun atau melakukan sesuatu. Intinya ada kekuatan yang besar untuk membuat kekacauan. Sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jadi gak harus memakai senjata. 

Bagaimana pola penerapan pasal makar untuk melindungi kekuasaan pemerintahan selama ini?

Banyak penerapan yang salah karena memakai istilah makar di kasus kelompok-kelompok separatis. Banyak orang yang ditangkap. Contoh yang kemarin (1 Desember), orang Papua demo minta kemerdekaan, yang mereka lakukan adalah demonstrasi bawa bendera, apakah itu serangan? Bukan, itu demonstrasi. Orang-orang Papua terlepas memiliki kehendak untuk melepaskan diri dari Indonesia, ketika yang mereka lakukan hanya upacara memperingati hari kemerdekaan mereka, mengibarkan bendera bintang kejora ditangkap. Apakah itu bentuk serangan? Enggak. 

Lantas bagaimana seharusnya memisahkan upaya menyampaikan pendapat atau berekspresi, dengan upaya melakukan serangan atau "aanslag"?

Harus ada serangan. Kan kita tahu, ketika tujuan dari demo itu untuk membuat kerusuhan, dengan demo sekedar demo. Kan kita tahu yang mana kemudian jahat dan yang tidak. Mana yang untuk kebebasan berekspresi, mana yang untuk lebih dari itu. 

Tujuan dari demonstrasi dan rencana demonstrasi untuk rusuh, itu bukan demonstrasi. Kalau dalam demonstrasi timbul kerusuhan karena bentrok, itu lain soal. Tapi kalau bentrok itu sudah direncanakan, maka itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk serangan. Karena sudah direncanakan dan bukan lagi demonstrasi. 

Jika mengambil contoh penggunaan pasal makar di pemerintahan Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowi, bagaimana mereka menggunakan pasal karet yang salah istilah ini?

Menurut saya ketiganya sama. Kalau penggunaan pasal makar, Soeharto sangat sedikit. Kenapa begitu, karena dulu punya undang-undang Subversif. Nah undang-undang Subversif itu rumusannya sangat lentur. Upaya untuk merongrong dan segala macam. Kemudian unsur merongrong menjadi sangat luas, jadi tidak harus berupa serangan, lebih luas dibanding pasal-pasal di KUHP. Sehingga orang rapat-rapat, pertemuan saja bisa ditangkap. Itu yang digunakan Orde Baru. 

Kemudian pasca 1999 undang-undang Subversif itu dicabut. Akhirnya kita kembali ke KUHP. Tapi penerapan pasal-pasal makar ini (dilakukan dengan kelenturan) seperti penerapan undang-undang Subversif. Kenapa itu terjadi di semua rezim pemerintahan, ya karena istilah makar itu sendiri. Menjadi tidak jelas apa sih yang dimaksud makar. 

Tanya saja dengan ahli pidana, apa yang dimaksud makar. Pasti sebagian akan bilang, makar itu penggulingan pemerintah. Sebagian lagi akan bilang makar itu upaya penggulingan pemerintah. Sangat jarang pakar pidana kita mengartikan makar itu sebagai serangan. 

Di era SBY banyak orang Papua yang ditangkapi karena pengibaran bendera Bintang Kejora, karena merayakan hari kemerdekaan mereka. Apakah itu suatu ancaman yang sedemikian serius sehingga perlu dipidana? Enggak. Saya tulis di blog saya, tulisan pertama soal makar justru soal kasus-kasus di Papua, Maluku Selatan. Itu yang ditangkap adalah orang-orang yang sekadar melakukan upacara pengibaran bendera. 

Kalau kita kembali ke hakikat pasal-pasal ‎keamanan negara dalam rumusan asli bahasa Belanda, kemudian kita terjemahkan ke bahasa Indonesia, perbuatan-perbuatan itu tidak cukup untuk bisa dikatakan sebagai sebuah serangan. Sehingga tidak mempunyai unsur pasal 104, 106, 107.

Jadi ini terlepas dari rezim pemerintahan yang ada. Kesalahan-kesalahan itu terjadi bukan sekadar karena pemerintah itu represif, tapi karena kesalahan dalam memaknai atau mengartikan "anslaag". 

Apa seharusnya DPR menghapus seluruh pasal makar atau mengubah definisinya agar jelas batasan-batasan perlakuan yang bisa dikenakan pasal makar?

Istilah makar itu harus diganti dengan "serangan". Bisa serangan berat, serangan bersenjata‎. Kata dasarnya harus "serangan", entah itu berat atau ringan. Harus dengan unsur serangan untuk melawan Presiden dan menggulingkan pemerintah. Jadi pasal-pasalnya tetap sama karena itu ada di negara manapun. Tapi unsur maknanya diganti dengan istilah yang lebih pas dengan "anslaag". 

Sejauh ini, pada saat seperti apa pemerintah menggunakan pasal ini? Di saat terancam, takut gaduh atau kekuasaannya takut dikeroposi?

Sekarang enggak. Kalau di Jakarta, iya. Tapi coba lihat hari Kamis kemarin, orang-orang Papua ditangkapi. Karena menuntut kemerdekaan. Nah sehari setelah itu, entah ada berapa ratus ribu massa demo juga tapi enggak diapa-apain. Orang demo dengan membawa bendera Slank enggak diapa-apain, padahal enggak ada bedanya bendera Slank dengan bendera Bintang Kejora. Yang beda adalah ketika kehendak itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

Apa yang terjadi jika istilah "anslaag" menjadi makar tak segera diubah? Persitiwa diskriminatif dan kekerasan HAM apa yang akan terus berulang?

Ketika pasal ini tidak diluruskan akan bisa ditafsirkan macam-macam. Yang paling kena dampaknya bukan orang Jakarta. Ini akan lebih banyak dikenakan kelompok-kelompok di Papua dan Maluku yang pada akhirnya justru membuat gerakan itu semakin besar. 

Pasalnya makar sebenarnya tidak melanggar, di negara manapun ada pasal itu. Karena tidak mungkin ada negara yang ingin dikudeta. Belanda juga menggunakan hal itu tapi dengan istilah "anslaag". Yang jadi masalah kata "serangan" yang lebih dekat dengan "anslaag" diganti dengan makar, jadinya tidak jelas (multitafsir atau pasal karet). Jadi sangat lentur, sangat. Kalau hukum pidana tidak boleh diartikan sangat lentur, tidak boleh dua arti, harus penafsiran tunggal. 

Menjadi masalah ketika kita menerjemahkan pasal (anslaag) itu ke bahasa Indonesia. Pemerintah tidak pernah mengeluarkan terjemahan resmi untuk KUHP. Istilah makar harus dibuang. Kalaupun dipakai, diperuntukkan sebagai bentuk penggulingkan pemerintah dengan kekerasan. 

Sumber: https://tirto.id/istilah-makar-digunakan-dengan-salah-kaprah-b7GJ

SEKULAR-RADIKAL

Oleh :
Arief B.Iskandar

Kata radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar. Dalam kamus, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I, 2008).

Dalam pengertian ini, jelas kata radikal sebetulnya bersifat ’netral’. Ia bisa disematkan untuk hal yang positif ataupun negatif. Positif-negatif istilah radikal tentu bergantung pada fakta: dengan kata apa istilah tersebut dipasangkan. Jika pasangan katanya positif, harusnya frasa yang dihasilkan juga positif. Jika pasangan katanya negatif, tentu frasa yang dihasilkan juga negatif.

Jika mengacu pada definisi radikal sesuai kamus di atas, ’Muslim radikal’, misalnya, berarti Muslim yang sangat memegang prinsip (keyakinan) Islam, yang keras menuntut perubahan (tentu perubahan ke arah Islam), serta maju dalam berpikir dalam bertindak (secara islami). Salahkah sikap demikian? Tentu tidak. Bahkan inilah yang seharusnya ditunjukkan oleh setiap orang yang mengaku Muslim.

Bagaimana dengan ’koruptor radikal’? Jika mengacu pada definisi radikal sesuai dengan kamus di atas, ’koruptor radikal’ berarti mereka yang memegang teguh prinsip korupsi, menuntut secara keras perubahan (tentu ke arah sistem yang korup), serta berpikir dan bertindak maju dalam hal korupsi.

’Koruptor radikal’ saat ini sudah lama ’bergentayangan’ di negeri ini. Banyak di antara pejabat negara atau para anggota wakil rakyat yang benar-benar memegang teguh prinsip korupsi. Mereka pun menghendaki agar sistem pemerintahan dan perundang-undangan tetap memberikan peluang bagi mereka untuk korupsi.

Karena itu mereka akan selalu berada di garda terdepan dalam mendukung sistem demokrasi. Sebab, hanya dalam sistem demokrasilah dimungkinkan adanya ruang korupsi yang leluasa bagi mereka. Buktinya, sekadar contoh, mayoritas kepala daerah saat ini telah menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka ini tentu dipilih secara langsung lewat mekanisme demokrasi. Hanya dalam sistem demokrasi pula mereka bisa dengan mudah melenggang bebas dari jeratan kasus-kasus korupsi yang mereka lakukan. Buktinya, banyak di antara para koruptor itu yang tidak tersentuh hukum. Kalaupun mereka menjadi tersangka, terdakwa atau bahkan sudah divonis bersalah, mereka bisa dengan mudah bebas. Kalaupun mereka dipenjara, mereka tetap bisa mendapat fasilitas istimewa, bahkan bisa tetap keluar-masuk menghirup udara segar meski mereka berstatus sebagai tahanan.

Para koruptor itu pun menghendaki, kalau bisa, UU yang ada tidak boleh menghalangi mereka untuk korupsi. Bahkan kalau mungkin, tidak perlu ada lembaga anti korupsi semacam KPK karena itu akan mengancam mereka. Wacana pembubaran KPK yang pernah beberapa  kali diusulkan membuktikan hal itu.

Mereka ini juga termasuk yang cukup maju dalam berpikir dan bertindak, tentu dalam hal korupsi. Akibatnya, korupsi tidak lagi tampak sebagai hal yang ilegal, karena telah dilegalkan oleh UU yang mereka buat. Pada akhirnya, gaji besar, tunjangan yang tinggi, fasilitas yang mewah dan biaya pelesiran yang selangit—tentu di tengah kemiskinan puluhan juta rakyatnya—tidak dipandang sebagai korupsi karena memang dijamin UU. Mark-up anggaran juga hal yang biasa dan tidak dianggap korupsi jika tidak bertentangan dengan UU. Ya, cara mereka berpikir dan bertindak dalam hal korupsi memang amat maju. Mereka memang layak disebut ’koruptor radikal’. Padahal menjadi koruptor saja haram, apalagi ’koruptor radikal’. Karena itu, saat ini negeri ini sebetulnya lebih membutuhkan proyek ’deradikalisasi koruptor’—agar mereka kapok korupsi—ketimbang deradikalisasi yang menyasar para pejuang syariah dan Khilafah atas nama Perang Melawan Terorisme.

Lalu bagaimana dengan ’sekular radikal’? Kaum sekular (pengusung paham sekularisme) tidak lain adalah mereka yang menolak peran agama (syariah) dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Mereka percaya bahwa agama (Islam) hanya layak mengatur urusan ritual, spiritual atau moral belaka; tidak boleh mengatur
urusan pemerintahan, politik, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dll.

Karena itu, lagi-lagi jika mengacu pada definisi radikal sesuai kamus di atas, maka ’sekular radikal’ adalah siapa saja yang memegang teguh prinsip sekularisme, yang mempertahankan secara keras sekularisme, serta yang berpikir dan bertindak maju dengan paham sekularismenya. Jika dia penganut Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain, sikap demikian tentu wajar belaka. Sebab, agama-agama tersebut memang hanya mengatur urusan ritual, spiritual dan moral belaka. Di sisi lain, mereka tetap membutuhkan pengaturan kehidupan ekonomi, politik, pemerintahan, sosial-budaya, dsb; yang tentu tidak disediakan oleh agama mereka. Dalam ajaran agama mereka tidak dikenal ’sistem pemerintahan Kristen’, atau ’sistem politik Budha’, atau ’sistem pemerintahan Hindu’, dst. Karena itu, jika para penganut non-Islam tersebut menjadi ’sekular radikal’ dengan mengambil ideologi dan sistem Kapitalisme, maka klop-lah.

Lalu bagaimana jika itu malah dipraktikkan juga oleh seorang Muslim sehingga ia pun menjadi ’sekular radikal’? Tentu saja salah besar! Menjadi sekular saja haram, apalagi ’sekular radikal’. Sebab, Islam adalah agama sekaligus ideologi. Islam mengatur semua aspek kehidupan. Islam mengatur masalah ritual, spiritual dan moral. Islam juga mengatur urusan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan, dll. Karena itu, aneh jika ada Muslim, apalagi tokoh Islam, yang tidak mendukung (bahkan menolak dengan keras) penerapan syariah Islam dalam negara sembari menganggap bahwa negara ini—yang nyata-nyata mengadopsi ideologi dan sistem Kapitalisme—sudah final bagi umat Islam. Mereka pun, sebagaimana Barat yang kafir, menuduh para pengusung syariah dan Khilafah sebagai ’Muslim radikal’. Sebaliknya, mereka mengklaim sebagai ’Muslim moderat’. Padahal ’Muslim moderat’—jika memang menolak syariah dan Khilafah—hakikatnya radikal juga, yakni ’sekular radikal’.

Karena itu, lagi-lagi yang lebih dibutuhkan negeri ini sesungguhnya adalah proyek ’deradikalisasi’ yang menyasar kaum ’sekular radikal’ ini. Tujuannya tentu agar mereka bisa mengubah pandangannya yang sekular menjadi islami. Dengan itu diharapkan mereka bukan hanya mendukung penerapan syariah dan Khilafah, tetapi bahkan mau terlibat bersama-sama dalam mewujudkannya di negeri ini khususnya, dan di Dunia Islam umumnya. Mari kita doakan mereka!

==============

JURUS-JURUS KAPITALISME MENGUASAI DUNIA

Tulisan bagus untuk yang masih awam mengenai mekanisme kerja sistem ekonomi kapitalisme. Sangat renyah, terutama bagi yg tak pernah mencicipi kuliah ilmu ekonomi

Jurus-jurus Kapitalisme Menguasai Dunia

Dwi Condro, Ph.D (Penulis Buku Ekonomi Mazhab Hamfara dan Ekonomi Pasar Syariah)

Saat ini sistem ekonomi kapitalisme sudah berjalan lebih dari 200 tahun lamanya. Sistem ekonomi ini ternyata telah menjadi “alat” yang sangat ampuh bagi kaum kapitalis untuk melakukan hegemoni ekonomi di tingkat nasional maupun di tingkat global.

Paling tidak ada 14 jurus dari kaum kapitalis untuk melakukan hegemoni ekonomi, baik di tingkat nasional maupun dunia.

Jurus 1.

Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital. Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.

Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan apa?

Jurus 2.

Kaum kapitalis merasa perlu membuat mesin “penyedot uang” yang lebih ampuh lagi, yaitu pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan apa lagi?

Jurus 3.

Kaum kapitalis lalu mengunakan jurus ketiga, yaitu “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 4.

Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air dsb. Dengan apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Tentu dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 5.

Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka jurus berikutnya adalah “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN). Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu-persatu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 6.

Jika pada jurus kelima kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya? Jurusnya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha.

Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, karena biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kaum kapitalis sudah mencapai 6 jurus ini, maka hegemoni ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya?

Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul jurus-jurus berikutnya, yaitu jurus untuk melakukan hegemoni di tingkat dunia.

Jurus 7.

Jurus ketujuh adalah jurus untuk membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Caranya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 8.

Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka jurusnya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus menggunakan jurus yang kedelapan, yaitu membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Caranya adalah dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) di negara-negara sasarannya.

Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 9.

Apakah dengan membuka MNC belum cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Dengan jurus kesembilan. Jika kapitalis dunia ingin menjadi besar lagi, caranya adalah dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya jurus ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.

Jurus 10.

Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan apa? Jurus kesepuluh adalah jurus untuk menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Caranya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya.

Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?

Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.

Jurus 11.

Jurus yang kesebelas adalah jurus untuk menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut, yaitu dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya. Apa targetnya?

Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi.

Jurus 12.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, jurus-jurus hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan jurus yang keduabelas. Jurus inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya?

Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.

Nah, apakah ini sudah cukup? Jika kaum kapitalis sudah mencapai 12 jurus ini, maka hegemoni ekonomi di tingkat dunia nyaris terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya?

Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa?

Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan jurus berikutnya.

Jurus 13.

Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini.

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu?

Jurus 14.

Jurus pamungkas dari kaum kapitalis untuk menghadapi krisis ekonomi ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.

Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia. []

Sabtu, 08 April 2017

MEWASPADAI POLITIK ADU DOMBA ANTAR UMAT ISLAM

Kalau dahulu zaman penjajahan kita mengenai Politik Belah Bambu yang digunakan penjajah ketika itu untuk mengadu domba rakyat, sehingga mereka pun tidak perlu direpotkan "cuci tangan" jika terjadi konflik dalam masyarakat. Nama lain yang sejenis ada juga Devide et impera, yang pada intinya sama-sama ingin mengadu domba antar masyarakat, dengan tujuan agar kekuasaan (hegemoni) mereka tetap bertahan atau berkuasa.

Sekarang pun pola atau saudara kembarnya pun mulai muncul dengan strategi PECAH BELAH SESAMA KELOMPOK ISLAM ala Rand Corporation. Sehingga dengan pola seperti itu mereka "Negara-Negara Kapitalisme" yang mengusung ide Kapitalisme/Liberalisme seolah-olah "Cuci Tangan" terhadap konflik yang terjadi, padahal merekalah saat ini yang memegang "kuasa" atas dunia, baik itu dari sisi penguasaan Sumber Daya Alam dalam suatu negara, dsb. Karena MUSUH YANG SEBENARNYA adalah ideologi Kapitalisme/Liberalisme yang diusung oleh negara yang menganut ideologi tersebut.

Sehingga berdasarkan hal ini sudah sepatutnyalah kita harus WASPADA terhadap politik adu domba tersebut, musuh kita sebenarnya adalah ide (ideologi) Kapitalisme Liberalisme yang diusung oleh negara-negara pengusungnya karena kepentingan hawa nafsu berkuasa mereka atas dunia saat ini (hegemoni kekuasaan).

RAND Corp sendiri adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS). Sebelumnya ia perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica-California, yang kemudian beralih menjadi think tank (dapur pemikiran) dimana dana operasional berasal dari proyek-proyek penelitian pesanan militer. Mungkin bisa jadi agar dengan adanya konflik di suatu negara mereka dapat memperoleh keuntungan dalam penjualan senjata mereka kepada negara-negara yang terlibat dalam konflik tersebut.

Garis besar dokumen Rand berisi kebijakan AS dan sekutu di Dunia Islam. Inti hajatannya adalah mempeta-kekuatan (MAPPING), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai (kemasan) pola, program bantuan, termasuk berkedok capacity building dan lainnya.

Sedang dokumen lain senada, terbit Desember tahun 2004 dibuat oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) atau NIC bertajuk Mapping The Global Future. Tugas NIC ialah meramal masa depan dunia.

Tajuk NIC di atas pernah dimuat USA Today, 13 Februari 2005 -- juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005.

Inti laporan NIC tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya ialah sebagai berikut:

(1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia;

(2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS;

(3) A New Chaliphate: Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat; dan

(4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia). Yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia -- kekerasan akan dibalas kekerasan.

Jujur harus diakui, ke-empat perkiraan NIC kini riil mendekati kebenaran terutama jika publik mengikuti “opini global” bentukan media mainstream yang dikuasai oleh Barat.

Isi dokumen NIC di atas menyertakan pandangan 15 Badan Intelijen dari kelompok Negara Barat. Tahun 2008 dokumen ini direvisi kembali tentang perkiraan atas peran AS pada tata politik global. Judulnya tetap Mapping The Global Future, cuma diubah sedikit terutama hegemoni AS era 2015-an diramalkan bakal turun meski kendali politik masih dalam cengkeraman.

Tahun 2007, Rand menerbitkan lagi dokumen Building Moderate Muslim Networks, yang juga didanai oleh Smith Foundation. Dokumen terakhir ini memuat langkah-langkah membangun Jaringan Muslim Moderat pro-Barat di seluruh dunia. Baik Rand maupun Smith Foundation, keduanya adalah lembaga berafiliasi Zionisme Internasional dimana para personelnya merupakan bagian dari Freemasonry-Illuminati, sekte Yahudi berkitab Talmud.

Gerakan tersebut memakai sebutan “Komunitas Internasional” mengganti istilah Zionisme Internasional. Maksudnya selain menyamar, atau untuk mengaburkan, juga dalam rangka memanipulasi kelompok negara non Barat dan non Muslim lain. Pada gilirannya, kedua dokumen tadi diadopsi oleh Pentagon dan Departemen Luar Negeri sebagai basis kebijakan Pemerintah AS di berbagai belahan dunia.

Berikut ialah inti resume dari Agenda dan Strategi Pecah Belah yang termuat pada kedua dokumen tersebut, antara lain:

Pertama, Komunitas Internasional menilai bahwa Dunia Islam berada dalam frustasi dan kemarahan, akibat periode keterbelakangan yang lama dan ketidak-berdayaan komparatif serta kegagalan mencari solusi dalam menghadapi kebudayaan global kontemporer;

Kedua, Komunitas Internasional menilai bahwa upaya umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran adalah suatu ancaman bagi peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban);

Ketiga, Komunitas Internasional menginginkan Dunia Islam yang ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global;

Keempat, Komunitas Internasional perlu melakukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan, serta pengaturan strategi dengan pengolahan sumber daya yang ada di Dunia Islam;

Kelima, Komunitas Internasional mesti mempertimbangkan dengan sangat hati-hati terhadap elemen, kecenderungan, dan kekuatan-kekuatan mana di tubuh Islam yang ingin diperkuat; apa sasaran dan nilai-nilai persekutuan potensial yang berbeda; siapa akan dijadikan anak didik; konsekuensi logis seperti apa yang akan terlihat ketika memperluas agenda masing-masing; dan termasuk resiko mengancam, atau mencemari kelompok, atau orang-orang yang sedang dibantu oleh AS dan sekutunya;

Keenam, Komunitas Internasional membagi Umat Islam ke dalam Empat Kelompok, yaitu:

(1) Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat Kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan Syariat Islam;

(2) Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan. Mereka berpegang kepada substansi ajaran Islam tanpa peduli kepada formalisasinya;

(3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas;

(4) Sekularis: kelompok masyarakat Islam Sekuler yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan privasi dan dipisah sama sekali dari urusan negara.

Ketujuh, Komunitas Internasional menetapkan strategi terhadap tiap-tiap kelompok, sebagai berikut:

1) Mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis dengan tata cara sebagai berikut:

(a) menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan ketidak-akuratannya;

(b) mengungkap keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok dan aktivitas-aktivitas illegal;

(c) mengumumkan konsekuensi dari tindak kekerasan yang mereka lakukan; (d) menunjukkan ketidak-mampuan mereka untuk memerintah;

(e) memperlihatkan ketidak-berdayaan mereka mendapatkan perkembangan positif atas negara mereka dan komunitas mereka;

(f) mengamanatkan pesan-pesan tersebut kepada kaum muda, masyarakat tradisionalis yang alim, kepada minoritas kaum muslimin di Barat, dan kepada wanita;

(g) mencegah menunjukkan rasa hormat dan pujian akan perbuatan kekerasan kaum fundamentalis, ekstrimis dan teroris;

(h) kucilkan mereka sebagai pengganggu dan pengecut, bukan sebagai pahlawan;

(i) mendorong para wartawan untuk memeriksa isue-isue korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran kaum fundamentalis dan kaum teroris;

(j) mendorong perpecahan antara kaum fundamentalis.

2) Beberapa aksi Barat memojokkan kaum fundamentalis adalah dengan menyimpangankan tafsir Al-Qur’an,

Contoh: mengharaman poligami pada satu sisi, namun menghalalkan perkawinan sejenis di sisi lain; mengulang-ulang tayangan aksi-aksi umat Islam yang mengandung kekerasan di televisi, sedang kegiatan konstruktif tidak ditayangkan; kemudian “mengeroyok” dan menyerang argumen narasumber dari kaum fundamentalis dengan format dialog 3 lawan 1 dan lainnya; lalu mempidana para aktivis Islam dengan tuduhan teroris atau pelaku kekerasan dan lain-lain.

3) Mendorong kaum tradisionalis untuk melawan fundamentalis, dengan cara:

(a) dalam Islam tradisional ortodoks banyak elemen demokrasi yang bisa digunakan counter menghadapi Islam fundamentalis yang represif lagi otoriter;

(b) menerbitkan kritik-kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstrimisme yang dilakukan kaum fundamentalis;

(c) memperlebar perbedaan antara kaum tradisionalis dan fundamentalis;

(d) mencegah aliansi kaum tradisionalis dan fundamentalis;

(e) mendorong kerja sama agar kaum tradisionalis lebih dekat dengan kaum modernis;

(f) jika memungkinkan, kaum tradisionalis dididik untuk mempersiapkan diri agar mampu berdebat dengan kaum fundamentalis, karena kaum fundamentalis secara retorika sering lebih superior, sementara kaum tradisionalis melakukan praktek politik “Islam pinggiran” yang kabur;

(g) di wilayah seperti di Asia Tengah, perlu dididik dan dilatih tentang Islam ortodoks agar mampu mempertahankan pandangan mereka;

(h) melakukan diskriminasi antara sektor-sektor tradisionalisme berbeda;

(i) memperuncing khilafiyah yaitu perbedaan antar madzhab dalam Islam, seperti Sunni - Syiah, Hanafi - Hambali, Wahabi - Sufi, dll;

(j) mendorong kaum tradisionalis agar tertarik pada modernisme, inovasi dan perubahan;

(k) mendorong mereka untuk membuat isu opini-opini agama dan mempopulerkan hal itu untuk memperlemah otoritas penguasa yang terinspirasi oleh paham fundamentalis;

(l) Mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme;

4) Mendukung sepenuhnya kaum modernis, dengan jalan:

(a) menerbitkan dan mengedarkan karya-karya mereka dengan biaya yang disubsidi;

(b) mendorong mereka untuk menulis bagi audiens massa dan bagi kaum muda;

(c) memperkenalkan pandangan-pandangan mereka dalam kurikulum pendidikan Islam;

(d) memberikan mereka suatu platform publik;

(e) menyediakan bagi mereka opini dan penilaian pada pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dari interpretasi agama bagi audiensi massa dalam persaingan mereka dengan kaum fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki Web Sites, dengan menerbitkan dan menyebarkan pandangan-pandangan mereka dari rumah-rumah, sekolahan, lembaga-lembaga dan sarana lainnya; (f) memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai sebuah pilihan “counterculture” kaum muda Islam yang tidak puas;

(g) memfasilitasi dan mendorong kesadaran akan sejarah pra-Islam dan non-Islam dan budayanya, di media dan di kurikulum dari negara-negara yang relevan;

(h) membantu dalam membangun organisasi-organisasi sipil independen, untuk mempromosikan kebudayaan sipil (civic culture) dan memberikan ruang bagi rakyat biasa untuk mendidik diri sendiri mengenai proses politik dan mengutarakan pandangan-pandangan mereka.

Beberapa bukti tindakan program ini misalnya mengubah kurikulum pendidikan di pesantren - pesantren dengan biaya dari Barat, kemudian menghembuskan dogma “Time is Money - dengan pengeluaran sekecil-kecilnya menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya”.

5) Tempo doeloe, pernah dalam mata pelajaran PMP dtampilkan gambar rumah ibadah masing-masing agama dengan tulisan dibawahnya: “semua agama sama”.

Mendirikan berbagai LSM yang bergerak dibidang kajian filsafat Islam, menyebar artikel dan tulisan produk LSM yang dibiayai Amerika. Intinya menyimpulkan bahwa semua agama adalah hasil karya manusia dan merupakan peradaban manusia. Tujuannya tak lain guna menggoyah keyakinan beragama, termasuk mendanai beberapa web site di dunia maya dan lainnya.

6) Mendukung secara selektif kaum sekularis, dengan cara:

(a) mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai musuh bersama;

(b) mematahkan aliansi dengan kekuatan-kekuatan anti Amerika berdasarkan hal-hal seperti nasionalisme dan ideologi kiri;

(c) mendorong ide bahwa dalam Islam, agama dan negara dapat dipisahkan dan hal ini tidak membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuat.

7) Untuk menjalankan Building Moderate Muslim Networks, AS dan sekutu menyediakan dana bagi individu dan lembaga-lembaga seperti LSM, pusat kajian di beberapa universitas Islam maupun universitas umum lain, serta membangun jaringan antar komponen untuk memenuhi tujuan-tujuan AS.

Contoh keberhasilan membangun jaringan ini ketika mensponsori Kongres Kebebasan Budaya (Conggress of Cultural Freedom), dimana pertemuan ini berhasil membangun komitmen antar elemen membentuk jaringan anti komunis.

Hal serupa juga dilakukan dalam rangka membangun jaringan anti Islam. Kemudian membangun kredibilitas semu aktivis-aktivis liberal pro-Barat, demi tercapai tujuan utama memusuhi Islam secara total. Bahkan apabila perlu, sikap tidak setuju atas kebijakan AS sesekali diperlihatkan para aktivisnya seolah-olah independen, padahal hanya tampil pura-pura saja.

AS dan sekutu sadar, bahwa ia tengah terlibat dalam suatu peperangan total baik fisik (dengan senjata) maupun ide. Ia ingin memenangkan perang dengan cara: “ketika ideologi kaum ekstrimis tercemar di mata penduduk tempat asal ideologi itu dan di mata pendukung pasifnya”.

Ini jelas tujuan dalam rangka menjauhkan Islam dari umatnya. Muaranya adalah membuat orang Islam supaya tak berperilaku lazimnya seorang muslim.

Pembangunan jaringan muslim moderat ini dilakukan melalui tiga level, yaitu:

(a) menyokong jaringan-jaringan yang telah ada;

(b) identifikasi jaringan dan gencar mempromosi kemunculan serta pertumbuhannya;

(c) memberikan kontribusi untuk membangun situasi dan kondisi bagi berkembangnya sikap toleran dan faham pluralisme.

Sebagai pelaksana proyek, Departemen Luar Negeri AS dan USAID telah memiliki mandat dan menunjuk kontraktor pelaksana penyalurkan dana dan berhubungan dengan berbagai LSM, dan para individu di negeri-negeri muslim yaitu National Endowment for Democracy (NED), The International Republican Institute (IRI) The National Democratic Institute (NDI), The Asia Foundation (TAF), dan The Center for Study of Islam and Democracy (CSID).

Pada fase pertama, membentuk jaringan muslim moderat difokuskan pada organisasi bawah tanah, dan kemudian setelah melalui penilaian AS selaku donatur, ia bisa ditingkatkan menjadi jaringan terbuka.

Adapun kelompok-kelompok yang dijadikan sasaran perekrutan dan anak didik adalah :

(a) akademisi dan intelektual muslim liberal dan sekuler;

(b) cendikiawan muda muslim yang moderat;

(c) kalangan aktivis komunitas;

(d) koalisi dan kelompok perempuan yang mengkampanye kesetaraan gender;

(e) penulis dan jurnalis moderat.

Para pejabat Kedutaan Amerika di negeri-negeri muslim harus memastikan bahwa kelompok ini terlibat, dan sesering mungkin melakukan kunjungan ke Paman Sam. Adapun prioritas pembangunan jaringan untuk muslim moderat ini diletakkan pada sektor:

(a) Pendidikan Demokrasi. Yaitu dengan mencari pembenaran nash dan sumber-sumber Islam terhadap demokrasi dan segala sistemnya;

(b) dukungan oleh media massa melakukan liberalisasi pemikiran, kesetaraan gender dan lainnya -- yang merupakan “medan tempur” dalam perang pemikiran melawan Islam;

(c) Advokasi Kebijakan. Hal ini untuk mencegah agenda politik kelompok Islam.

AS dan sekutu sadar bahwa ide-ide radikal berasal dari Timur Tengah dan perlu dilakukan “arus balik” yaitu menyebarkan ide dan pemikiran dari para intelektual moderat dan modernis yang telah berhasil dicuci otak dan setuju westernisasi yang bukan berasal dari Timur Tengah, seperti Indonesia dan lainnya. Tulisan dan pemikiran moderat dari kalangan di luar Timur Tengah harus segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian disebarkan di kawasan Timur Tengah.

Agaknya inilah jawaban, kenapa Indonesia seringkali dijadikan pertemuan para cendikiawan dan intelektual muslim dari berbagai negara yang disponsori AS dan negara Barat lain. Banyak produk baik tulisan maupun film diproduksi “Intelektual Islam Indonesia”, kemudian disebarkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Semua bantuan dana dan dukungan politik ini tujuannya guna memecah-belah umat Islam.

(Disarikan dari berbagai sumber)

Jumat, 07 April 2017

JENIS-JENIS PENELITIAN DI BIDANG KEILMUAN HUKUM

Setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki metode sendiri dalam melakukan pengkajian atau pun penelitian untuk memecahkan setiap permasalahan yang terkait dengan bidang keilmuan tersebut. Dalam bidang ilmu hukum dikenal ada dua metode dalam melakukan penelitian yaitu metode penelitian hukum yang bersifat normatif, dan metode penelitian hukum yang bersifat empiris (sosiologis). mengenai kedua metode penelitian tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut : 

PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Pengertian

Menurut Peter Mahmud Marzuki (2011 : 35), penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya suatu fakta yang disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.Jika pada keilmuan yang bersifat deskriptif jawaban yang diharapkan adalah true atau false, jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah rigthappropriateinappropriate, atau wrong. dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung nilai.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa sifat preskripsi dalam bidang keilmuan hukum, penelitian yang bersifat normatif adalah berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang apa yang seharusnya dari setiap permasalahan. Berbeda dengan penelitian yang bersifat deskriptif yang hanya menjelaskan apa yang benar (true), dan apa yang salah (false) dari setiap permasalahan, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.

Jenis Pendekatan

Penelitian hukum mengenal beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengkaji setiap permasalahan. jenis-jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :

1.     Pendekatan Undang-undang (statute approach)

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani(Ibid., 2011 : 93). Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian hukum normatif memiliki kegunaan baik secara praktis maupun akademis.

Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. (Ibid., 2011 : 93-94)

Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu mengungkap kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang itu. Memahami kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi. (Ibid.)

2.     Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah rasio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. (Ibid., 2011 : 94)

Secara praktis ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai kegunaan dalam mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. Perlu pula dikemukakan bahwa pendekatan kasus tidak sama dengan studi kasus (case study). Di dalam pendekatan kasus (case approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum. Sedangkan Studi kasus merupakan suatu studi dari berbagai aspek hukum. (Ibid.)

3.     Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi. Telaah demikian diperlukan oleh peneliti untuk mengungkap filosofi dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. Pendekatan historis ini diperlukan kalau memang peneliti menganggap bahwa pengungkapan filosofis dan pola pikir ketika sesuatu yang dipelajari itu dilahirkan, dan memang mempunyai relevansi dengan masa kini. (Ibid., 2011 : 94-95)

4.     Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)

Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara, dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Selain itu, dapat juga diperbandingkan di samping undang-undang yaitu putusan pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama. (Ibid., 2011 : 95)

Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara undang-undang tersebut. Hal ini untuk menjawab mengenai isu hukum antara ketentuan undang-undang dengan filosofi yang melahirkan undang-undang itu. Dengan demikian perbandingan tersebut, peneliti akan memperoleh gambaran mengenai konsistensi antara filosofi dan undang-undang di beberapa negara. Hal ini sama juga dapat dilakukan dengan memperbandingkan putusan pengadilan antara suatu negara dengan negara lain untuk kasus serupa. (Ibid.)

5.     Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. (Ibid.)

Berkaitan dengan uraian mengenai pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian hukum, penulis sedikit tertarik dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan historis (sejarah) dan pendekatan komparatif (perbandingan). Peter de Cruz mempunyai pendapat lain terhadap kedua macam pendekatan tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Comperative Law in a Changing World yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Perbandingan Sistem Hukum Common LawCivil Law, dan Socialist Law” (2010 : 14), menjelaskan bahwa sejarah hukum adalah sebuah kondisi yang sangat vital  bagi sebuah evolusi kritis terhadap hukum dan sebuah pemahaman tentang pengoperasian konsep-konsep hukum yang merupakan tujuan utama dari hukum komparatif. Seperti itu yang telah ditemukan oleh sejumlah ahli hukum, sejarah hukum komparatif adalah hukum komparatif vertikal, dan perbandingan dari sistem-sistem hukum modern adalah hukum komparatif horizontal.

Berdasarkan pendapat Peter de Cruz di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pendekatan historis merupakan pendekatan perbandingan yang bersifat horizontal, yaitu mempelajari sejarah terciptanya suatu norma  yang tertuang di dalam suatu perundang-undangan. Sedangkan pendekatan komparatif itu sendiri bersifat vertikal, yaitu pendekatan yang mempelajari perbandingan norma dalam undang-undang antara sistem hukum di beberapa negara. Untuk itu penulis dapat memberi pendapat bahwa, pendekatan historis dan komparatif merupakan satu kesatuan dari perbandingan sistem hukum.

Selain pendekatan-pendekatan dalam melakukan penelitian hukum tersebut di atas, menurut Johnny Ibrahim (2012) pendekatan lainnya yang digunakan dalam melakukan penelitian hukum selain yang disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki yaitu Pendekatan Analitis (analytical approach) dan Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach).
Maksud utama dari Pendekatan analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapan dalam praktik dan putusan-putusan hukum. hal ini dilakukan melalui dua pemeriksaan. pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. kedua, mengkaji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum. (Johnny Ibrahim, 2012 : 310)

Pengertian hukum (rechtsbegrip) menduduki tempat penting, baik yang tersimbolkan dalam kata yang digunakan maupun yang tersusun dalam sebuah aturan hukum, tidak jarang sebuah kata atau definisi yang terdapat dalam sebuah rumusan aturan hukum tidak jelas maknanya. kemungkinan, makna yang pernah diberikan kepada suata kata atau definisi tersebut sudah tidak memadai, baik oleh perkembangan zaman atau untuk memenuhi kepentingan sifat sebuah system yang all-inclusive sehingga diperlukan pemberian makna yang baru pada kata atau definisi yang ada, karena ketepatan makna diperlukan demi kepastian hukum sementara itu menemukan makna (begrip) pada kata atau sefinisi hukum merupakan kegiatan keilmuan hukum aspek normatif. (Ibid., hal. 310-311)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tugas analisis hukum adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis. Misalnya, konsep yuridis tentang subyek hukum, obyek hukum, hak milik, perkawinan, perjanjian, perikatan, hubungan kerja, jual beli, wanprestasi, perbuatan melanggar hukum, delik dan sebagainya. (Ibid., hal. 311)

Pendekatan yang selanjutnya digunakan dalam penelitian adalah pedekatan filsafat. Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajah filsafat akan mengupas isu hukum (legal issue) dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupas secara mendalam. Socrates pernah mengatakan bahwa tugas filsafat sebenarnya bukan menjawap pertanyaan yang diajukan, tetapi mempersoalkan jawaban yang diberikan. dengan demikian penjelajahan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis, ajaran tentang hakikat, aksiologis (ajaran tentang nilai), epistimolois (ajaran tentang pengetahuan), telelogis (ajaran tentang tujuan) untuk menjelaskan secara mendalam sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia. (Ibid., hal. 320)

Pengetahuan filsafat dimulai dengan sikap ilmuan yang rendah hati, berani mengoreksi diri, berterus terang dalam memberikan dasar pembenaran terhadap njawaban atas pertanyaan apakah ilmu yang dikuasai saat ini telah mencakup segenap pengetahuan yang ada, pada batasan manakah ilmu itu dimulai dan pada batasan mana ia berhenti, dan apakah kelebihan dan kekurangan ilmu itu. (Ibid.)

Berdasarkan ciri filsafat tersebut, dibantu dengan pendekatan (approach) yang tepat, seyogyanya dapat dilakukan apa yang dinamakan oleh Ziegler sebagai Fundamental Research, yaitu suatu penelitian yang memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap imlikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang melibatkan penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi serta implikasi sosial, dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.(Ibid., hal. 320-321)

Sumber-sumber Dalam Penelitian hukum 

Setiap penelitian ilmiah mempunyai sumber-sumber sebagai bahan rujukan guna mendukung argumentasi peneliti. Berbeda dengan sumber-sumber rujukan yang ada pada penelitian di bidang ilmu lain, dalam penelitian hukum yang bersifat normatif tidak mengenal adanya data (Ibid., 2011 : 141). Sumber rujukan penelitian hukum normatif sendiri berasal dari bahan hukum yang penulis sebagai berikut:

 1.      Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim. Untuk bahan hukum primer yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) karena semua peraturan di bawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD. Bahan hukum primer yang selanjutnya adalah undang-undang. Undang-undang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sejalan dengan undang-undang, untuk tingkat daerah adalah Peraturan Daerah (Perda) yang mempunyai otoritas tertinggi untuk tingkat daerahnya karena dibuat oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan daerah. Bahan hukum primer yang dibawah otoritas undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu Badan atau Lembaga Negara sebagai mana disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan untuk tingkat daerah, Keputusan Kepala Daerah mempunyai otoritas yang lebih rendah dibandingkan Perda. (Ibid., 2011 : 141-142)

Bahan hukum primer disamping perundang-undangan yang memiliki otoritas adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan konkretisasi dari perundang-undangan. Putusan pengadilan inilah sebenarnya merupakan law ini action. (Ibid.

2.      Bahan Hukum Sekunder 

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. (Loc.Cit.)

Menurut penulis, bahan hukum sekunder pula memiliki tingkatan yang didasarkan pada jenisnya. Hal tersebut dapat diketahui bahwa bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi (Ibid.2013 : 142). Disamping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan baik tentang hukum dalam buku atau-pun jurnal-jurnal. Tulisan-tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan atau isu-isu aktual mengenai hukum bidang tertentu (Ibid. 2013 : 143).

     Selain kedua jenis bahan hukum tersebut di atas, untuk keper-lukan penelitian seorang peneliti dapat pula merujuk beberapa rujukan yang berasal dari bahan-bahan non-hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki (Ibid.), bahan-bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan, atau pun laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Relevan atau tidaknya bahan-bahan non-hukum bergantung dari peneliti terhadap bahan-bahan itu.

Bersambung………………………

Daftar Pustaka :

de Cruz, Peter. 2010, Perbandingan Sistem Hukum (terjemahan dari Comperative Law in a Changing World), Bandung : Nusa Media.
Johnny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-6, Malang : Bayumedia Publishing.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Jakarta : Kencana.

Sumber: http://fikripodungge.blogspot.co.id/2014/09/metode-penelitian-hukum.html?m=1

Kamis, 06 April 2017

Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif

Dalam melakukan suatu penelitian hukum tidak dapat terlepas dengan penggunaan metode penelitian. Karena setiap penelitian apa saja pastilah menggunakan metode untuk menganalisa permasalahan yang diangkat. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya penelitian mempunyai berbagai kategori. Diantaranya adalah metode penelitian yang berdasarkan pada fokus kajiannya terbagi menjadi tiga bagian yakni:

1.     Metode Penelitian Hukum Normatif

Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktriner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.

Dalam penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum.  Sehingga dapat kita simpulkan pada penelitian hukum normatif mempunyai cakupan yang luas.

2.     Metode Penelitian Hukum Normatif-Empiris

Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dalam penelitian jenis ini terdapat tiga kategori yakni:

–        Non judicial Case Study

Merupakan pendekatan studi kasus hukum yang tanpa konflik sehingga tidak ada campur tangan dengan pengadilan.

–        Judicial Case Study

Pendekatan judicial case study ini merupakan pendekatan studi kasus hukum karena konflik sehingga akan melibatkan campur tangan dengan pengadilan untuk memberikan keputusan penyelesaian (yurisprudensi)

–        Live Case Study

Pendekatan live case study merupakan pendekatan pada suatu peristiwa hukum yang prosesnya masih berlangsung atau belum berakhir.

3.     Metode Penelitian Hukum Empiris

Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.
Sumber: https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/

Sistem Penganggaran dalam Negara Khilafah

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Dalam sejarah perjalanan bangsa Amerika sangat akrab dengan shutdown(pemberhentian sementara sebagian fungsi pemerintahan karena ada permasalahan anggaran). Shutdownsudah berulang sebanyak 17 kali, terakhir shutdown terjadi di masa pemerintahan Clinton 1995/1966 (17 tahun yang lalu). Shutdown itu lahir lebih dikarenakan pertarungan politik kepentingan antara Demokrat vs Republik. Shutdown itu bersifat temporer, lamanya shutdownbiasanya berlangsung hanya dalam hitungan hari dan minggu, tidak sampai bulan.

Sejumlah pelayanan penting tetap berjalan selama “macetnya” pemerintahan, seperti patroli perbatasan dan pengawasan lalu lintas udara. Departemen Luar Negeri akan terus memproses aplikasi visa asing, dan kedutaan besar dan konsulat di luar negeri akan terus memberikan layanan kepada warga Amerika.

Kasus ini membuka mata dunia, bahwa ada dua masalah fundamental dalam sistem ketatanegaraan di AS. Pertama, pertarungan politik antara dua partai, Republik vs Demokrat, dengan berbagai kepentingannya telah mengorbankan kepentingan rakyatnya sendiri. Ini membuktikan, rapuhnya sistem demokrasi yang selama ini diagung-agungkan oleh sebagian orang. Kedua, masalah anggaran, baik yang terkait dengan mekanisme penyusunannya, maupun besarannya, yang diputuskan antara pemerintah dengan parlemen terbukti rawan masalah.

Penyusunan APBN Negara Khilafah

Negara Khilafah jelas tidak menganut sistem penyusunan APBN sebagaimana yang dianut oleh negara kapitalis, seperti AS. APBN di AS, dan negara-negara yang menganut sistem kapitalisme, termasuk Indonesia, disusun tiap tahun. Ditetapkan dalam UU APBN, setelah dibahas oleh pemerintah bersama parlemen. Bisa disetujui, dan bisa juga ditolak. Ini menimbulkan kerawanan. Jika deadlock, seperti dalam kasus 1 Oktober 2013 lalu di AS, maka dampaknya terjadilah Government Shutdown. Bisa juga membuka praktik percaloan, dan suap-menyuap agar APBN disetujui.

Berbeda dengan sistem khilafah. APBN-nya tidak disusun tiap tahun. Karena, baik anggaran pendapatan maupun belanjanya merupakan hukum syara’ yang sudah baku, sehingga tidak membutuhkan pembahasan atau musyawarah. Mengenai besarannya juga demikian, karena ini mengikuti hukum pokoknya, meski diserahkan kepada khalifah, pada dasarnya khalifah tetap menginduk kepada hukum pokok tersebut. Hanya saja, khalifah diberi hak untuk menentukan besaran tersebut sesuai dengan pandangannya.

Dengan mekanisme seperti ini, maka di dalam negara khilafah tidak ada masalah yang terkait dengan penyusunan APBN. Dengan cara yang sama, sistem ini telah mampu mengiliminasi potensi konflik kepentingan antara partai pemerintah dan oposisi, yang bertarung untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan begitu, rakyat akan terhindar menjadi korban politik kepentingan. Negara juga tidak akan mengalami Government Shutdown.

Dengan mekanisme yang simpel, yaitu keputusan di tangan khalifah, maka tidak akan terjadi pembahasan APBN yang bertele-tele, dan melelahkan. Karena semua keputusan ada di tangan khalifah. Bahkan, majelis umat pun tidak diberi hak untuk membahas untuk mencampuri masalah APBN ini, karena ini bukan wilayah yang harus dibahas dengan mereka. Jika pun memberi pandangan, maka pandangan mereka tidak memiliki kekuatan hukum, karena pendapat mereka dalam hal ini tidak bersifat mengikat.

Ketika APBN Membengkak

Dengan mekanisme seperti ini, negara tidak akan mengalami masalah, baik ketika APBN normal ataupun membengkak. Karena ketika APBN membengkak pun, dengan mudah khalifah langsung membuat keputusan, tidak perlu menunggu majelis umat. Sebab, masalah membengkaknya anggaran ini hanya terkait dengan besarannya, yang nota bene merupakan derivasi dari hukum-hukum pokok yang terkait dengan APBN tadi.

Masalah timbul, ketika pendapatan APBN tersebut tidak bisa menutupi besaran belanjanya. Dalam kondisi seperti ini, khalifah mengambil sejumlah langkah yang memang dibenarkan oleh syara’, di antaranya dengan mengambil pajak dari kaum Muslim, laki-laki dan dewasa. Ini dialokasikan untuk:

1-       Menutupi kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil dan jihad fi sabilillah;

2-     Menutupi kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali);

3-      Menutupi kebutuhan Baitul Mal untuk kemaslahatan publik yang bersifat vital, seperti jalan raya, penggalian sumber air, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit;

4-     Menutupi kebutuhan Baitul Mal karena  kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi;

Pajak yang diambil oleh negara khilafah dalam hal ini bersifat darurat, yang hanya boleh diambil sebatas untuk menutupi kebutuhan di atas. Tidak lebih. Hanya saja, selain opsi pengambilan pajak ini, negara khilafah juga dibenarkan untuk mencari dana talangan (pinjaman), jika kondisinya sangat kritis.

Kebolehan mencari dana talangan (pinjaman), karena kondisi darurat, dan dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut dialokasikan untuk menutupi beberapa kebutuhan, antara lain:

1-       Kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil, jihad fi sabilillah;

2-     Kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali);

3-      Kebutuhan karena  kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi;

Dalam berbagai kondisi yang disebutkan di atas, khalifah sebenarnya bisa langsung mengambil keputusan tanpa harus menunggu pertimbangan atau pandangan pihak lain. Hanya saja, terkait dengan kondisi darurat yang dikhawatirkan bisa memicu kerusakan, di mana khalifah diperbolehkan untuk mencari dana talangan, ketika cadangan dana di Baitul Mal kosong, maka dia bisa meminta pertimbangan pakar (ahl al-khibrah). Khususnya terkait dengan penentuan, apakah suatu kondisi bisa dikategorikan gawat (darurat) atau tidak.

Kesimpulan

Mekanisme penyusunan APBN dalam negara khilafah di atas telah membuktikan keunikan sistem Islam. Tidak hanya itu, ini sekaligus menjawab problem sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh sistem pemerintahan dan ekonomi kapitalis. Pada saat yang sama, sistem Islam juga memberikan jaminan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan di dalam negara. Pada saat yang sama, seluruh kebutuhan rakyat, fasilitas umum dan vital terjamin dengan baik.

Ancaman Government Shudownsebagaimana yang sering terjadi di AS, atau percaloan dan kongkalikong anggaran tidak akan terjadi dalam sistem khilafah. Bukan hanya itu, keputusan dan pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari APBN ini pun bisa dilakukan dengan cepat dan tepat, karena keputusannya hanya di tangan satu orang, yaitu khalifah. Selain itu, ketentuan hukum yang mengatur keputusan tersebut juga sudah ada, yaitu hukum-hukum syara’ tentang APBN ini. Dengan begitu, seluruh problem genetik dan bawaan dalam sistem kapitalis ini tidak akan ada dalam sistem khilafah. []

Sumber: Mediaumat Edisi 114