Jumat, 18 Juli 2014

Implementasi Perlindungan Korban Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Studi Kasus Di Provinsi Kalimantan Selatan)

Oleh: Dr. Hj. Noor Hafidah, SH. MH., Muhammad Topan, SH. MH & M. Ananta Firdaus

Abstrak
Kalimantan Selatan adalah daerah yang memiliki sumber daya alam sangat potensial
sehingga menjadi investasi besar untuk melaksanakan pembangunan nasional maupun
daerahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa korporasi mempunyai peranan penting dalam
pembangunan tersebut. Diakui korporasi berperan dalam meningkatkan ekonomi bagi
negara, tetapi tidak jarang korporasi dalam kegiatannya menimbulkan pencemaran dan
pengrusakan lingkungan, khususnya di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu perlu adanya
implementasi kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup menyangkut perlindungan
korban kejahatan korporasi dalam aktivitasnya yang dapat berdampak terhadap lingkungan
hidup.

Penerapan Pengaturan Rencana Tata Ruang Wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan

Oleh : M. Ananta Firdaus

 Abstrak
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sisfem Negara Kesatuan Republik
lndonesia telah memberikan kesempatan yang luas kepada Pemerintah Daerah Kalimantan
Selatan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan ditingkat
propinsi, terutama jika dikaitkan dengan pengembangan potensi di Provinsi Kalimantan
Selatan, yang tentu saja harus selalu diharmonisasikan dengan Peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi seperii tJndang-undang tentang Kehutanan, Perkebunan dan
Pertambangan, sehingga tujuan yang ingin dicapai yakni mensejahterakan rakyat tndonesia
diharapkan tercapai.

Bacaan lengkap silahkan diunduh melalui link berikut ini http://www.4shared.com/office/vqIYsVnRce/Jurnal_Penerapan_Pengaturan_RT.html

Sarjana Hukum: Optimisme Prospek di Dunia Kerja

Mahasiswa tingkat akhir yang akan segera menyelesaikan studinya perlu lebih jeli melihat prospek kerja dari jurusannya setelah lulus nanti. Tantangan perkembangan zaman dan ketatnya persaingan antar sesama lulusan terkadang menjadi satu masalah tertentu yang mengakibatkan sulitnya mendapat pekerjaan. Dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, seorang calon sarjana dituntut harus lebih kompeten di bidang jurusannya masing-masing.
Prospek kerja seorang lulusan sarjana hukum menjadi satu hal menarik yang banyak diperbincangkan. Selain tingginya optimisme prospek kerja karena banyaknya akses dan luasnya perkerjaan di bidang hukum, membludaknya lulusan dan tingginya persaingan antar jurusan menjadi pesimisme tersendiri oleh para calon sarjana di bidang hukum ini. Di sisi lain, banyak orang ataupun pejabat negara yang kini tersandung kasus korupsi, penyuapan, ataupun kasus pidana lainnya bergelar sarjana hukum, yang akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap moral lulusan ini, terlebih lagi pada lulusan sarjana hukum di universitas-universitas tertentu.
Eksistensi sarjana hukum di dunia kerja
Setelah menempuh jenjang pendidikan Strata Satu (S1), seorang dengan gelar sarjana hukum dihadapkan dengan berbagai prospek kerja yang lumayan luas. Lulusan ini dapat bekerja di bidang-bidang yang mempunyai keterkaitan hukum yang tentu saja hampir semua bidang pekerjaan memilikinya. Klasiknya, beberapa profesi yang hanya bisa dimasuki oleh lulusan sarjana hukum adalah hakim, jaksa, notaris, dan pengacara. Lulusan sarjana hukum juga bisa menjadi konsultan hukum, pegawai negeri sipil, jurusita,  legal staff di perusahaan-perusahaan, legistlative drafter, mediator, panitera pengadilan, polisi,  dosen atau pengajar, praktisi pemerintahan, dan masih banyak lainnya. Untuk mencapai salah satu profesi itu tentu bukan hal yang mudah, seorang advokat atau pengacara misalnya, harus mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), ujian profesi advokat, serta magang di kantor advokat tertentu lalu kemudian bisa diangkat dan disumpah menjadi advokat.
Banyak tokoh penegak hukum ataupun pejabat negara yang saat ini menjalankan pemerintahan tergolong sukses pada profesinya. Di antaranya adalah Amir Syamsuddin, putra asal Makassar dan saat ini menjabat Menteri Hukum dan HAM yang mendapatkan gelarnya sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mohammad Mahfud M.D. yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia yang mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad yang meraih gelar Doktornya di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Hamdan Zoelva yang saat ini menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia meraih gelar sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Serta Otto Cornelis Kaligis yang terkenal sebagai pengacara senior asal Makassar ini meraih gelar sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung serta pernah belajar di Universitas Rheinish Westfalische Technische Hochschule (RWTH), Jerman. Melihat beberapa tokoh dan pejabat negara tadi memang membuat ketertarikan untuk mengikuti jejak yang sama, namun perlu diketahui meraih gelar dan sukses dalam profesinya bukanlah perkara yang mudah dan instan,  bahkan seorang Amir Syamsuddin pernah bekerja sebagai juru cetak foto semasa SMA sebelum akhirnya menjabat Menkumham RI. Kompeten dan memiliki skill yang handal di profesi hukum akan menjadi nilai tambah dalam menemukan profesi yang pas kedepannya.
Tantangan lulusan sarjana hukum
Meraih gelar sarjana hukum lalu kemudian eksis dalam profesi hukum di dunia kerja bukanlah hal yang mudah. Banyak persepsi masyarakat yang selalu mengaitkan orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur) diakibatkan minimnya lapangan kerja. Hemat penulis, sebenarnya kendala utama dalam pencarian kerja selepas meraih gelar sarjana adalah banyaknya lulusan dengan gelar yang sama dan bukan pada minimnya lapangan kerja. Kendala-kendala seperti persaingan yang ketat dan kurangnya lulusan sarjana hukum yang kompeten semakin menambah kompleksitas hal ini. Pada satu universitas misalnya, jumlah mahasiswa fakultas hukum yang terdaftar dalam satu periode angkatan bisa mencapai 300 orang lebih, belum lagi di tambah dengan mahasiswa fakultas hukum di universitas yang lain. Bisa disimpulkan bahwa secara kuantitatif mahasiswa hukum atau mereka yang sudah mendapat gelar sarjana hukum tetapi belum bekerja lumayan banyak.
Jika secara kuantitas menjadi masalah, dari segi kualitatif lulusan juga kemudian menimbulkan masalah baru. Hal ini disebabkan tidak berbanding lurusnya kuantitas lulusan dengan kualitas skill yang dimilikinya. Padahal era dimana pergerakan zaman sudah sangat melaju ini, skill dalam kemampuan membidangi jurusan adalah hal yang utama harus dimiliki lulusan sarjana hukum. Bayangkan jika dalam sekali wisuda ada 100 orang sarjana hukum baru dalam satu universitas ditambah dengan lulusan dari fakultas hukum lain di seluruh Indonesia, ini kemudian menimbulkan persaingan yang tentu saja ketat dan harus optimal dalam menekuni profesi apa yang akan di kejar kedepannya.
Membangkitkan kualitas sarjana hukum
Mahasiswa sebagai iron stock tentu bukan hanya predikat semata. Tetapi memang dipersiapkan untuk menjadi penerus untuk menggantikan orang-orang yang sedang menjabat sekarang, sekaligus untuk membawa perubahan yang lebih baik.
Ada sebuah kegalauan tersendiri di antara mahasiswa-mahasiswa saat ini, lulus cepat  waktu dan kemudian mendapatkan gelar atau lulus tepat waktu walau kemungkinan harus hidup sebagai mahasiswa maksimal selama tujuh tahun. Pada jurusan hukum, skill di bidang hukum merupakan hal yang wajib dimiliki. Gelar sarja hukum akan percuma diraih jika tidak ada keahlian hukum bisa di terapkan pada profesinya nantinya. Jika penulis bisa menarik kesimpulan, masalah banyaknya sarjana hukum yang belum mendapatkan profesi yang pas adalah diakibatkan tidak adanya keahlian atau sedikitnya kemampuan hukum yang di bawa setelah mendapat gelar. Ini berarti lulus dengan waktu yang tergolong cepat akan sia-sia jika tanpa dibarengi skill yang handal, alhasil akan sulit menemukan profesi yang sesuai dikemudian hari.
Mengubah paradigma mahasiswa yang hanya berorientasi pada nilai urgent untuk dilakukan. Pasalnya, karena orientasinya hanya pada nilai, kebanyakan mahasiswa lebih memilih jalan pintas agar mendapatkan nilai yang baik dalam sebuah mata perkuliahan.
Menumbuhkan minat mahasiswa yang berorientasi pada ilmu dan bukan pada nilai menjadi kunci utama meningkatkan kualitas para sarjana hukum kedepannya. Hal ini dikarenakan selain seberapa bagus nilai yang ada dalam ijazah, skill juga menjadi patokan utama lainnya dalam satu profesi tertentu.
Jean Jacques Rousseau  berkata; “The strongest is never strong enough to be always the master, unless he transforms strength into right, and obedience into duty.”
Seorang mahasiswa hukum seyogianya harus mengutamakan pengembangan kemampuan dan keahliannya di bidang hukum lalu setelah itu meraih gelarnya, karena tidak selamanya mereka yang cepat meraih gelar sarjana hukum bisa disebut mumpuni dalam bidangnya. “The strongest is never strong enough to be always the master” kata JJ. Rousseau. Selain itu untuk menciptakan sarjana hukum yang bermanfaat sesuai dengan fitrahnya harus dengan menumbuhkan nilai kejujuran dan sikap mengabdikan diri. Sehingga seorang sarjana hukum tidak meninggalkan tujuannya dan patuh terhadap penegakan hukum dan bidang profesi hukum yang digelutinya. “Transforms strength into right, and obedience into duty.”
Sumber : http://aldisido.wordpress.com