Mahasiswa tingkat akhir yang akan segera menyelesaikan
studinya perlu lebih jeli melihat prospek kerja dari jurusannya setelah
lulus nanti. Tantangan perkembangan zaman dan ketatnya persaingan antar
sesama lulusan terkadang menjadi satu masalah tertentu yang
mengakibatkan sulitnya mendapat pekerjaan. Dengan berbagai kemungkinan
yang akan terjadi, seorang calon sarjana dituntut harus lebih kompeten
di bidang jurusannya masing-masing.
Prospek kerja seorang lulusan sarjana hukum menjadi satu hal menarik
yang banyak diperbincangkan. Selain tingginya optimisme prospek kerja
karena banyaknya akses dan luasnya perkerjaan di bidang hukum,
membludaknya lulusan dan tingginya persaingan antar jurusan menjadi
pesimisme tersendiri oleh para calon sarjana di bidang hukum ini. Di
sisi lain, banyak orang ataupun pejabat negara yang kini tersandung
kasus korupsi, penyuapan, ataupun kasus pidana lainnya bergelar sarjana
hukum, yang akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap moral
lulusan ini, terlebih lagi pada lulusan sarjana hukum di
universitas-universitas tertentu.
Eksistensi sarjana hukum di dunia kerja
Setelah menempuh jenjang pendidikan Strata Satu (S1), seorang dengan
gelar sarjana hukum dihadapkan dengan berbagai prospek kerja yang
lumayan luas. Lulusan ini dapat bekerja di bidang-bidang yang mempunyai
keterkaitan hukum yang tentu saja hampir semua bidang pekerjaan
memilikinya. Klasiknya, beberapa profesi yang hanya bisa dimasuki oleh
lulusan sarjana hukum adalah hakim, jaksa, notaris, dan pengacara.
Lulusan sarjana hukum juga bisa menjadi konsultan hukum, pegawai negeri
sipil, jurusita, legal staff di perusahaan-perusahaan, legistlative
drafter, mediator, panitera pengadilan, polisi, dosen atau pengajar,
praktisi pemerintahan, dan masih banyak lainnya. Untuk mencapai salah
satu profesi itu tentu bukan hal yang mudah, seorang advokat atau
pengacara misalnya, harus mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(PKPA), ujian profesi advokat, serta magang di kantor advokat tertentu
lalu kemudian bisa diangkat dan disumpah menjadi advokat.
Banyak tokoh penegak hukum ataupun pejabat negara yang saat ini
menjalankan pemerintahan tergolong sukses pada profesinya. Di antaranya
adalah Amir Syamsuddin, putra asal Makassar dan saat ini menjabat
Menteri Hukum dan HAM yang mendapatkan gelarnya sarjananya di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Mohammad Mahfud M.D. yakni mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Indonesia yang mendapatkan gelar sarjananya di
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi, Abraham Samad yang meraih gelar Doktornya di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Hamdan Zoelva yang saat ini menjabat Ketua
Mahkamah Konstitusi Indonesia meraih gelar sarjananya di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Serta Otto Cornelis Kaligis yang terkenal
sebagai pengacara senior asal Makassar ini meraih gelar sarjananya di
Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung serta pernah belajar di
Universitas Rheinish Westfalische Technische Hochschule (RWTH), Jerman.
Melihat beberapa tokoh dan pejabat negara tadi memang membuat
ketertarikan untuk mengikuti jejak yang sama, namun perlu diketahui
meraih gelar dan sukses dalam profesinya bukanlah perkara yang mudah dan
instan, bahkan seorang Amir Syamsuddin pernah bekerja sebagai juru
cetak foto semasa SMA sebelum akhirnya menjabat Menkumham RI. Kompeten
dan memiliki skill yang handal di profesi hukum akan menjadi nilai
tambah dalam menemukan profesi yang pas kedepannya.
Tantangan lulusan sarjana hukum
Meraih gelar sarjana hukum lalu kemudian eksis dalam profesi hukum di
dunia kerja bukanlah hal yang mudah. Banyak persepsi masyarakat yang
selalu mengaitkan orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan
(menganggur) diakibatkan minimnya lapangan kerja. Hemat penulis,
sebenarnya kendala utama dalam pencarian kerja selepas meraih gelar
sarjana adalah banyaknya lulusan dengan gelar yang sama dan bukan pada
minimnya lapangan kerja. Kendala-kendala seperti persaingan yang ketat
dan kurangnya lulusan sarjana hukum yang kompeten semakin menambah
kompleksitas hal ini. Pada satu universitas misalnya, jumlah mahasiswa
fakultas hukum yang terdaftar dalam satu periode angkatan bisa mencapai
300 orang lebih, belum lagi di tambah dengan mahasiswa fakultas hukum di
universitas yang lain. Bisa disimpulkan bahwa secara kuantitatif
mahasiswa hukum atau mereka yang sudah mendapat gelar sarjana hukum
tetapi belum bekerja lumayan banyak.
Jika secara kuantitas menjadi masalah, dari segi kualitatif lulusan
juga kemudian menimbulkan masalah baru. Hal ini disebabkan tidak
berbanding lurusnya kuantitas lulusan dengan kualitas skill yang
dimilikinya. Padahal era dimana pergerakan zaman sudah sangat melaju
ini, skill dalam kemampuan membidangi jurusan adalah hal yang utama
harus dimiliki lulusan sarjana hukum. Bayangkan jika dalam sekali wisuda
ada 100 orang sarjana hukum baru dalam satu universitas ditambah dengan
lulusan dari fakultas hukum lain di seluruh Indonesia, ini kemudian
menimbulkan persaingan yang tentu saja ketat dan harus optimal dalam
menekuni profesi apa yang akan di kejar kedepannya.
Membangkitkan kualitas sarjana hukum
Mahasiswa sebagai
iron stock tentu bukan hanya predikat
semata. Tetapi memang dipersiapkan untuk menjadi penerus untuk
menggantikan orang-orang yang sedang menjabat sekarang, sekaligus untuk
membawa perubahan yang lebih baik.
Ada sebuah kegalauan tersendiri di antara mahasiswa-mahasiswa saat
ini, lulus cepat waktu dan kemudian mendapatkan gelar atau lulus tepat
waktu walau kemungkinan harus hidup sebagai mahasiswa maksimal selama
tujuh tahun. Pada jurusan hukum, skill di bidang hukum merupakan hal
yang wajib dimiliki. Gelar sarja hukum akan percuma diraih jika tidak
ada keahlian hukum bisa di terapkan pada profesinya nantinya. Jika
penulis bisa menarik kesimpulan, masalah banyaknya sarjana hukum yang
belum mendapatkan profesi yang pas adalah diakibatkan tidak adanya
keahlian atau sedikitnya kemampuan hukum yang di bawa setelah mendapat
gelar. Ini berarti lulus dengan waktu yang tergolong cepat akan sia-sia
jika tanpa dibarengi skill yang handal, alhasil akan sulit menemukan
profesi yang sesuai dikemudian hari.
Mengubah paradigma mahasiswa yang hanya berorientasi pada nilai
urgent
untuk dilakukan. Pasalnya, karena orientasinya hanya pada nilai,
kebanyakan mahasiswa lebih memilih jalan pintas agar mendapatkan nilai
yang baik dalam sebuah mata perkuliahan.
Menumbuhkan minat mahasiswa yang berorientasi pada ilmu dan bukan
pada nilai menjadi kunci utama meningkatkan kualitas para sarjana hukum
kedepannya. Hal ini dikarenakan selain seberapa bagus nilai yang ada
dalam ijazah, skill juga menjadi patokan utama lainnya dalam satu
profesi tertentu.
Jean Jacques Rousseau berkata;
“The strongest is never strong
enough to be always the master, unless he transforms strength into
right, and obedience into duty.”
Seorang mahasiswa hukum seyogianya harus mengutamakan pengembangan
kemampuan dan keahliannya di bidang hukum lalu setelah itu meraih
gelarnya, karena tidak selamanya mereka yang cepat meraih gelar sarjana
hukum bisa disebut mumpuni dalam bidangnya. “
The strongest is never strong enough to be always the master” kata
JJ. Rousseau. Selain itu untuk menciptakan sarjana hukum yang
bermanfaat sesuai dengan fitrahnya harus dengan menumbuhkan nilai
kejujuran dan sikap mengabdikan diri. Sehingga seorang sarjana hukum
tidak meninggalkan tujuannya dan patuh terhadap penegakan hukum dan
bidang profesi hukum yang digelutinya. “
Transforms strength into right, and obedience into duty.”
Sumber : http://aldisido.wordpress.com