Sabtu, 31 Maret 2018

Remaja Muslim Kudu Dakwah !

Oleh : Minah, S.Pd.I
(Pengajar, Pemerhati Remaja dan Anggota Komunitas Revowriter)

Keadaan kaum Muslim saat ini berada dalam keterpurukan. Masalah yang terjadi sering kali diabaikan. Dalam pergaulan dan berpakaian sudah sangat susah dibedakan antara kaum Muslim atau yang bukan. Pergaulan bebas dibiarkan, memamerkan aurat seolah-olah merupakan sesuatu yang lumrah, narkoba merajelala, dan belakangan ini virus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) kembali menyerang Negeri ini, dan dalam banyak hal Muslim dengan kafir mirip tanpa ada pembeda yang jelas, pemahaman terhadap pemikiran dan hukum Islam juga terus menurun. Akhlaq generasinya semakin jauh dari tatanan kehidupan Islam. Gaya hidupnyapun banyak yang sudah tidak sesuai dengan hukum Syara’. Hukum-hukum dan pemikiran yang diterapkan dimasyarakat adalah hukum yang bukan Islam.

Jika keadaan begini terus, bagaimana seseorang berdiri tegak dihadapan Allah, mempertanggungjawabkan keadaan ini? kondisi seperti ini akan menghasilkan generasi Muslim yang tidak lagi menyatu dengan aturan dan hukum Islam. Padahal Negeri ini adalah mayoritas Islam.

Oleh sebab itu, orang yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya dan takut kepada Allah, akan berupaya untuk melakukan perubahan ke arah Islam. Allah mensyariatkan suatu aktifitas yang dikenal dengan Istilah ‘Dakwah’ yang merupakan bagian syariat Allah.

Remaja Muslim adalah generasi penerus bangsa. Tonggak estafet membangun peradaban mulia. Berharap remaja now mampu menjadi agent of change yakni tonggak perubahan yang mampu mengubah wajah peradapan. Salah satunya adalah dengan berdakwah. Yuk deh remaja kudu dakwah!

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan manusia dengan manusia yang lain. Dan tugas kita sebagai manusia adalah sebagai hamba Allah yang Taat kepada Allah. Dan berlaku baik kepada sesama manusia. Taatnya kita kepada Allah adalah menjalankan aturan dari Allah SWT. Salah satunya adalah kewajiban berdakwah.

Dakwah merupakan upaya untuk menyeru manusia kepada jalan Islam hingga mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam. Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An Nahl : 125).

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah : 71).

“Siapa saja yang menyeru manusia pada petunjuk (Islam), dia pasti akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh orang yang mengikuti petunjuk itu tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nasa’I dan Ibn Majah)

Dalam berdakwah itu tidak mudah sob. Akan ada ujian-ujian dalam berdakwah. Dakwah itu, butuh pengorbanan dan perjuangan. Pengorbanan di jalan dakwah ialah berupa waktu berharga, bukan waktu sisa. Pengorbanan itu berupa waktu, tenaga, perasaan dan pemikiran. Adakalanya dakwah diterima dan adapun yang menolak, namun, kita kudu terus menyampaikan Islam serta doakanlah mereka agar senantiasa terbuka hati untuk menerima kebenaran Islam beserta taat aturanNya.

Jadi, mulai saat ini siapkanlah diri kita untuk menghadapi semua itu. Ingatlah, Allah “Membeli” kita dengan SurgaNya. Segeralah, ikutilah dan teruslah bersemangat menjalankan dakwah. Jangan berhenti, Syariah akan segera tegak dan InsyaAllah, Allah akan meridhai dan membalas segala jerih payah kita. Semoga kita tetap istiqomah dijalan Allah, dan senantiasa menjadi seorang pengemban dakwah yang mempunyai tujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam. Aamiin ya robbal ‘alamin. Yuk remaja Muslim harus berdakwah!

Jumat, 30 Maret 2018

ANTARA PUTIN, LEE KUAN YEW DAN UMAR BIN KHATAB RA

Oleh: Nasrudin Joha

Aneh memang politisi muslim di negeri ini. Agamanya Islam, identitasnya Islam, dia sahadat, sholat, juga zakat bahkan sampai naik haji. Tetapi dalam urusan politik kenapa menjadi dungu ? Dalam urusan mencari sosok teladan kenapa bermahzab kafir ?

Memang benar, pemimpin di negeri ini tidak berkualitas, tidak berkarakter, plin pelan, bodoh, plonga plongo. Tapi kok ya jadi ikut ikutan dungu memfigourkan pemimpin seperti Putin dan Lee Kwan Yew ?

Putin dan Lee itu kafir, Putin membantai muslim di Suriah dan beberapa negeri muslim yang lain. Lee menjadikan Islam dan Melayu minoritas di Singapura. Terus otaknya dimana mengidolakan mereka ?

Kalian ini benar Islam atau Islam KTP ? Kalian ini punya Rasul dan Sahabat, kok malah mengidolakan kafir ? Aneh ! Geger otak saya melihat kelakuan kalian.

Kalau pertimbangannya ingin pemimpin tegas dan amanah, merakyat, menguasai urusan pemerintahan, dicintai takyat dan disegani musuh, taat dan bermartabat, bukankah ada sosok Umar bin Khatab RA ?

Atau kalian malu mengidolakan Umar RA ? Terus kalian lebih bangga pada Putin yang menjagal saudara muslim kalian ? Atau lebih mengidolakan Lee yang hanya memimpin wilayah seupil ?

Lihatlah kekuasaan daulah Khilafah, disana terdapat banyak suku dan bangsa juga agama, berbagai corak dan bahasa, namun para Khalifah yang memerintah dengan hukum syariah mampu menyatukan dan mensejahterakan seluruh umat dengan wilayah yang sangat luas.

Para Khalifah telah mampu memberikan kesejahteraan terhadap seluruh umat dan bangsa, karena peran pelayanan bukan eksploitasi.

Putin memang dianggap pahlawan di negaranya, tapi dia menindas dan mengekploitasi negeri muslim. Sama saja Lee, ia telah menjadikan Singapura surga untuk kalangan tertentu.

Hadeh, politisi di negeri ini aneh aneh. Norak. Pikirannya sempit, kurang baca. Punya problem akut atas corak idola dan kepemimpinan.

Jadi wajar saja jika negeri ini terus rusak, lah wong politisinya pada sesat fikir. Berfikir tentang idealita saja ngaco, apalagi menerapkan idealita pada ruang aktual.

Bermimpi saja buruk, apalagi menjalani kenyataan. Sepertinya politisi di negeri ini kurang piknik. Ya, ini buah dari Sekulerisme demokrasi.

Sekulerisme bukan hanya mencabut hukum Islam dari urusan bernegara, Sekulerisme demokrasi juga telah menjauhkan sosok pemimpin Islam sebagai teladan dan panutan.

Mata para politisi dan hatinya dijejali oleh teori demokrasi, jauh dari syariat Islam. Sosok yang dibanggakan juga pejuang demokrasi, bukan pejuang Islam.

Sekarang saya tegaskan, idola saya Rasulullah SAW, Abu Bakar Asy Sidik, Umar Bin Khatab, Usman bin Affan, Ali Karomallahu Wajhah, Umar Bin Abdul Azis, Sholahudin Al Ayyubi, Muhammad al Fatih. Hayo siapa yang mau ikut dibarisan saya ?

Kalau tidak mau sebaris dengan saya, Silahkan bersama Marx, Plato, Montesque, Aristoteles, Putin, Lee, Donal Trump. Silahkan idolakan mereka !

Tetapi ingat ! Semua kelak akan dikumpulkan dengan yang diidolakan. Saya mengidolakan Nabi, karenanya saya berdoa agar kelak diakherat berkumpul bersama nabi dan para sahabat.

Sedangkan kalian, jika tetap mencintai orang kafir, menjadikan mereka idola dan teladan, ya Silahkan saja jika kelak kalian di akherat berkumpul dengan mereka. [].

SAAT EROPA MASIH KUNO, INILAH 14 PENEMUAN ISLAM TERPENTING DI ERA KHILAFAH

Oleh: Prof. Fahmi Amhar
.
Kehidupan sehari-hari di zaman modern ini tidak dapat dibayangkan seandainya tidak ada jejak karya ilmuwan Islam di dalamnya.  Berikut ini adalah 14 penemuan terpenting yang dipilih dari situs Science Museum of Univ. of Manchester (www.1001inventions.com).  Pemilihan dimulai dari yang paling dekat dengan semua orang, yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal, urusan pendidikan dan kesehatan, transportasi, hiburan, hingga politik.  Tentu saja, siapa saja dapat membuat daftar seperti ini sesuai selera masing-masing.
.
1. Minum Kopi
Kita mulai dari minuman terpopuler di dunia.  Konon ini ditemukan di Ethiopia, ketika seorang penggembala Muslim melihat kambing-kambingnya lebih segar setelah memakan biji-bijian dari dari sejenis tumbuhan. Ia lalu merebus biji tersebut dan membuat kopi pertama di dunia. Sejarah lalu mencatat setelah biji-biji kopi tersebut dibawa ke Yaman, digunakan oleh para sufi untuk mengusir kantuk saat beribadah di malam hari. Pada akhir abad 15 kopi tiba di Mekah dan Turki hingga akhirnya tiba di Venesia pada tahun 1645. Kopi yang dalam bahasa Arabnya “qahwa” di Turki disebut “kahve” di Italia disebut “caffe” dan di Inggris disebut “coffee”.
.
2. Tata Cara Makan
Tata cara makan yang berupa tiga urutan hidangan makanan yang bermula dari  sup, diikuti dengan ikan atau daging, lalu makan buah dan kacang, diperkenalkan oleh Ali bin Nafi, yang dikenal populer dengan Ziryab di Cordoba pada abad 9.  Dia juga memperkenalkan cara minum dengan gelas kristal (bukan lagi cangkir logam atau keramik).
.
3. Memakai Sabun dan Shampoo
Mencuci dan mandi adalah hal religius bagi umat Islam, tidak heran jika mereka menyempurnakan resep untuk sabun yang kita gunakan saat ini. Bangsa Mesir kuno atau orang Romawi sudah mengenal sabun, tapi  orang Islamlah yang menggabungkan minyak nabati dengan sodium hidroksida dan aromatik. Shampoo diperkenalkan ke Inggris oleh seorang Muslim yang membuka pemandian “Mahomed’s India Vavour bath” di pinggir laut Brighton pada 1759 M. Dari sana Keramas di perkenalkan dari ahli bedah hingga Raja George IV dan William IV.
.
4. Menggelar Karpet
Karpet sebagai perlengkapan rumah nyaman adalah produk teknik tenun umat Islam, paduan dari bahan  kimia Islam dan pola yang ditata dengan rapi.  Menurut pujangga Belanda Erasmus, sebelum rumah-rumah Eropa mengenal karpet, lantai-lantainya biasa tertutup rumput, dan bertahun-tahun, menyimpan dahak, muntah, kotoran anjing, dan lainnya. Tidak mengejutkan bagaimana akhirnya karpet dengan cepat berkembang di sana.
.
5. Taman untuk Meditasi
Bangsa Eropa sudah biasa memiliki dapur dan taman obat, tapi orang-orang Islamlah yang mengembangkan gagasan kebun sebagai tempat keindahan dan meditasi. Taman dengan julukan “The Royal Pleasure Garden” pertama dibuka di Eropa pada abad ke-11 oleh Muslim Spanyol. Di samping itu kita juga mengenal bunga yang berasal dari daerah Muslim termasuk anyelir dan tulip.
.
6. Menulis dengan Pena
Tidak ada pendidikan tanpa tulis-menulis.  Fountanin pen (pena cair) diciptakan untuk Sultan Mesir pada 953 M setelah ia menuntut pena yang tidak akan menodai tangan atau pakaian. Pena tersebut menyimpan tinta dalam sebuah reservoir dan sebagai pena modern, ia bekerja dengan sistem gravitasi dan sistem kapiler.  Ratusan tahun setelah itu, di Eropa orang masih saja harus menulis dengan bulu ayam yang tetesan tintanya akan sering menodai kertas atau tangan mereka.
.
7. Berhitung “Cara Arab”
Sistem angka mungkin berasal dari India tapi sistem  penjabaran angka berasal dari Arab dan pertama kali muncul dalam karya Al-Khwarizmi dan Al-Kindi sekitar tahun 825 M. Isi buku al-Khawarizmi, Al-Jabr wa-al-Muqabilah, masih dipakai hingga kini. Karya ini dibawa ke Eropa 300 tahun kemudian oleh matematikawan Italia, Fibonacci. Algoritma dan banyak teori trigonometri datang dari dunia Muslim. Dan penemuan Al-Kindi mengenai analisis frekuensi telah menciptakan dasar ilmu kriptologi modern.
.
8. Alat Bedah
Rumah sakit modern tidak terbayangkan tanpa unit bedah.  Banyak peralatan bedah modern yang desainnya persis dengan yang dibuat abad 10 oleh Abu Qosim Az-Zahrawi. Pisau bedah, gergaji tulang, tang, gunting halus untuk bedah mata dan sebanyak 200 alat ciptaannya tetap di pakai oleh  ahli bedah modern. Dialah yang menemukan Catgut, alat yang digunakan untuk jahitan internal yang dapat melarutkan diri secara alami (penemuan itu terjadi ketika seekor monyet menelan senar kecapinya) dan ternyata benda tersebut juga dapat digunakan untuk membuat kapsul obat. Pada abad ke-13, petugas medis Muslim lainnya bernama Ibn Nafis menjabarkan tentang sirkulasi darah, 300 tahun sebelum William Harvey menemukannya. Muslim dokter juga menemukan obat bius dari campuran opium dan alkohol dan menemukan jarum berongga yang dipakai untuk menyedot katarak dari mata, sebuah teknik yang masih digunakan sampai saat ini.
.
9. Vaksinasi
Teknik inokulasi dengan kuman yang dilemahkan untuk merangsang kekebalan tubuh ternyata dirancang di dunia Muslim dan dibawa ke Eropa dari Turki oleh istri duta besar Inggris ke Istanbul pada tahun 1724 M. Anak-anak Turki telah divaksin dengan cacar sapi untuk melawan cacar yang mematikan setidaknya 50 tahun sebelum Jenner dan Pasteur di Barat menemukannya.
.
10 Engkol Poros
Engkol-poros adalah perangkat yang mengubah putaran  menjadi gerak linear di hampir semua mesin dalam dunia modern. Penemuan mekanis terpenting dalam sejarah manusia ini diciptakan oleh Al-Jazari untuk mengangkat air untuk irigasi. Dalam bukunya tahun 1206 M mengenai Pengetahuan tentang Alat Mesin, ia menunjukkan penyempurnaan penggunaan katup dan piston, merancang beberapa jam mekanik tenaga air dan berat, dan merupakan ayah dari dunia robotika. Salah satu diantara 50 penemuannya adalah kunci kombinasi.
.
11. Pesawat Terbang
Penemu prinsip pesawat terbang adalah Abbas Ibnu Firnas, seribu tahun sebelum Wright bersaudara menambahkan mesin padanya.  Abbas Ibnu Firnas pada tahun 852 M melompat dari menara Masjid Agung di Cordoba menggunakan jubah longgarnya yang dipadu  dengan kayu. Dia berharap untuk meluncur seperti burung, tetapi yang didapatnya adalah apa yang kini dianggap sebagai parasut pertama.  Pada tahun 875 M, saat usianya sudah 70 tahun, setelah menyempurnakan alat terbangnya yang memakai sutera dan bulu elang ia mencoba lagi, melompat dari sebuah gunung. Dia terbang dari bisa bertahan di ketinggian selama sepuluh menit tetapi jatuh saat mendarat. Ia menyimpulkan bahwa itu karena ia tidak memberikan ekor pada perangkatnya sehingga akan melambat saat mendarat.
.
12. Kamera
Tidak terbayangkan saat ini ada suatu acara tanpa diabadikan dengan kamera.  Adalah Ibn al-Haitham yang membuat kamera pin-hole pertama setelah mengamati cara cahaya datang melalui lubang di jendela-jendela. Semakin kecil lubang, semakin jelas bentuknya, ia lalu membuat Kamera Obscura pertama (dari kata “qamara” dalam bahasa Arab untuk ruangan gelap atau ruang pribadi). Dia juga disebut orang pertama yang merancang secara fisik sebuah pemikiran filsafat menjadi bentuk eksperimen ilmiah.
.
13. Geografi
Tidak ada urusan politik tanpa geografi.  Pada abad ke-9 M, geografer Muslim telah menganggap bahwa bumi itu bulat. Ibn Hazm mengatakan, “bahwa matahari selalu vertikal terhadap satu titik tertentu di Bumi, itu adalah bukti bumi itu bulat”. Hal itu terjadi 500 tahun sebelum Galileo. Astronom Muslim menghitung keliling bumi kira-kira 40,253 km – hanya kelebihan 253 km dari harga saat ini. Al-Idrisi membawa globe yang menggambarkan dunia ke Raja Roger Sizilia pada 1139 M.
.
14. Senjata Api
Senjata api adalah perlengkapan standar polisi dan militer di manapun saat ini.  Cina adalah penemu mesiu, dan menggunakannya dalam kembang api mereka, tetapi insinyur Muslimlah yang memurnikannya dengan potasium nitrat untuk kepentingan militer. Pada abad ke 15 mereka telah membuat roket, yang mereka disebut “telur bergerak sendiri dan membakar”, dan sebuah terpedo paduan bom berbentuk buah pir dengan tombak di bagian depan yang akan menusuk dirinya dan meledak bila ditembakkan ke kapal musuh.
Semua penemuan ini terjadi karena ada sinergi para ilmuwan yang terdidik dan difasilitasi oleh Daulah Khilafah, kemudian disebarkan ke seluruh dunia dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.
.
Sumber: mediaumat.news
.
==================================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.

Kamis, 29 Maret 2018

Menakar Kehebatan Kita

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk paman yang sedang dirawat di sana. Keadaannya memprihatinkan dan saya sempat meneteskan air mata, tidak sanggup menatapnya lama. Napasnya sesak, tidak lagi normal sebagaimana orang sehat.

Tatapannya kosong dan tidak dapat lagi berkomunikasi dengan orang yang datang membesuknya. Alat-alat kesehatan yang saya tidak kenal apa saja namanya, ada yang terpasang di kaki, di tangan, dan di hidung. Kondisinya sudah demikian sekarat.

Di ruang terpisah, saya juga menyempatkan diri menjenguk orang tua dari teman saya yang terkena penyakit stroke. Usianya lumayan tua, delapan puluh tujuh tahun. Keadaannya kurang lebih sama dengan paman tadi. Harapan untuk sehat seperti sediakala sepertinya tipis, tapi memang tidak ada yang mustahil, kalau Allah berkehendak untuk menyembuhkannya, itu adalah kuasanya Allah.

Apa yang terbayang dalam benak kita adalah bahwa mereka yang terkapar tak berdaya ini dulunya adalah sosok yang kuat dan kekar. Lalu sekarang di mana kekuatan dan kehebatan itu? Sungguh sangat kecil kekuatan dan kehebatan manusia.

Ini dapat dimilikinya ketika masih muda atau ketika dia belum ditimpa penyakit. Sedikit pun tidak ada daya upaya manusia untuk mempertahankan kekuatan yang ada dalam dirinya. Seiring usia berjalan, kekuatan fisik terus terkikis dan terkuras. Atau bahkan masih muda saat seseorang terkena penyakit.

Sungguh manusia ini sangat lemah. Untuk itu, tidak usah sombong, merasa diri hebat, suka meremehkan orang lain, dan sifat buruk lainnya. Kekuatan dan kehebatan fisik yang kita miliki pada waktunya akan dicabut oleh Allah dan manusia tidak memiliki daya untuk menahannya.

Kalau begitu, selagi masih diberikan kekuatan dan kesehatan fisik, manfaatkan untuk hal-hal yang positif dan sesuatu yang bermanfaat sehingga saat terkapar tak berdaya kita tidak menyesal.

Berapa banyak orang yang ketika sakit merasa bersalah dan menyesal karena saat sehat dia kurang taat menjalankan ibadah dan minim berbuat kebaikan. Ya, kalau Allah memberikan kesempatan dan kesehatan baginya, tapi bagaimana kalau Allah memanggil untuk segera kembali kepada-Nya?

Karena itulah dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menegaskan bahwa ingatlah yang lima sebelum datang yang lima; muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, masa luang sebelum masa sibuk, dan hidup sebelum mati.

Beliau mengingatkan umatnya agar tidak lalai dan selalu siap dengan perubahan kondisi yang ditimpakan Allah kepada seseorang. Intinya selagi hidup, muda, ada kesem patan, sehat, dan selagi dititipi kekayaan, manfaatkan untuk berbuat baik, membantu yang lemah, peduli pada orang lain. Kesempatan itu mungkin hanya datang sekali.

Hebatkah manusia, seberapa hebat, dan seberapa lama hebatnya? Hebatnya manusia tidak lain adalah secuil kehebatan yang dititipkan Allah kepadanya. Kehebatan manusia bagaikan embun pagi, ke ti ka panas datang dia pun menghilang.

Maka, sesungguhnya kekuatan dan kehebatan sejati adalah ketika seseorang mampu istiqamah dalam keimanan serta melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Itulah orang hebat yang sesungguhnya.

Sumber :
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/18/03/24/p634iq396-menakar-kehebatan-kita

===============

Rabu, 28 Maret 2018

AQIDAH ISLAMIYAH

Aqidah Islamiyah terdiri dari iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti berarti kebenaran/keyakinan yang utuh tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, dan dapat dibuktikan dengan dalil baik naqli maupun aqli, bukan diada-adakan (misalnya keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu; tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti .
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika di luar jangkauan panca indra, maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:

“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan pe-renungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”

Peranan Akal dalam Masalah Keimanan

Akal manusia mampu membuktikan keberadaan sesuatu hal berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :

“Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.”

Oleh karena itu, ayat-ayat Alqur’an adalah bukti eksistensi/keberadaan Allah Sang Pencipta dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, jika akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, tentu tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:

“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman . Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat 3-4).
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga- duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :

“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira- ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya.” (HR. Abu Nu’im dalam “Al-Hidayah” ; sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shoheh)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa,tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah de-ngan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta’wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf.Imam Ibnul Qoyyim berkata :

“Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta’wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.”

Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna “persemayaman-Nya” (istiwaa’), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :

“Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid’ah/ salah.”

Kerusakan Aqidah Ummat Islam
Akibat Filsafat Yunani

Sebagian ulama khalaf (Mutaakhirin), terutama ahli ilmu kalam (Mutakallimin) tidak menjalani cara yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka tidak puas dengan cara berpikir demikian. Karenanya, mereka lalu menta’wilkan suatu Al-Wahyu yang termasuk mutasyabihat (tidak dijelaskan rinci oelh Allah dan Rasul- Nya, a.l. tentang sifat dan perbuatan Allah SWT), sesuai dengan kehendak akal, padahal semua itu berada diluar kemampuan akal. Mereka menggunakan dalil aqli dengan dasar mantiqi/logika untuk membahas hal-hal seperti bergeraknya Allah, Allah turun ke langit, hubu-ngan antara sifat dengan Dzat Allah, dll.
Meski ulama khalaf menempuh jalan yang tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Al-Quran, tetapi mereka masih tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalil-dalil syar’iy. Namun mereka telah mencoba menggunakan akal untuk memecahkan persoalan yang pernah dialami oleh para filosof Yunani terdahulu, tanpa kembali pada ketentuan Wahyu dan contoh Rasulullah SAW. Mulailah mereka melontarkan kembali masalah- masalah klasik, seperti wihdatul-wujud dll. Pendapat-pendapat mereka (ahli kalam dan filosof) telah meragukan ummat terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masalah aqidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan mengeluarkan sebagian kaum muslimin dari Islam. Karenanya aqidah Islam perlu dijauhkan dari ilmu mantik atau filsafat agar tidak membahayakan aqidah ummat. Sumber aqidah hanyalah Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir. Metode yang digunakan adalah metode aqliyah (melalui pemahaman terhadap dalil aqli dan naqli) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum umat Islam bertemu dengan ahli filsafat (Yunani) dan ajaran-ajarannya

Bertaruh Mati Demi Sesuap Nasi, Ironi Nasib Rakyat Negeri Loh Jinawi

Penulis : Ririn Umi Hanif
.
Nasib tenaga kerja Indonesia kembali berakhir di ujung pedang. Zaini Misrin, TKI asal Bangkalan Madura, telah diekskusi mati oleh pemerintah arab Saudi pada hari minggu 18 maret 2018. Hal itu terkait dengan kasus yang menjerat terpidana sejak tahun 2004 lalu. Zaini Misri, terbukti telah membunuh majikannya (detiknews.com, 19/3/2018|)
.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menegaskan, bahwa pihaknya bersama Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI akan terus berupaya untuk melindungi seluruh tenaga kerja Indonesia ( TKI) yang terancam hukuman mati, khususnya yang ada di Arab Saudi. Hanif pun memaparkan data yang ia peroleh dari Kementerian Luar Negeri. Ia mengungkapkan bahwa pada periode 2011-2018 terdapat 102 TKI divonis hukuman mati. Dan kasus Zaini Misri inipun sudah diupayakan untuk advokasi dan pendampingan hukum  menggunakan semua jalur sejak tahun 2008 sampai dengan 2018 ini. (Kompas.com, 20/3/2018).
.
Sangat dipahami jika keluarga terpidana merasa terpukul dan kehilangan, ketika tiba-tiba ada kabar bahwa anggota keluarga mereka meninggal di negeri orang karena hukuman. Karena sejak awal para TKI ini berangkat ke luar negeri hanya untuk mencari sesuap nasi. Yang aneh, justru tindakan negara terhadap kejadian ini.
.
Meski Menteri Ketenagakerjaan menyatakan ikut berduka, dan telah melakukan berbagai upaya advokasi maupun pendampingan hukum, Migrant Care menilai pemerintah selalu reaktif, tidak preventif dalam melindungi tenaga kerja Indonesia.
.
Kalau mau jujur, para buruh migran ini lebih memilih bekerja luar negeri karena tidak ada pekerjaan yang lebih baik di dalam negeri. Kebanyakan mereka yang merantau itu sangat miskin pengetahuan dan keahlian. Berbekal kemampuan apa adanya, menjadi tenaga buruh lah pilihannya. Seperti Zaini Misri, dia bertaruh mati hanya untuk mendapat gaji sebagai sopir.
.
Kemiskinan menjadi faktor utama. Bekerja di luar negeri bukanlah kebanggaan, tapi sebuah keterpaksaan. Tak heran sebagian mereka pun nekad, sampai menempuh jalur ilegal untuk mencapai negara tujuan. Di luar negeri pun mereka berani mengambil risiko, termasuk risiko hukum, baik yang ringan hingga yang terberat—hukuman mati. Inilah ironi negeri Indonesia. Negara kaya sumber daya alam tapi penduduknya miskin. Negara lebih suka 'mengekspor' tenaga kerja untuk mendapatkan devisa daripada mengelola sumber daya alam secara mandiri bagi kesejahtera¬an seluruh rakyat.
.
Dengan begitu banyaknya resiko yang diambil oleh buruh migran, sesungguhnya mereka tidak pernah diuntungkan. Para 'penjual' tenaga kerja lah yang mendapat keuntungan, juga negara atas nama devisa. Bahkan, beberapa kalangan menyebut telah ada praktik trafficking —perdagangan manusia—terselubung dalam praktek pengiriman TKI ke luar negeri, meski tidak semuanya.
.
Begitu kaus Zaini masuk ke media, berbagai komentar pro dan kotra. Tanpa melihat proses hukum itu sendiri berlangsung, sebagian langsung menyatakan bahwa hukum pancung itu amat biadab dan kejam.
.
Para pegiat HAM mengecam. Mereka menilai, manusia tidak berhak mencabut nyawa seseorang karena itu hak sepenuhnya Tuhan. Sebagian masyarakat pun menilai hukum pancung di Saudi itu sadis dan tidak berperikemanusiaan. Seakan mereka lupa, bahwa para terpidana telah melakukan perbuatan mencabut nyawa orang. Maka, suatu yang adil pula jika terpidana tersebut menerima ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya.
.
mengenai layak tidaknya manusia yang melakukan, jawabannya manusia bisa melakukannya, karena Allah telah mendelegasikan kepadanya. Hanya saja standar yang dipakai haruslah standar Allah, yang dalam Islam disebut sebagai hukum syara. Qishash sendiri maknanya adalah hukuman yang setimpal. Orang yang memukul, maka qishas-nya ya dipukul. Orang membunuh, qishas-nya ya dibunuh. Bukankah ini sangat adil?
.
Dalam khasanah hukum Islam, hukuman itu memiliki dua hikmah/fungsi, yakni jawabir, artinya hukuman itu dapat menjadi penebus dosa di akhirat. Hikmah kedua berupa zawajir, maksudnya hukuman itu bisa menimbulkan efek jera di masyarakat, sehingga orang lain tidak mengulangi tindakan tersebut.
.
Maka orang yang telah di qishas, insya Allah dosa atas perbuatannya itu terhapus. Ia tidak akan disiksa atas perbuatan yang telah dilakukannya itu ketika nanti di akhirat karena telah di-tebus. Dalam kasus Zaini, mudah-mudahan hukuman itu menghapus dosanya karena membunuh majikannya.
.
Soal pancung itu sendiri yang dianggap kejam, penelitian membuktikan bahwa pemancungan adalah cara kematian yang paling cepat di antara cara kematian lain yang ada di dunia. (infounik1001.blogspot.com)
.
Namun demikian, hukuman mati adalah hak negara, bukan individu maupun kelompok. Negara yang dimaksud pun adalah negara yang berdasarkan syariah Islam yakni khilafah. Sementara hukuman itu sendiri jatuh setelah melalui proses pengadilan yang syar’i. Wallhu a’lam bi ash showab. []
==================================

Senin, 26 Maret 2018

INSTRUMEN PEMERINTAHAN

A. Pengertian Instrument Pemerintahan

Instrument  pemerintah adalah alat-alat atau sarana yang digunakan oleh pemerintah atau administrasi Negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

B. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). Perundang-undangan mengandung arti proses pembentukan dan hasil pembentukan. Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1.      Bersifat umum dan komprehensif

2.      Bersifat universal

3.      Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dirinya sendiri.

C. KetetapanTata Usaha Negara

Dikenalkan pertama kali oleh seorang Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsaktKetetapan adalah tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintah yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa. Unsur-unsur ketetapan secara teoritis dan berdasarkan hukum positif :

1. Suatu pernyataan kehendak tertulis

Pernyataan kehendak sepihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis ini muncul dalam dua kemungkinan, yaitupertama ditujukan ke dalam (naar binnen gericht), yang artinya ketetapan berlaku ke dalam lingkungan administrasi Negara sendiri, dan kedua, ditujukan ke luar (naar buiten gericht), yang berlaku bagi warga Negara atau badan hukum perdata. Ketetapan dibagi menjadi ketatapan intern(interne beschikking) dan ketetaopan ekstern (externe beschikking).

2. Dikeluarkan oleh Pemerintah

Hampir semua organ pemerintah berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan, misalnya keputusan MPR, keputusan DPR, keputusan presiden selaku kepala Negara, keputusan hakim, dsb.

3. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

Pembuatan dan penerbitan ketetapan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada wewenang pemerintah yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau tata usaha negara tidak dapat membuat dan menerbuitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah. Organ pemerintah dapat memperoleh kewenangan untuk membuat ketetapan tersebut melalui atribusi, delegasi, dan mandat.

4. Bersifat Konkret, Individual, dan Final

Konkret berarti objek yang diputuskan dalam KTUN bersifat abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupunhal yang dituju. Apabila yang dituju lebih adari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena ketetapan itu harus disebutkan. Final berarti sudah definitive sehingga dapt menimbulkan akibat hukum. Ketetapan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atauinstansi lain belum bersifat final sehingga belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban kepada pihak yang berdangkutan.

5. Menimbulkan Akibat Hukum

Akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari keputusan adalah munculnya hak, kewajiban, kewenangan, atau status tertentu.

6. Seseorang atau Badan Hukum Perdata

Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Kualifikasi untuk menentukan subjek hukum adalah mampu atau tidak mampu untuk memikul hak atau kewajiban hukum.

Macam-macam Ketetapan secara Toeritis :

1.      Ketetapan Deklaratoir dan Ketetapan Konstitutif

2.      Ketetapan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban

3.      Ketetepan Eenmalig dan Ketetapan yang Permanen

4.      Ketetapan yang Bebas dan yang Terikat

5.      Ketetapan Positif dan Negatif

6.      Ketetapan Perorangan dan Kebendaan

Syarat-syarat Pembuatan Ketetapan :

1.      Syarat-syarat material antara lain :

Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang.Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis.Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tertentu.Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasrnya.

2.      Syarat-syarat formal antara lain :

Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubungan engan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu.Syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi.Jangkan waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.

D. Peraturan Kebijaksanaan

1. Freies Ermessen

Merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus treikat sepenuhnya pada undang-undang. Unsur-unsur freies Ermessen menurut Sjachran basah :

1.      ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;

2.      merupakan sikap tindakan yang aktif dari administrasi negara;

3.      sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;

4.      sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;

5.      sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan oersoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;

6.      sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang maha Esa maupun secara hukum.

Dalam praktiknya di pemerintah, freies Ermessen dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut :

1.      Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian in konkritoi terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera.

2.      Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya.

3.      Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya.

Freies ermesseni ini ditolak dari kewajiban pemerintah dalam welfare state, dimana tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara.

2. Pengertian, Ciri-ciri, Fungsi, dan Penormaan Peraturan Kebijaksanaan

a. Pengertian Peraturan Kebijaksanaan

Peraturan kebijaksanaan peda hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis. Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi perturan perundang-undangan.

b. Ciri-ciri Peraturan Kebijaksanaan

Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan sebagai berikut :

1.      Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.

2.      Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pad peraturan kebijaksanaan.

3.      Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.

4.      Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan  freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.

c. Fungsi dan Penormaan Peraturan kebijaksanaan

Menurut Marcus Lukman, peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna, yang berarti :

1.      tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan;

2.      teoat guna dan berdaya guna sebagai sarana peraturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan;

3.      tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana bagio kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan;

4.      tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana peraturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman;

5.      tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

E. Rencana-Rencana

1. Pengertian Rencana

Rencana merupakan bagian yang tidak bisa dielakkan dalam suatu organisasi sebagai tahap awal untuk pencapaian tujuan.Rencana merupakan alat bagi implementasi, dn implementasi hendaknya berdasar suatu rencana.Rencana didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan merupakan fungsi organic pertama dari administrasi dan manjemen.Berdasarkan hukum administrasi negara, rencana merupakan bagian dri tindakan hukum pemerintah (bestuurrechtshandeling), suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.Perencanaan dibagi menjadi tiga kategori :

a.       Perencanaan informative

b.      Perencanaan indikatif

c.       Perencanaan operasional atau normative

è Perencanaan berdasar waktu : perencanaan jangka panjang, menengah, pendek.

è Perencanaan berdsar tempat : pperencanaan tingkat pusat, propinsi, kabupaten, ataupun rencana-rencana sektoral.

è Perencanaan berdasar bidang hukum : rencana tata ruang, ekonomi, social, kesehatan, dan bidang-bidang lain.

è Perencanaan berdasar sifatnya : sektoral, bidangnya, integral.

è Perencanaan berdsar metodenya : perencanaan akhir dan perencanaan proses.

è Perencanaan berdasar sarana : pelaksanaan sarana memerlukan instrument yuridis, financial, dan organisasi.

2. Unsur-unsur Rencana

Dalam perspektif  hukum administrasi negara, J.B.J.M. tenBerge mengemukakan unsure-unsur rencana sebagai berikut :

a.       Gambaran tertulis

b.      Keputusan atau tindakan

c.       Organ pemerintahan

d.      Ditujukan pada amsa yang akan datang

e.        Elemen-elemen rencana

f.       Memiliki sifat yang tida sejenis, beragam

g.      Keterkaitan

h.      Untuk waktu tertentu

3. Karakter Hukum Rencana

Perecanaan adalah bentuk tertentu mengenai pembentukan, kebijaksanaan, dinyatakan dalam bentuk hubungan timabal balik antara kebijaksanaan dengan hukum.FAM Stroink dan JG Steenbek mengemukakan empat pendapat mengenai sifat hukum rencana, yaitu ;

a.       Rencana adalah ketetapan atau kumpulan berbagai ketetapan

b.      Rencana adalah sebagian dari kumpulan ketetapan-ketetapan, sebagian peraturan, peta dengan penjelasan adalah kumpulan keputusan-keputusan, penggunaan peraturan memiliki sifat peraturan

c.       Rencana adalah bentuk hukum tersendiri

d.      Rencana adalah peraturan perundang-undangan

Dalam perspektif hukum adinistrasi negara, rencana merupakan salah satu instrument pemerintahan, yang sifat hukumnya berada di antara peraturan kebijaksanaan, peraturan perundang-undangan, dan ketetapan.

F. Perijzinan

1. Pengertian perizinan

Izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentuIzin adalah sebagai perbuatan hukum bersegi satu ang dilakukan oleh pemerintah, sedangkan konsesi adalah suatu perbuatan hukum bersegi dua, yakni suatu perjanjian yang diadakan antara yang member konsesi dengan yang diberi konsesi atau penerima konsesi.

2. Unsur-unsur perijinan

Dari pengertian perizinan sebelumnya, ada beberapa unsure yang terkait dengan perizinan, yaitu :

a.       Instrument Yuridis

b.      Peraturan perundang-undangan

c.       Organ pemerintah

d.      Peristiwa konkret

e.       Prosedur dan perawatan

3. Fungsi dan tujuan perizinan

Izin berfungsi selaku ujung tombak instrument hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur itu diwujudkan.Sedangkan tujuan dari izin secara umumantara lain adalah :

a.       Keinginan mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu

b.      Izin mencegah bahaya bagi lingkungan

c.       Keinginan melindungi objek-objek tertentu

d.      Izin hendak membagi benda-benda yang sedikit

e.        Izin memberikan pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas

4. Bentuk dan isi izin

Sebagai ketetapan yang tertulis, secara umum izin memuat hal-hal sebagai berikut ;

a.       Organ yang berwenang

b.      Yang dialamatkan

c.       Dictum

d.      Ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan, syarat-syarat

e.       Pemberian alasan

f.       Pemberitahuan-pemberitahuan tambahan

g.      Instrument hukum keperdataan

1.      Penggunaan instrument hukum  keperdataan

2.      Instrument hukum keperdataan yang dapat digunakan pemerintah

§  Dalam rangka menjalankan kegiatan pemerintahannya, pemerintah dapat menggunakan perjanjian yang bentuknya antara lain sebagai berikut :

a.       Perjanjian biasa

b.      Perjanjian perdata dengan syarat-syarat stadart

c.       Perjanjian mengenai kewenangan publik

d.      Perjanjian mengenai kebijaksanaan pemerintah

Sumber
http://mastonofisip.blog.uns.ac.id/instrumen-pemerintahan.html/

Senin, 19 Maret 2018

Allahu Akbar ! Al-Qur’an Kuno Di Papua


Beranda  Artikel

ArtikelCahaya IslamMozaik Islam

Allahu Akbar ! Al-Qur’an Kuno Di Papua

Bukti Islam Masuk Papua Sejak 1224 M

Penulis

 Berita Muhammadiyah OKU

-

April 29, 2017

696

SangPencerah.Id – Fakfak – Islam ternyata telah masuk ke tanah Papua sejak 17 Juli 1224 M. Salah satu peninggalannya yang tersimpan adalah Al-Qur’an kuno. Hal itu diungkapkan oleh raja Patipi ke XVI, H. Ahmad Iba. Ia mengatakan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh Syaikh Iskandar Syah atas mandat Syaikh Abdur Rauf dari kerajaan Pasai.
.
“Syaikh Iskandar Syah melakukan perjalanan dakwah dan tiba di Messia atau Mes kerajaan Patipi awal ketika itu bertemu dengan orang bernama Kris Kris,” katanya kepada Kiblat.net di kediamannya, Fakfak, Papua.
.
“Dan beliau (Syaikh Iskandar Syah;red) mengajarkan apabila kalian ingin selamat, ingin sejahtera, kalian harus mengenal alif lam lam ha (Allah), dan mim ha mim dal (Nabi Muhammad SAW) dan dilanjutkan dengan pembacaan syahadat,” tuturnya

Ahmad Iba juga mengatakan, Syaikh Iskandar Syah oleh bapak Kris kris tiga bulan kemudian dia diangkat menjadi imam pertama. Dan Kris Kris menjadi Raja Patipi awal. Namun, beberapa tahun kemudian di Messia terjadi tsunami dan melenyapkan masjid serta beberapa warga sekitar.
.
“Dan beberapa tahun kemudian, terjadi tsunami maka seluruh Masjid dan isinya beserta penduduk sebagian ditelan bumi kecuali Kitab Al-Quran dan beberapa kitab fiqih, tauhid yang diselamatkan oleh Syaikh Iskandar Syah,” ujarnya.

Hingga saat ini Al-Quran dan beberapa kitab lain masih tersimpan di rumah Ahmad Iba. Meski sudah terlihat lusuh, ia tetap menjaganya dengan menaruh di lemari kaca.

.
“Saya pakai lemari kaca, kasih masuk. Baru kasih masuk obat. Supaya jaga tidak ada rayap makan,” ujarnya dengan logat Papua.

Selain itu, dai asal Papua, Ustadz Fadlan Garamatan menegaskan bahwa adanya Al-Quran yang sudah berumur ratusan tahun itu menunjukkan adanya Islam di Papua. Namun, karena kekurangan dai, sehingga berita tersebut tidak tersebar luas.
.
“Ini bukti otentik yang menunjukkan pada dunia dan bangsa Indonesia bahwa Islam itu berada di Nuu waar (Papua). Tetapi karena kurangnya dai, kurang guru seakan di negeri itu tidak ada Islam.” (kiblat/sp)

Sumber: sangpencerah.id

Minggu, 18 Maret 2018

MENGAPA PARA ILMUAN BANYAK YANG ATHEIS ATAU SEKULER?

Oleh: Choirul Anam

Semakin dalam seseorang mengkaji ilmu pengetahuan dan alam ini, maka akan semakin dalam keimanannya kepada Allah swt, sebab mereka melihat dengan “mata kepala” sendiri keselarasan dan ketepatan semua proses yang terjadi di alam ini. Dan semua itu mustahil terjadi dengan sendirinya sebagai peristiwa kebetulan, sebab sebuah keteraturan pastilah ada yang mengaturnya. Sebuah proses kebetulan hanya mungkin terjadi sesekali pada proses sederhana, tetapi keteraturan pada proses yang sangat kompleks secara kontinyu hanya terjadi pada proses yang diatur atau dikendalikan atau terencana dengan sangat baik. Pengendali dan perencana alam yang sangat menakjubkan ini pastilah sesuatu yang Maha Cerdas dan Maha Sempurna. Dialah kausa prima, ujung dari segala ujung pencarian, sumber dari segala sumber energi, asal dari segala eksistensi, Dialah Pencipta alam semesta, Allah swt.

Dengan pernyataan tersebut, mestinya para ilmuan itu merupakan orang-orang dengan keimanan yang menghunjam, tetapi mengapa realitasnya justru banyak ilmuan yang atheis atau minimal tidak menganggap penting agama? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ilmu pengetahuan sekarang?

*****
Kebanyakan orang sering menjawab bahwa mereka atheis atau sekuler karena belum mendapat hidayah. Meskipun jawaban ini mungkin cukup memuaskan bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian orang lain belum cukup memuaskan. Sebab, hidayah merupakan proses kompleks yang hanya diketahui hasil akhirnya. Sebagian orang terkadang ingin tahu prosesnya dan alasan yang lebih rasional di balik suatu fenomena, termasuk fenomena banyaknya ilmuan yang atheis atau minimal menganggap bahwa agama bukan sesuatu yang penting.

Dr. Salim Frederick dalam bukunya yang bejudul “Political and Cultural Invasion” menganalisis bahwa fenomena banyaknya ilmuan yang atheis atau tidak menganggap penting agama sangat erat hubugannya dengan paradigma ilmu yang mereka yakini dan ini merupakan bagian integral dari filsafat ilmu saat ini. Salah satunya, ilmu pengetahuan telah direduksi hanya untuk menjawab pertanyaan “how (bagaimana)”, tetapi dianggap tabu untuk menjawab “why (mengapa)”. Bahkan seandainya, pertanyaan “why” diajukan, itu pun hanya sekedar untuk membantu menjawab pertanyaan “how”. Pertanyaan tentang “how” inilah yang dikejar dan diteliti dengan sangat mendalam oleh para ilmuan. How did things happen? How will things happen? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu berkecamuk pada pikiran para ilmuan.

Beberapa Fisikawan mungkin memiliki pertanyaan yang sangat mengagetkan, misalnya: Bagaimana alam semesta diciptakan? Terus terang pertanyaan ini merupakan sesuatu yang luar biasa, pertanyaan yang teramat sangat rumit. Perlu diketahui bahwa pertanyaan tersebut bukan untuk sekedar gaya-gayaan para Fisikawan, tetapi mereka benar-benar mencurahkan segala pikiran, tenaga, dana dan semua potensinya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang sangat menarik, berkat kerja keras mereka, setiap saat mereka mendapatkan serpihan-serpihan jawaban, lalu serpihan-serpihan jawaban itu mereka rangkai secara terus-menerus tanpa kenal lelah, untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana alam semesta diciptakan? Meski demikian, mereka tak pernah ingin menjawab pertanyaan lanjutannya: Mengapa alam semesta diciptakan?

Para Fisikawan dengan bidang penelitian yang lain, para Ahli Kimia, para Ahli Biologi, dan semua ilmuan juga sama. Mereka sangat serius dan mencurahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab pertanyaan mereka masing-masing tentang “how”, tetapi tidak tentang “why”.

Dari pertanyaan “how” memang telah menghasilkan perkembangan sains yang sangat mengagumkan. Einstein telah memberikan penjelasan yang mengagumkan tentang ruang-waktu, Hubble telah menjelaskan dengan sangat mencengangkan tentang Big-Bang dan pengembangan alam semesta dari pergeseran merah frekuensi radiasi bintang-bintang, Crick dan Watson telah menjelaskan tentang sangat menakjubkan tentang kompleksitas pewarisan sifat dan perkembangan makhluk hidup dengan bentuk spiral molekul DNA, dan beribu-ribu fenomena lain yang sangat menakjubkan. Bukan hanya sains, tetapi dengan menjawab pertanyaan “how” juga telah menghasilkan teknologi-teknologi canggih yang tak terlintas dalam pikiran generasi sebelumnya. Kini telah terdapat teknologi yang memungkinkan kita untuk mengobrol dengan teman dan keluarga yang berada di benua yang berbeda, tercipta “dunia maya” dengan media sosial, pesawat-pesawat ruang angkasa, berbagai organ tubuh tiruan, dan teknologi tinggi lainnya.

Namun demikian, pertanyaan dengan “why” tidak terjawab dengan memadai. Memang, para ilmua juga menjawab pertanyaan tentang “why”, tetapi hanya “why” yang berhubungan langsung dengan “how”. Misalnya pertanyaan: Mengapa apel jatuh? Dijawab oleh Newton, karena gravitasi bumi. Mengapa ada gravitasi bumi, dijawab Eisntein karena kehadiran massa benda yang mendistorsi ruang (space). Mengapa kehadiran massa suatu benda mendistorsi ruang? Belum terjawab hingga saat ini. Meskipun jawaban Newton dan Einstein tampak sebagai jawaban tentang “why”, tetapi sebenarnya masih jawaban tentang “how” atau bagaimana alama ini bekerja.

Pertanyaan tentang “why” yang sebenarnya belum terjawab, seperti pertanyaan: Mengapa alam semesta ini ada? Mengapa dunia ini ada? Mengapa  ada gravitasi? Mengapa ada ruang dan waktu? Mengapa manusia hidup? Mengapa manusia dilahirkan dan akhirnya mati? Mengapa fenomena alam harus mengikuti hukum tertentu?

Semua pertanyaan “mengapa” ini memang dibiarkan tidak dijawab oleh para ilmuan. Ini pun memunculkan pertanyaan: Mengapa mereka tidak mau menjawabnya?

*****
Mengapa mereka tidak mau menjawab pertanyaan “mengapa”? Sebab mereka meyakini bahwa dalam filsafat ilmu, ilmu itu telah diklasifikasi menjadi berbagai cabang ilmu dan seorang ilmuan harus fokus dengan spesialisasi ilmu tertentu.

Seorang ilmuan fokus pada satu cabang ilmu. Mereka, setiap hari bahkan setiap saat, bergulat dan bergelut dengan spesialisasi ilmunya. Dengan demikian mereka menjadi pakar (expert) di bidang-nya masing-masing. Karena sangat fokus ini mereka mampu menemukan hal-hal baru pada bidangnya yang sangat mengagumkan. Seorang ilmuan ahli cacing misalnya, tiap hari ia bergulat dengan cacing, hingga “mengetahui” dengan detil tentang cacing, ibaratnya dari “ujung kuku hingga ujung rambutnya”. Tapi jangan pernah tanya mereka tentang semut. Dia akan menjawab dengan datar: “saya bukan ahli semut”. Demikian juga sikap pakar-pakar pada bidang yang lain. Sikap ini memang sangat positif, sehingga hanya hanya orang yang ahli di bidangnya yang akan bicara memberi penjelasan. Sementara orang yang tidak ahli di bidangnya, ia akan diam mendengarkan, tidak akan banyak bicara, apalagi “memberi fatwa” tanpa bekal ilmu yang cukup.

Para ilmuan, mereka sangat ahli tentang fenomena fisis pada bidangnya masing-masing.

Kembali ke pertanyaan “mengapa”, menurut mereka adalah pertanyaan metafisika, bukan pertanyaan fisika (fisis). Oleh karena itu, pertanyaan tentang “mengapa”, jawabannya bukan di ilmu pengetahuan, tetapi di agama. Jadi, sekulerisme memang menjadi paradigma ilmu. Jika selama ini kita mengetahui sekulerisme itu ada dalam politik-ekonomi-hukum, maka sekuler juga mejadi paradigma ilmu. Sains-teknologi dan agama itu dua hal yang berbeda. Sains dan teknologi itu berurusan dengan fenomena fisis, sementara fenomena meta-fisis itu hanya berhubungan dengan agama. Agama dan sains-teknologi tidak ada hubungannya sama sekali.

Terdapat banyak fenomena dimana jawaban agama dan sains-teknologi bahkan bertolak belakang terhadap suatu fenomena. Oleh karena itu mereka harus menerima “takdir” bahwa sains-teknologi dan agama memang dua hal yang berbeda, yang tidak berhubungan sama sekali. Keduanya terpisah sama sekali.

Sekedar contoh menurut doktrin “agama” (yang ada di Barat), bumi adalah pusat tata surya (geosentris), sebab manusia adalah makluk utama, dan makhluk utama pastilah ada di tempat utama, dan tempat utama pastilah sebagai pusat dan dikelilingi yang lain, bukan mengelilingi yang lain. Karena itu, bumi yang dihuni makhluk utama haruslah dikelilingi bulan, matahari, dan planet-planet yang lain. Sementara itu, sains yang dasarnya adalah observasi dan penarikan kongklusi secara logis menjelaskan bahwa bulan memang mengitari bumi, tetapi matahari tidak mengelilingi bumi. Bumi dan planet-planet yang lain justru berputar  matahari (helio-sentris).

Contoh yang lain, menurut doktrin “agama” (yang ada di Barat) dikenal konsep trinitas, dan salah satunya adalah tuhan anak, yang lahir sekitar 2000 tahun yang lalu. Sementara menurut sains berdasarkan pengamatan teropong Hubble bahwa alam muncul melalui fenomena Big-Bang yang terjadi milyaran tahun yang lalu. Jika tuhan anak baru lahir 2000 tatun atau anggap saja jauh lebih lama sekitar 20.000 tahun, lalu siapa yang memunculkan alam semesta dan megaturnya dengan keteraturan yang menakjubkan dalam segala aspeknya sejak milyaran tahun lalu.

Inilah misalnya yang dikatakan dengan jujur oleh Fisikawan terkenal Lipson terkait dengan asal-usul alam semesta: “Satu-satunya penjelasan yang dapat diterima adalah PENCIPTAAN. Saya mengetahui bahwa hal ini adalah SANGAT HARAM dan TABU bagi ahli Fisika, bahkan bagi saya sekalipun, tetapi kita tidak bisa menolak sebuah teori yang tidak kita sukai jika bukti-bukti eksperimental benar-benar mendukungnya”. Mereka percaya pencipta, tetapi pencipta alam yang sebenarnya, bukan pencipta versi “agama” yang dinilainya irasional dan hanya kumpulan doktrin.

Dalam konstruksi paradigma Barat, “agama” dan sains memang dua hal yang berbeda dengan doktrin-doktrin dan filosofi yang berbeda. Orang harus memilih apakah percaya “agama” atau percaya sains. Orang tidak bisa percaya keduanya, karena keduanya memiliki doktrin yang saling kontradiktif. Bisa ditebak meski orang awam lebih percaya “agama”, tetapi para ilmuan tentu lebih percaya sains dan teknologi yang diperoleh dari hasil pengamatannya sendiri dan kolega-koleganya yang memiiki paradiga yang sama. Itulah mengapa para ilmuan tampak sebagai orang-orang “atheis” dan “sekuler” yang cenderung tak peduli dengan agama.

Karena itu, para ilmuan berusaha menghindari untuk menjawab pertanyaan tentang “why”, sebab itu pertanyaan tentang metafisika. Itu pertanyaanya “agama”, dan sangat tabu ilmuan bicara “agama”. Dengan bahasa “halus” mereka menjawab bahwa para ilmuan tidak fokus tentang urusan metafisika dan agama. Namun, sebagian ilmuan yang berani berterus terang, mereka menganggap agama hanyalah kumpulan pengabdi mitos, kumpulan orang-orang tak rasional, dan kumpulan orang-orang dengan pemikiran jumud.

Begitulah kira-kira gambaran paradigma ilmu pengetahuan saat ini. Paradigma tersebut tersebut telah mengkerangkeng ilmu dan para ilmuan pada zona sempit yang bersifat sangat teknis. Meskipun menghasilkan ledakan sains dan teknologi yang luar biasa, paradigma tersebut telah memenjara para ilmuan pada khususnya dan manusia pada umumnya untuk tidak berani menerobosnya pada pertanyaan yang membebaskan, yaitu: Mengapa dunia ini ada? Mengapa manusia hidup? Dan untuk apa hidup ini?

Konsekuensinya di Barat dan di dunia yang menjadikan Barat sebagai kiblat, terciptalah masyarakat atheis dan sekuler secara masif. Ini bukan fenomena yang terjadi secara kebetulan, tetapi terjadi secara sistematis oleh paradigma ilmu yang mereka gunakan.

*****
Tentu saja di mana pun selalu ada orang-orang yang berpikir out of the box, keluar dari zona aman dan nyaman, untuk kemudian menembus batas-batas yang dipagari oleh paradigma ilmu dan dianggap tabu oleh komunitas dan masyarakatnya.

Dr. Maurice Bucaille, misalnya. Dia berani dianggap tabu dan menembus batas pagar paradigma ilmu. Beliau beusaha meneliti secara obyektif, kebenaran sains dan kitab-kitab suci agama-agama. Peneliian dan penelusuran itu beliau tulis dalam bukunya yang terkenal “ La Bible le Coran et la Science”.

Dalam penelitiannya, Ia menempatkan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al-Qur’an yang dianggap sebagai kumpulan kitab agama-agama samawi. Menurut dia, alam adalah ciptaan Sang Pencipta dan kitab suci adalah firman Sang Pencipta. Oleh karena itu keduanya pasti menghasilkan kesimpulan yang sama pada fenomena yang sama. Tentu saja, sains adalah sesuatu yang progresif yang terus berkembang, demikian pula penafsiran kitab suci. Namun, ada suatu titik dimana hal-hal fundamental dianggap proven dan tidak mengalami perkembangan lagi kecuali pada hal-hal yang bersifat permukaan. Pada titik itulah, ia membandingkannya. Ia membandingkan bukan hanya satu fenomena alam, tetapi banyak fenomena alam yang dianggap proven dan sampai pada titik yang diyakini kebenarannya.

Dari penelitian tersebut, Ia memeperoleh kesimpulan bahwa terdapat keselarasan yang mengagumkan antara sains modern dengan al-qur’an, sebaliknya ia mendapat banyak fenomena yang kontradiktif antara sains modern dengan kitab suci yang lain. Dengan demikian, al-qur’an memang kitab suci yang berasal dari Sang Pencipta. Sedangkan selainnya, mungkin berasal dari Sang Pencipta, tapi mungkin mengalami perubahan-perubahan secara historis oleh pihak-pihak tertentu.

Terdapat ribuan ayat al-quran yang menantang manusia untuk mengkaji alam secara seksama dan mengkritisi kebenaran al-qur’an. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih bergantinya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengaturan angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (TQS. Al-Baqarah [2]: 164). “Katakanlah: (‘Kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya (al-qur’an)” (TQS. Yunus [10]: 38).

Oleh karena, menganggap semua agama bertentangan dengan sains modern, merupakan cara pandang sempit yang dikungkung oleh opini sempit dan paradigma yang perlu dikoreksi. Agama itu tidak hanya satu, yaitu yang dominan di Barat. Di luar itu ada agama yang berbeda dengan agama yang dominan di Barat, yaitu Islam.

Namun, apakah para ilmuan menerima Islam begitu saja? Meski banyak yang akhirnya menemukan kebenaran di dalam Islam, tetapi banyak yang justru menganggap Islam lebih hina dibanding agama yang eksis di Barat. Jika di Barat, agama yang eksis hanya dianggap bertentangan dengan Sains, Islam lebih parah lagi sudahlah dianggap kontradiksi dengan Sains, Islam juga mengajarkan terorisme, pembunuhan, konflik, peperangan dan segala atribut negatif lainnya.

Inilah salah satu medan dakwah fikriyah yang juga harus dipikirkan oleh umat Islam. Atheisme dan sekulerisme tidak bisa diluruskan hanya dengan marah dan gebar-gembor. Atheisme, sosialisme, dan sekulerisme ini merupakan suatu paham tentang kehidupan yang bersemanyam dengan kuat di hati dan pikiran para pengikutnya. Pemikiran tersebut memiliki bangunan dan pondasi yang menopangnya. Meskipun kritik pada sebagian aplikasi praktisnya terkadang berdampak, tetapi selama paradigma dan fondasinya tidak berubah, maka secara keseluruhan tidak akan ada perubahan apa-apa.

Satu-satunya cara untuk mencabut dan membongkar paham tersebut hanya dengan menghadirkan pemahaman ideologi Islam dengan bahasa yang dapat dipahami mereka. Pada titik ini, battle for minds and hearts adalah battle yang sebenarnya. Inilah sebenarnya esensi dari dakwah fikriyah wa siyasiyah.

Wallahu a’lam.

Jumat, 16 Maret 2018

MENIMBANG ‘ILLAT SYAR‘IYYAH

Oleh M. Shiddiq al-Jawi

Pengantar Redaksi:

Jumhur ulama memandang bahwa Qiyas merupakan salah satu di antara dalil syariat (sumber hukum) yang menduduki martabat keempat setelah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’. Qiyas digunakan pada suatu fakta jika tidak didapati hukum dari nash-nash al-Quran, as-Sunnah, atau Ijma’. Jika hukum syariat atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), maka hukum syariat dapat diterapkan pada fakta lain—yang tidak ada nashnya—yang memiliki ‘illat yang sama.[i]

Tulisan ini bertujuan menjelaskan berbagai jenis ‘illat syar‘iyyah tersebut lebih lanjut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid III (Ushul Fiqih) halaman 313-358 bab Qiyas. Menurut beliau, ada 4 (empat) macam, yaitu: (1) ‘illat sharâhah; (2) ‘illat dalâlah; (3) ‘illat istinbâth; (4) ‘illat qiyâs.[ii] Berikut ini adalah penjelasannya.

Dalam perspektif ilmu ushul fikih, Qiyas dipandang sangat urgen, karena Qiyas dapat dijadikan dasar untuk menghukumi fakta-fakta yang tidak ada nashnya dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’. Dengan kata lain, Qiyas mengatasi problem keterbatasan nash pada satu sisi dan problem manusia yang tak terbatas pada sisi lain.[iii] Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan Qiyas.”

Imam al-Muzani juga berkata, “Para fukaha (ahli fikih) sejak masa Rasulullah saw. hingga hari ini selalu menggunakan qiyas-qiyas dalam masalah fikih atau hukum-hukum dalam urusan agama mereka.”[iv]

Qiyas secara etimologis berarti mengukur (at-taqdîr). Dalam terminologi ushul fikih, Qiyas adalah menyesuaikan (ilhâq) masalah cabang dengan masalah pokok dari segi hukum syariat karena adanya kesamaan ‘illat (motif diberlakukan hukum syariat) pada masalah cabang dan masalah pokok.[v] Definisi Qiyas ini juga sekaligus menunjukkan adanya 4 (empat) rukun Qiyas, yaitu: (1) masalah pokok (al-ashl); (2) masalah cabang (al-far‘u); (3) hukum masalah pokok (hukm al-ashl); (4) ‘illat.[vi]

Dari keempat rukun Qiyas tersebut, ‘illat menduduki posisi strategis, karena ‘illat itulah yang menjadikan Qiyas dapat berfungsi. Qiyas hanya dapat terlaksana manakala masalah pokok (al-maqîs) dan masalah cabang (al-maqîs ‘alayh) mempunyai titik temu, yaitu kesamaan latar belakang penetapan hukum atau ‘illat.[vii]

Lebih dari itu, ‘illat berkaitan dengan keabsahan Qiyas sebagai sumber hukum syariat. Sebab, penetapan (itsbât) keabsahan suatu sumber hukum haruslah didasarkan pada dalil-dalil qath‘î, bukan dalil-dalil zhanni.[viii] Qiyas dapat dianggap absah sebagai sumber hukum karena keberadaannya disandarkan pada sumber-sumber hukum lain, yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat. Keabsahan Qiyas telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath‘î ini. Sebagaimana diketahui, al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat telah terbukti kehujjahannya sebagai sumber hukum berdasarkan dalil-dalil qath‘î. Karena itu, Qiyas yang menggunakan ‘illat dari ketiga sumber hukum ini adalah juga absah sebagai sumber hukum.[ix] Inilah posisi strategis ‘illat dalam Qiyas.

‘Illat-‘illat yang diambil dari al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat inilah yang disebut dengan ‘illat syar‘iyyah. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ‘illat syar‘iyyah akan menjadikan Qiyas sebagai Qiyas syar‘î, yaitu Qiyas yang absah atau diakui (mu‘tabar) menurut syariat. Artinya, Qiyas yang tidak menggunakan ‘illat syar‘iyyah tidak layak untuk digunakan dalam proses istidlâl (penggunaan dalil) dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Qiyas seperti ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu dalil syar‘î.[x]

Definisi ‘Illat
‘Illat, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah suatu perkara yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syai’u alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, ‘illat adalah suatu perkara yang menjadi motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâ‘its ‘alâ al-hukm).[xi] ‘Illat disebut juga ma‘qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama.[xii]

‘Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan. Jawaban inilah yang oleh para ulama ushul disebut dengan istilah washf munâsib, yaitu sifat (makna) yang sesuai yang menjadi latar belakang penetapan hukum; atau washf mufham, yakni suatu sifat (makna) yang dapat dipahami sebagai latar belakang penetapan hukum.[xiii] Sifat (makna) ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh (atsar) pada hukum. Jika tidak memberikan pengaruh hukum, sifat itu bukanlah ‘illat.

Macam-Macam ‘Illat
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III halaman 343, berdasarkan istiqrâ’ (penelaahan induktif) terhadap nash-nash syariat dalam al-Quran dan as-Sunnah, terdapat 4 (empat) macam ‘illat syar‘iyyah, yaitu: (1) ‘illat sharâhah; (2) ‘illat dalâlah; (3) ‘illat istinbâth; (3) ‘illat qiyâs. Pembagian ini didasarkan pada aspek metode perolehan ‘illat dari nash-nash syariat yang ada.

1. ‘Illat Sharâhah.
‘Illat sharâhah adalah ‘illat yang terdapat dalam nash yang secara jelas (sharâhah) menunjukkan adanya ‘illat. Ciri utama ‘illat sharâhah ini adalah digunakannya kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan adanya ‘illat (li at-ta‘lîl). ‘Illat sharâhah ini ada dua macam:

Pertama, yang menggunakan secara jelas kata li ajl atau min ajl (bermakna: karena) dan yang semisalnya. Contohnya adalah sabda Nabi saw.:

»كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ إِدِّخَارِ لُحُمَ اْلأَضَاحِ لأَِجْلِ الدَّافَةِ فَادَّخِرُوْهَا«

Dulu aku melarang kalian menyimpan daging-daging kurban untuk memberi makan orang-orang Baduwi yang datang berombongan lagi membutuhkan. Sekarang, simpanlah daging-daging kurban itu.[xiv]

Hukum dalam hadis ini adalah larangan menyimpan daging kurban karena ‘illat tertentu, yaitu ‘illat sharâhah, yang terdapat pada frasa li ajl ad-dâfah,[xv] yaitu supaya daging kurban itu dapat diberikan kepada rombongan orang Baduwi yang berkeliling dan membutuhkan daging.

Kedua, yang menggunakan secara jelas huruf-huruf ta‘lîl (huruf yang menunjukkan ‘illat), seperti kay, lam, ba, dan inna. Yang menggunakan kay (berarti: agar, supaya), misalnya, pada firman Allah Swt.:

]كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ[
.…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Ayat ini menjelaskan bahwa pemberian harta fai’ Bani Nadhir oleh Rasulullah kepada kaum Muhajirin saja, tidak termasuk kaum Anshar, adalah karena adanya ‘illat tertentu (‘illat sharâhah), yakni agar harta tidak beredar di antara orang kaya saja, tetapi bergulir juga di tengah-tengah selain orang kaya.[xvi]

Yang menggunakan lam (dibaca li yang berarti: karena), misalnya, pada firman Allah Swt.:

]فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ[

Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami lalu menikahkan kamu (Muhammad) dengan dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka. (QS al-Ahzab [33]: 37).

Ayat ini mengandung ‘illat bahwa dikawinkannya Rasulullah saw. dengan Zainab yang telah diceraikan oleh Zaid adalah supaya kaum Mukmin tidak merasa berat hati untuk mengawini bekas istri dari anak-anak angkat mereka.[xvii]

Yang menggunakan ba (dibaca bi, berarti: karena, sebab), misalnya, terdapat pada firman Allah Swt. berikut:

]فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ[

Karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. (QS Ali ‘Imran [3]: 159).

Dalam ayat ini terdapat ‘illat sharâhah dengan huruf ba, yakni pada frasa fabimâ rahmatin min Allâh (Karena rahmat dari Allah). Jadi, ‘illat yang menyebabkan sifat lembut pada Nabi saw. adalah karena adanya rahmat Allah Swt.

Yang menggunakan inna (berarti: karena, sesungguhnya), misalnya, pada sabda Nabi saw.:

»كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِفَزُرُوْهَافَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ«
Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah kalian ke kuburan, karena ziarah kubur itu mengingatkan pada alam akhirat. (HR Malik dari Anas bin Malik).

Hadis tersebut mengandung ‘illat sharâhah dengan huruf inna, yakni pada frasa fainnaha tudzakkiru al-akhirah (karena ziarah kubur itu mengingatkan pada alam akhirat). Jadi, ‘illat disyariatkannya ziarah kubur adalah untuk mengingat alam akhirat.[xviii]

2. ‘Illat Dalâlah.
‘Illat dalâlah adalah ‘illat yang diambil dari adanya tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna kata (madlûl al-lafazh). Disebut ‘illat dalâlah karena ‘illat ini diperoleh dari dalâlah (makna) suatu kata. ‘Illat ini tidak diambil dari kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab secara langsung menunjukkan adanya ‘illat (li at ta‘lîl) seperti min ajl, li ajl, dan sejenisnya; tetapi diambil dari mafhûm (makna tersirat/kontekstual) kata, bukan dari manthûq (makna tersurat/tekstual)-nya. Ciri adanya ‘illat dalâlah ini ada dua:

Pertama, digunakannya kata-kata tertentu yang menurut bahasa Arab, dalam ungkapan tekstualnya tidak menunjukkan ‘illat (li ta‘lîl) tetapi dalam ungkapan kontekstualnya menunjukkan adanya ‘illat. Contohnya adalah fa ta‘qîb (kata fa yang menunjukkan tertib/urutan, bermakna: maka) dan hatta al-ghayah (kata hatta yang menunjukkan tujuan, berarti: hingga). Yang menggunakan fa ta‘qîb, misalnya, terdapat pada sabda Nabi saw. berikut:

»مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ«

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.[xix]

Aktivitas menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât), yang ditunjukkan oleh penggunaan fa ta‘qîb (fa tasbîb), menunjukkan bahwa aktivitas tersebut merupakan ‘illat atas kepemilikan tanah.

Yang menggunakan kata hatta untuk menunjukkan tujuan, misalnya, terdapat pada firman Allah Swt. berikut:

]وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ[

Jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia dapat mendengarkan firman Allah. (QS at-Taubah [9]: 6).

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa ‘illat melindungi orang musyrik adalah memberikan kesempatan kepadanya untuk mendengar firman Allah, yakni agar dakwah sampai kepadanya.

Kedua, bahwa ketika nash tertentu menyebutkan hukum, disebutkan juga adanya washf mufham munâsib, yaitu sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami dan sesuai yang menjadi ‘illat hukum. Contohnya terdapat pada sabda Nabi saw.:

»أَلْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ«
Pembunuh tidak berhak mewarisi.[xx]

Hadis ini mengandung ‘illat keluarnya seseorang dari golongan ahli waris, yakni karena seseorang itu melakukan tindak pembunuhan. Kata al-qâtil (pembunuh) merupakan sifat atau makna yang dapat dipahami sebagai ‘illat hukum.

Contoh lainnya terdapat pada sabda Nabi saw. berikut:

»فِي الْغَنَمِ السَّائِمَةِ زَّكَاةٌ«
Pada domba yang digembalakan ada kewajiban zakat.[xxi]

Kata as-sâ’imah (yang digembalakan) dalam hadis ini merupakan ‘illat atas kewajiban zakat bagi binatang ternak.

3. ‘Illat Istinbâth.
‘Illat istinbâth adalah ‘illat yang di-istinbâth (digali) dari susunan (tarkîb) nash yang tidak disebutkan secara tegas (sebagaimana ‘illat sharâhah) ataupun secara dalâlah (sebagaimana ‘illat dalâlah). ‘Illat ini dapat diambil dari satu nash atau beberapa nash. Ciri utama ‘illat istinbâth adalah adanya keadaan tertentu pada saat syariat memerintahkan atau melarang sesuatu. Lalu syariat melarang apa yang diperintahkan atau memerintahkan apa yang dilarang itu setelah keadaan tertentu itu lenyap. Dari sini dapat dipahami bahwa keadaan tertentu tersebut merupakan ‘illat dari hukum yang ada. Contohnya adalah ‘illat keharaman jual-beli saat azan Jumat dikumandangkan, yaitu dapat melalaikan shalat Jumat, yang digali dari surat al-Jumu’ah ayat 9 dan 10. Dalam ayat 9, Allah swt. berfirman:

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ[

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Hari Jumat, bersegeralah kalian mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual-beli. (QS al-Jumu’ah [62]: 9).

Pada ayat ini, Allah Swt. melarang jual- beli pada kondisi tertentu, yaitu saat azan Jumat. Lalu pada ayat berikutnya, Allah Swt. berfirman:

]فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[

Apabila shalat Jumat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah. (QS al-Jumu’ah [62]: 10).

Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslim bertebaran di muka bumi dan mencari karunia-Nya. Dengan kata lain, Allah membolehkan kembali jual-beli. Kebolehan jual-beli ini terkait dengan lenyapnya kondisi tertentu yang menjadi ‘illat larangan jual-beli, yaitu usainya pelaksanaan shalat Jumat. Dari sini lalu digali ‘illat keharaman jual-beli pada saat azan Jumat, yaitu melalaikan shalat Jumat. ‘Illat ini tidak disebut secara sharâhah ataupun dalâlah.

Contoh lainnya adalah ‘illat atas kepemilikan umum pada suatu benda, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Nabi saw. bersabda:

»الْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ: الْمَاءُ وَ الْكَلاَءُ وَالنَّارُ«

Kaum Muslim berserikat dalam tiga benda: air, padang gembalaan, dan api.[xxii]

Dalam hadis ini Nabi saw. menyatakan bahwa air adalah milik bersama atau, dengan kata lain, Nabi saw. melarang umatnya untuk memiliki air secara individual. Namun demikian, dalam hadis lain Nabi saw. membolehkan orang-orang di Thaif dan Khaybar untuk memiliki air secara individual. Dari sini lalu digali ‘illat yang melatarbelakangi mengapa air menjadi milik bersama, yaitu karena air dibutuhkan oleh orang banyak (wujûd al hâjah li al-jamâ‘ah). Jadi, larangan memiliki air secara individual pada hadis di atas bukan karena zat airnya itu sendiri, tetapi karena kondisi tertentu yang terjadi pada air, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Hal ini dibuktikan pada bolehnya orang-orang Thaif dan Khaybar untuk memiliki air secara individual, karena air di sana jumlahnya mencukupi, sehingga orang banyak tidak mempunyai kebutuhan terhadap air.

4. ‘Illat qiyâs.
‘Illat qiyâs adalah ‘illat baru—yang diperoleh dari ‘illat yang lama—yang dapat diqiyaskan pada ‘illat-‘illat lain. ‘Illat qiyâs ini hanya terwujud pada ‘illât dalâlah yang secara khusus mempunyai washf mufham, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami sebagai ‘illat, yang berpengaruh terhadap hukum. Dari ‘illat lama ini lalu diperoleh ‘illat baru, yang disebut dengan ‘illat qiyâs. Contohnya terdapat pada sabda Nabi saw. berikut:

»لاَ يَقْضِى الْقَاضِى وَهُوَ غَضْبَانٌ«
Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan hukum sedangkan dia sedang marah.

Dalam hadis ini terdapat ‘illat (yaitu ‘illat dalâlah) mengenai haramnya hakim mengadili dalam keadaan sedang marah. Keadaan marah (al-ghadhab) ini merupakan washf mufham, yaitu sifat/keadaan tertentu yang dapat dimengerti sebagai ‘illat, yang mempunyai pengaruh pada aktivitas mengadili perkara. Sebab, dalam kondisi marah, seorang hakim akan mengalami kekacauan pikiran dan kelabilan emosi. “Kekacauan pikiran dan kelabilan emosi” ini merupakan ‘illat baru yang dihasilkan dari ‘illat lama, yaitu “keadaan marah”. ‘Illat baru tersebut disebut ‘illat qiyâs, karena diqiyaskan pada ‘illat lain—keadaan lapar atau sedih—yang bertitik temu pada sifat tertentu yang sama, dalam hal ini adalah “kekacauan pikiran dan kelabilan emosi”. Dengan ‘illat qiyâs tersebut dihasilkan hukum-hukum baru, misalnya, haramnya mengadili perkara bagi hakim yang sedang kelaparan atau sedang mengalami kesedihan.

Penutup

Pembahasan tentang ‘illat hukum ini sesungguhnya pembahasan yang sangat mendalam dan canggih, yang tidak cukup diuraikan dalam tulisan yang singkat dan terbatas ini. Karena itu, kendatipun Qiyas sangat urgen untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak disinggung dalam nash al-Quran ataupun as-Sunnah, Qiyas tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan sembrono. Karena itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, bahwa Qiyas tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid.[xxiii] Sebagian ulama menyatakan, “Jika Anda ingin mengetahui kedalaman ilmu seseorang, perhatikanlah bagaimana dia melakukan Qiyas.” Wallâhu a‘lam. []

M. Shiddiq al-Jawi, staf pengajar STAIN Surakarta.

Catatan kaki:

[i] ‘Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 54; Muhammad Husayn ‘Abdillah, Al Wâdhih fî Ushîl al-Fiqh, hlm. 103 dan 108. Sebagian ulama dari mazhab Nizhamiyah, Zhahiriyah, dan sebagian firqah Syi’ah menolak Qiyas sebagai dalil syariat.

[ii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/343; Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm. 41. Kitab beliau yang lain yang juga menyinggung Qiyas adalah Muqaddimah ad-Dustûr hlm. 50-54.

[iii] Muhammad Husayn ‘Abdillah, op.cit., hlm. 108.

[iv] Muhammad al-Khidhir Husayn, Rasâ’il al-Ishlâh, II/128.

[v] Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl, hlm. 198; al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/126-127; Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/313; Muhammad Husayn ‘Abdillah, op. cit., hlm. 110.

[vi] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/337.

[vii] Atha’ bin Khalil, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 85.

[viii] Imam asy-Syathibi mengatakan bahwa sumber-sumber hukum (mashdar al-ahkâm) itu “kembali pada prinsip-prinsip menyeluruh syariah (kulliyat asy-syari’ah). Apa saja yang seperti itu harus bersifat tegas (qath‘î). Seandainya dibolehkan menjadikan dalil zhannî sebagai dasar-dasar fikih (ushûl al-fiqh), tentu dibolehkan menjadikan dalil zhannî sebagai dasar dari dasar-dasar agama (ushuluddin). Padahal, kenyataannya hal itu tidak dibolehkan menurut kesepakatan ulama.” (Lihat: Imam asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, I/29-31.)

[ix] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/314; Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 53.

[x] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/318. Penegasan an-Nabhani bahwa ‘illat qiyâs wajib bersifat syar‘iyyah ini berarti menafikan Qiyas dengan ‘illat ‘aqliyyah (‘illat berdasarkan akal) dan juga menafikan anggapan keliru bahwa ‘illat itu terwujud pada realitas empirik.

[xi] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/331.

[xii] Muhammad Husayn ‘Abdillah, op. cit.,113. Istilah ma‘qûl an-nash digunakan sebagai pelengkap dari istilah manthûq (pengertian eksplisit/tersurat/literal) dan mafhûm (pengertian implisit/tersirat) dari suatu nash. Jika sebuah nash tidak mengandung ‘illat, maka nash itu hanya mempunyai manthûq dan mafhûm, tetapi tidak mempunyai ma‘qûl. Karenanya, nash ini tidak dapat diqiyaskan pada masalah lain. (Lihat: Atha’ bin Khalil, op. cit., hlm. 90).

[xiii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/331.

[xiv] Shahîh Muslim, hadis no. 1971 dan 3643, Sunan Abû Dâwud, hadis no. 2429.

[xv] Ad-Dafah menurut Taqiyuddin an-Nabhani diambil dari kata ad-dafîf, yang berarti ad-dabîb, yaitu yang melata atau yang berkeliling. Dalam hadis ini, yang dimaksud dengan dâfah adalah rombongan yang berkeliling (al-qafilah as-sayyarah) atau yang semisalnya. (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/344).

[xvi] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/345.

[xvii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/347.

[xviii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/322.

[xix] Sunan ad-Daruquthni, IV/217.

[xx] Musnad Imam Ahmad, I/49.

[xxi] Sunan Abû Dâwud, II/96; Sunan al-Bayhaqi, IV/99.

[xxii] Sunan Abû Dâwud, III/278; Sunan Ibn Mâjah, II/862; Musnad Imam Ahmad, V/364.

[xxiii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/326.

Rabu, 07 Maret 2018

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Sejarah hukum islam  dibagi menjadi beberapa priode. Pembagian  priode hukum islam ini yaitu :

1.      Pada masa nabi Muhammad saw (610 M – 632 M )

2.      Pada masa khulafaur rasidin ( 632 M – 662 M )

3.      Pada masa pembinaan & pembukuan ( abad VII  M-X  M )

4.      Masa kelesuan pemikiran ( abad X M-XIX M )

5.      Masa kebangkitan ( XIX M sampai sekarang )

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.

Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada :

    Masa Prapenjajahan Belanda

    Masa Penjajahan Belanda

    Masa Pendudukan Jepang

    Masa Kemerdekaan (1945)

    Era Orde Lama dan Orde Baru

    Era Reformasi

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A.    Masa Nabi Muhammad (610 M – 632 M).

Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul semenanjung Arab. Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang begitu keras memberntuk manusia-manusia yang individualistis serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan berdasarkan garis Patrilineal, yang saling bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian adat. Susunan klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.

Oleh karena itu Nabi Muhammad setelah pindah atau hijrah dari Mekah ke Madinah,dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu pula diperangi oleh anggota klen asalnya. Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi Muhammad.[1]

Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyuNya Allah menegaskan posisi Muhammad dalam rangka agama islam, yaitu :

1. Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Q.s.21:107).

2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah RasulNya (Q.s.4:59).

3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.s.4:80).

4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).

Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan, perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al Qur’an sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.

B.     Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M ).

Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi ututsan Tuhan tidak mungkin tegantikan, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang khalifah dari kalangan sahabat Nabi.

Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menajaga keamanan dan batas Negara, menegakkan keadilan dan kebenaran,berusaha agar semua lembaga Negara memisahakan antara yang

baik dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al Qur’an, mengawaasi jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.

 Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh digenerasi-generasi berikutnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang unta dan menghimpunnya daam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah

Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh ijthad Umar adalah menurut (Q.s.5:38) orang yang mencuri, diancam dengan hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan kemaslahatan jiwa masyarakat. Selanjutnya pada pemilihan khalifah,[2]

Usman menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi nepotisme karena kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan keutara bergerak keraha konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al Qur’an standar yang disebut modifikasi al Qur’an. Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan adalah Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad.

Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.

C.    Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)

Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :

a. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal usul, adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.

b. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.

c. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.[3]

D.    Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M).

Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Qur’an dan sunah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.

Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam dimasa itu adalah ;

1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru.

2. Ketidakstabilan politik.

3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.

4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu.[4]

E.     Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang ).

Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah bangkit kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut yang telah membawa kemunduran hukum islam. Pada abad ke XIV telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam perkembangan hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang terkenal dengan gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam bukunya. Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.

Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara segar dan baru dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).

Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.

Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan politik. Jamaluddin Al-Afgani inilah yang memasyhurkan ayat Al-Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu pada dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.

Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat terhadap dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam dapat maju kembali, maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini adalah penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini, yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.

Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan Islamisme ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia Islam yang nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat dan mengental ditambah tidak seluruhnya negara-negara muslim negaranya berdasarkan Islam. Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani ini adalah relevan pada masanya, namun demikian masih perlu diterjemahkan ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini. Sebab menurut penulis persatuan dunia Islam sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak memungkinkan untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu untuk memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan bersama untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia Islam saat ini.

Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912. Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yanag diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan pada pendirian negara islam internasionalnya.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya

kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

 B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

    Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

    Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

    Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :

    Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

    Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

    Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat

    Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

 C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

    Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

    Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

    Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

    Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

    Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

    Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

 D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,

Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956.

Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.

Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.

E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.

Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

 F. Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era

ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

--> 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1971.

[2] Farrukh. Al-Arab Wa Al-Islam Fi Al-Haudl Alsyarqiy Al- Bahr Al-Abyad Al-Mutawassith, (Beirut: Dar al kutub), 1966.

[3] Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.

[4] Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42.

[5] http://kopikejuenak.blogspot.com/2008/07/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-hukum isla

Sumber: