Selasa, 30 Mei 2017

URGENSI DHARB AL-'ALAQAT DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT

Oleh: Dr. Ir. Muhammad Rahmat Kurnia, M.Si (Pakar Politik Islam)

Pendahuluan

Masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki perasaan dan pemikiran yang sama serta diatur oleh aturan yang sama. Aturan yang diterapkan dalam suatu masyarakat muncul dari adanya perasaan dan pemikiran yang sama. Perasaan dan pemikiran ini lahir dari pemahaman (mafâhîm), tolok ukur yang digunakan (maqâyîs), dan sikap menerima terhadap aturan (qanâ‘ât). Dalam implementasinya, dari perasaan dan pemikiran yang sama itulah mewujud sistem kehidupan yang mengatur interaksi antar anggota masyarakat; baik menyangkut ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, maupun budaya masyarakat tersebut. Dari sini terbentuklah suatu masyarakat yang di dalamnya meliputi anggota masyarakat (rakyat), sistem aturan yang diterapkan, dan penguasa yang menerapkan aturan tersebut.  Dengan kata lain, keberadaan sistem aturan tersebut menghadirkan hubungan ('alâqah) rakyat dengan penguasanya.

Selama kebanyakan masyarakat memiliki kepercayaan (tsiqah) terhadap sistem kehidupan tersebut maka 'alâqah akan tetap ada. Selama itu pula tidak akan terjadi perubahan masyarakat.  Demikian juga, perubahan masyarakat tidak akan terjadi selama rakyat memiliki ke-tsiqah-an kepada penguasa yang menerapkan sistem itu. Jadi, kelanggengan suatu masyarakat bergantung pada ada-tidaknya 'alâqah antara rakyat dan penguasa yang ditentukan oleh ke-tsiqah-an masyarakat terhadap sistem kehidupan dan penguasa yang menerapkannya.

Untuk mengubah masyarakat yang menerapkan ideologi Kapitalisme menjadi masyarakat Islam, misalnya, mutlak ada ’pemutusan hubungan tersebut’.  Konsekuensinya, 'alâqah seperti ini harus diputus, lalu diganti dengan alâqah atas dasar Islam. Itulah yang dimaksud dengan dharb al-alâqah (memutus hubungan). 

Urgensi Dharb al-‘Alâqah

Inti dari dakwah Islam adalah perubahan. Allah Swt., sejak Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam di Makkah, menyatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua jalan, yaitu jalan Allah dan jalan lainnya; manusia disuruh mengikuti jalan-Nya yang lurus itu (QS al-An‘am [6]: 153). Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam dan pengikutnya diperintahkan untuk menyeru manusia ke jalan Allah Pencipta alam (QS an-Nahl [16]: 125). Al-Qur'an pun diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam (QS al-Hadiid [57]: 9).

Realitas menunjukkan bahwa dakwah merupakan upaya mengubah ke-tsiqah-an. Masyarakat Arab dulunya percaya pada banyak tuhan, lalu dengan dakwah, kepercayaan ini diubah menjadi keyakinan kepada satu Tuhan; beralih dari politeisme ke tauhid. Ke-tsiqah-an pada aturan manusia berubah menjadi ke-tsiqah-an pada hukum Allah semata.  Ketika mereka ditanya secara retoris oleh Allah Swt. dalam salah satu surat Makkiyyah, “Bukankah Allah Hakim Yang seadil-adilnya?” (QS at-Tin [95]: 8), mereka menjawab “Balâ, syahidnâ. Ya, kami bersaksi."

Sejak hijrah ke Madinah, kehidupan jahiliyyah pun diganti menjadi kehidupan Islam yang menerapkan hukum Allah Swt. Setelah ke-tsiqah-an pada sistem kehidupan Jahiliyyah pudar, ke-tsiqah-an pun beralih pada sistem kehidupan Islam. Begitu juga, para pemimpin mereka sebelumnya tidak lagi mereka percayai. Kepercayaan mereka diberikan kepada ’pemimpin baru’ mereka, yakni Muhammad shallallaahu 'alayhi wa sallam beserta para shahabat pengikutnya.

Secara praktis, Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam sering merobohkan keyakinan masyarakat terhadap mafâhim, maqâyîs, dan qanâ‘ât jahiliyyah seraya menggantinya dengan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam. Beliau menyerang kepercayaan paganisme/keberhalaan, kehidupan yang dipandang manusia hanya di dunia, mengurangi timbangan, perasaan aib jika tidak membunuh bayi perempuan, dan sebagainya. Bukan hanya secara sistem, beliau pun merontokkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpin mereka yang menerapkan dan menjaga sistem kehidupan tersebut. Sebagai contoh, Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam menyampaikan ayat:

]وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُّقْتَدُونَ ²قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ءَابَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ ²فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ[

Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata, "Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapati bapak-bapak kalian menganutnya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kalian diutus untuk menyampaikannya."  Karena itu, Kami membinasakan mereka. Kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. (QS az-Zukhruuf [43]: 23-25).

Suatu waktu, salah seorang pemimpin Quraisy, Walid bin Mughirah berkata, “Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy; juga tidak kepada Abu Mas‘ud Amr bin Umair ats-Tsaqafi sebagai pemimpin Tha'if.  Padahal kami adalah para pembesar dua kota."
Berkaitan dengan masalah ini, Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia telah meninggikan Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam beberapa derajat. Beliau pun, kepada para sahabat dan masyarakat umum, menyampaikan wahyu Allah Rabb al-Âlamîn:

]وَقَالُوا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءَانُ عَلَى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ ²أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ[

Mereka berkata, "Mengapa al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?" Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia; Kami pun telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mengambil manfa'at atas sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS az-Zukhruuf [43]: 31-32).

Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam juga menyampaikan bahwa pemimpin yang tidak benar kelak akan didakwa oleh pengikutnya. Beliau menyampaikan salah satu ayat Makkiyyah:

]قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِّنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ فِي النَّارِ كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ ِلأُوْلاَهُمْ رَبَّنَا هَؤُلاَءِ أَضَلُّونَا فَئَاتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لاَ تَعْلَمُونَ ²وَقَالَتْ أُولاَهُمْ ِلأُخْرَاهُمْ فَمَا كَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ[

"Masuklah kalian ke dalam neraka bersama umat-umat dari golongan jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kalian. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu, "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Karena itu, datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka." Allah berfirman, "Masing-masing mendapat (siksaan), yang berlipat ganda, tetapi kalian tidak mengetahui". Berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian, "Kalian tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami. Karena itu, rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kalian lakukan." (QS al-A‘raf [7]: 38-39).

Berdasarkan hal itu, terlihat bahwa Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wa sallam dalam menjalankan dakwahnya untuk perubahan sosial, melakukan dharb al-‘alâqah. Caranya: (1) menyerang sistem bathil yang berjalan sehingga masyarakat meninggalkannya seraya berpegang pada sistem Islam; (2) menunjukkan kezhaliman dan ketidaklayakan penguasa yang tetap menjalankan sistem bathil tersebut. Hasilnya, masyarakat Arab meninggalkan sistem Jahiliyyah​, lalu beralih menerapkan sistem Islam.

Di samping berdasarkan contoh Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam, realitas pun meniscayakan adanya dharb al-'alâqah. Saat ini mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât yang diterapkan di masyarakat Islam berasal dari akidah sekularisme yang menjelma dalam ideologi Kapitalisme.  Kepercayaan bahwa kehidupan dunia tidak boleh diatur oleh Islam, negara diurus negarawan sedangkan agama diurus oleh rohaniwan, serta masalah jasmani diatur sains dan teknologi sementara ruhani urusannya para ustadz merupakan sebagian mafâhîm yang lahir dari sekularisme.  Maqâyîs/tolok ukurnya pun berupa kemaslahatan yang ditetapkan oleh logika manusia. Sementara itu, masih dipercaya bahwa ukuran benar-salah pun relatif, bergantung waktu dan tempat. Selama mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât sekular ini dijadikan pegangan oleh masyarakat, selama itu pula kehidupan Islam tidak akan terwujud. Demikian pula, selama kepercayaan masyarakat masih diberikan kepada para penguasa yang menerapkan aturan kehidupan sekular tersebut, perubahan masyarakat menjadi masyarakat islami tidak akan terjadi.  Karenanya, salah satu aktivitas dakwah untuk mengubah masyarakat menuju penerapan syariat Islam adalah dharb al-‘alâqah. Tanpa dharb al-‘alâqah tidak akan terjadi perubahan secara mendasar; kalau toh terjadi perubahan, itu hanyalah pergantian orang, bukan pergantian sistem kehidupan. Padahal, problem kehidupan sekarang justru terletak pada sistem sekularisme-kapitalisme yang memang bathil, selain problem orang yang menerapkannya.   

Bentuk Dharb al-'Alâqah

Dharb al-'alâqah dilakukan baik terhadap sistem sekular yang diterapkan maupun terhadap penguasa yang menerapkan sistem tersebut. Ketika masyarakat sudah tidak menaruh kepercayaan (tsiqah) pada sistem sekular karena pertentangannya dengan Islam, niscaya loyalitasnya tidak akan diberikan kepada siapapun yang berupaya menjaga dan menerapkan sekularisme. Berbeda dengan itu, jika masyarakat tidak tsiqah pada penguasanya, tetapi tetap tsiqah pada sekularisme, maka yang akan terjadi hanyalah pergantian orang saja; sementara sistem kehidupan yang diterapkan sama saja, sama-sama Kapitalisme atas dasar sekularisme.  Berdasarkan hal ini, dharb al-'alâqah sejatinya dilakukan baik terhadap sistem maupun terhadap orang yang menerapkannya.

Bentuk dharb al-'alâqah adalah:

1. Menanamkan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam.  Di sini, penting untuk terus-menerus dilakukan upaya pembinaan masyarakat dengan akidah maupun syari'ah (ibadah, makanan, minuman, akhlak, sosial, politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan lain-lain).  Lebih dari itu, penanaman mafâhîm dan maqâyîs perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga membentuk dan mengokohkan cara berpikir Islam (’aqliyyah islâmiyyah). Qanâ‘ât Islam terus ditanamkan sehingga terwujud sikap jiwa Islam (nafsiyah islâmiyyah).  Keduanya akan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah islâmiyyah).  Penanaman  mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam dilakukan baik pada pembinaan kader/intensif (tatsqîf murakkaz) maupun dalam pembinaan umum (tatsqîf jamâ‘i) lewat seminar, kajian tematik, pengajian masjid, tabligh akbar, talk show, buletin, majalah, atau surat kabar.

2. Mengungkap keburukan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât sekularisme. Hal-hal mendasar seperti pemisahan agama dengan kehidupan, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), pluralisme, emansipasi wanita, jender, relativitas kebenaran, sikap moderat, dan lainnya terus ditunjukkan hakikat dan kebatilannya serta pertentangannya dengan Islam. Upaya mengungkap keburukan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât sekularisme ini dilakukan dengan pergolakan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî).

3. Mengungkap keburukan penguasa seperti berbagai kejahatan yang dilakukannya, keberpihakan pada konglomerat dan asing yang dijalankannya, sikap abainya terhadap masyarakat, bahaya tindakan politik yang diambilnya baik terhadap Islam, umat, maupun kesatuan negeri Muslim, dan sebagainya. Setiap gerak-gerik penguasa, baik menyangkut kebijakan politik maupun kebijakan yang berkaitan dengan kemaslahatan publik, perlu ditelaah. Dengan penelaahan secara jeli, hakikat tindakan politik maupun kebijakannya akan diketahui.  Lalu, tinjau hal tersebut melalui kacamata mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam. Jika terdapat pertentangan dengan Islam maka hal tersebut disampaikan kepada masyarakat maupun penguasa.  Caranya dengan melakukan perjuangan politik (kifâh siyâsi), baik membongkar hakikat rencana kebijakan dan strateginya (kasyf al-khuththath) maupun menunjukkan mana yang semestinya dilakukan demi kemashlahatan umat (tabanni mashâlih al-ummah). 

Itulah urgensi dharb al-'alâqah.  Jadi, gerakan dakwah urgen melakukan upaya dharb al-'alâqah demi terciptanya perubahan masyarakat.  Dengan dharb al-'alâqah masyarakat akan tahu hakikat kebobrokan sistem sekularisme, siapapun penguasanya, dan menyadari hakikat kebaikan Islam. Konsekuensinya, masyarakat yang tercerahkan akan melepaskan sekularisme tersebut, seraya mengalihkan loyalitasnya pada Islam dan orang-orang yang benar-benar ikhlas menegakkannya.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Copas

Kamis, 25 Mei 2017

Radikalisme atau Ekstrimisme?

Menyusul terjadinya kasus pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, akhir-akhir ini banyak digelar diskusi dan seminar tentang terorisme  dan radikalisme. Opini yang ingin dibentuk : aksi-aksi terorisme bersumber dari pemahaman agama yang radikal. Padahal, banyak yang berkata, terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu. Tapi, ada yang berkesimpulan, untuk membendung terorisme, maka pemahaman agama yang radikal harus dicegah atau diberantas.

Sedikit banyak muncul suasana antagonis antara pemerintah dengan sebagian umat Islam. Setidaknya, muncul situasi saling curiga antar komunitas bangsa, bahkan sesama umat Islam pun tercipta kondisi semacam itu.Mungkin tanpa sadar, ada yang  terseret pada situasi adu-domba satu sama lain. Saling tuding, saling cerca, dan saling benci, terjadi hanya karena perbedaan pandangan tentang Islam, terorisme, demokrasi, dan sebagainya. Yang satu dituduh radikal, yang lain dituduh antek Barat. Yang satu pro-thaghut, yang lain dicap antek-teroris.

Situasi seperti inikah yang dikehendaki oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia? Tentu tidak! Kita mendambakan negeri ini sebagai negeri yang aman, adil dan makmur; negeri yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain, sehingga tidak mudah harta kekayaan alam kita dicuri oleh bangsa lain; tidak mudah didekte oleh bangsa lain, sehingga hakekat kemerdekaan yang dicita-citakan pendiri bangsa bisa diwujudkan.

Di tengah situasi seperti ini, muncul pemikiran bahwa radikalisme keagamaan harus diberantas?  Pertanyaannya, secara akademis, perlu dirumuskan, apa definisi radikalisme dan siapa saja yang disebut kaum radikal tersebut? Kita perlu berfikir jernih tentang masalah ini, lepas dari tekanan politik atau gelombang besar opini global yang menempatkan kaum radikal atau militan sebagai pihak yang jahat dan bertanggungjawab atas segala kekacauan di muka bumi. Menyusul berakhirnya Perang Dingin, 1990, dimunculkan wacana bahwa musuh dunia yang utama adalah kaum fundamentalis Islam. Keluarlah buku-buku yang mendefinisikan apa itu fundamentalis Islam dan siapa saja mereka.

Apa yang terjadi?  Perang melawan fundamentalis akhirnya tidak banyak membawa hasil. Definisi fundamentalis seringkali kabur dan dilebarkan kemana-mana. Dunia tidak semakin damai. Harapan dunia yang aman setelah komunis runtuh, tidak terwujud. Upaya menemukan musuh baru bagi dunia Barat setelah komunis runtuh terus dilakukan oleh kalangan tertentu di Barat. Samuel P. Huntington, dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, secara terang-terangan menulis: “It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.” Jadi, kata Huntington, adalah manusiawi untuk membenci. Demi tujuan menentukan jati diri dan membangkitkan motivasi, masyarakat memang perlu adanya musuh.

Tiga tahun setelah peristiwa 11 September 2001, Huntington kembali menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan Barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, Who Are We? (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.” 

Setelah itu, entah ada hubungan dengan pemikiran Huntington atau tidak,  terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Tetapi, lagi-lagi, sebagaimana dalam kebijakan perang melawan fundamentalisme, definisi ”radikalisme” itu sendiri tidak diselesaikan secara akademis. Siapakah kaum radikal yang harus diperangi? Mengapa mereka disebut radikal? Sejumlah kajian di Indonesia sudah secara terbuka menyebut beberapa kelompok Islam berpaham radikal. Pemetaan-pemetaan telah banyak dilakukan, sebagian umat Islam dicap radikal, sebagian lain dicap moderat, dan sebagainya. Mirip dengan situasi di zaman penjajahan.

Tapi, di masa penjajahan Belanda, kata ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI.  Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat.       ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.

Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta  menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir.

Menurut buku ini, kriteria ‘Islam radikal’ adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak  secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.

Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ‘Islam revivalis’.Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi  masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil  tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.

Kita bertanya, apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna?  Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pada agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional.

Karena itu, sebenarnya, penggunaan istilah “radikalisme” dan “Islam radikal”  untuk menunjuk kepada jenis pemahaman Islam tertentu, akan sangat problematis. Istilah ini lebih banyak bernuansa politis, ketimbang akademis. Apalagi, jika istilah ini digunakan hanya untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam tertentu.  Sebab, istilah ”radikalisme” tidak memiliki padanan dalam konsep pemikiran Islam. Lebih tepat sebenarnya digunakan istilah ”ekstrimisme” dalam Islam. Istilah ini ada padanan katanya dalam kosa kata pemikiran Islam, yaitu ”tatharruf” atau ”ghuluw.”  Yakni, sikap  berlebih-lebihan dalam agama, yang memang dilarang oleh Nabi Muhammad saw.

Penggunaan istilah yang tepat diperlukan untuk menghindarkan pandangan kaum Muslim bahwa upaya untuk memerangi kaum ”Islam radikal” adalah pesanan AS dan sekutu-sekutunya.  Dalam rangka perang melawan Islam militan atau Islam radikal, mantan Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008).

Pada akhirnya, kita percaya, umat Islam Indonesia dan Presiden Haji Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mau diadu domba. Sebab, kita bersaudara! (***)  (Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di Harian Republika, Selasa 8/9/2009).

Sumber: https://insists.id/radikalisme-atau-ekstrimisme/

Selasa, 23 Mei 2017

YANG PINTER TETAP AJA AMERIKA! TAKTIK MENIMBUN PENGGALI HARTA KARUN

Syamsuddin Ramadhan

(1) Cina dijerumuskan ke dalam investasi besar-besaran di Indonesia.  Tujuannya untuk menguras habis kekayaan Cina.  Sama seperti ketika Amerika menenggelamkan Uni Sovyet dalam Perang Bintang, hingga akhirnya keuangan Uni Sovyet kolaps.  Taktik yang sama juga dilakukan Inggris dengan mengadu domba Amerika dan Uni Sovyet dalam Perang Bintang, agar Inggris mampu menyaingi AS dan USSR.  Selain tujuan di atas, “taktik penjerumusan ini” di kemudian hari ditujukan untuk “mendapatkan kekayaan orang lain tanpa bekerja sedikitpun”.  Sebab, Paman Sam tengah merencanakan untuk menerapkan taktik “menimbun penggali harta karun” di Indonesia.

(2) Politik “menimbun penggali harta karun” dapat dijelaskan kira-kira seperti ini:, Cina dipancing untuk membangun infrastruktur di Indonesia, investasi, dan ini itu, melalui pemerintahan pro komunis-liberalis.  Jika semua pembangunan sudah rampung (selesai), Amerika merebut hasil-hasil investasi dan pembangunan Cina dengan cara mengusir Cina dan antek-anteknya, bahkan begundal-begundal dan kacung-kacung Cina itu akan dikorbankan dalam sebuah scenario chaos besar “ganyang komunis dan antek-anteknya”.  Ibarat mencari harta karun, Amerika menyewa buruh yang disuruh menggali harta karun, ketika harta karun telah sempurna ditemukan, para buruh itu dikubur hidup-hidup dengan tanah yang mereka gali sendiri agar Amerika semata yang menguasai harta karun itu, dan agar yang lain tidak mendapatkan bagian.

(3) Propaganda dan massifikasi anti rejim pro komunis dan Cina sudah digaungkan.  Kebencian demi kebencian, hujat menghujat telah diperbesar, hingga taraf tinggal memantik “pemicu” yang akan meledakkan chaos raksasa “ganyang kelompok komunis dan antek-anteknya”.  Kriminalisasi ulama, ormas, pembelaan terhadap penghina Quran, dan tindakan sewenang-wenang penguasa pro Cina (mungkin malah anteknya Amerika).

(4) Penguasa sekarang memang diskenario dan diperalat oleh Amerika untuk memassifkan kemarahan umat Islam, hingga suatu saat kemarahan rakyat membuncah, memuncak, dan mencapai limitasi kesabaran, hingga Amerika dan antek-anteknya mampu menjalankan misi dan skenarionya.

(5) Garis kebijakan ini telah membuahkan hasil pada saat Amerika mengusir dan mendepak penguasa-penguasa Timur Tengah yang pro Inggris.

(6) Penguasa di negeri-negeri Islam adalah antek negara imperialis, baik sadar maupun tidak.  Ukurannya apa?  Sederhana saja, mereka menjalankan, mempertahankan, dan menjaga sistem demokrasi-sekuler-liberal.  Tidak ada bukti yang lebih terang selain bukti ini, meskipun masih banyak sederet bukti yang bisa diajukan.

(7) Lalu, apa yang dilakukan umat Islam.  Umat Islam harus bersatu memiliki agenda sendiri, berjuang dengan sepenuh tenaga bersama rakyat untuk membangun negara sendiri, kekuasaan sendiri, di atas kaki dan tangan sendiri, tanpa sedikitpun meminta bantuan asing, khususnya Amerika.  Umat harus focus dan selalu difokuskan pada perjuangan menerapkan syariat dan menegakkan Khilafah Islamiyyah.  Usir dan depak Cina dan Amerika, komunisme, sekulerisme-liberalisme dan demokrasi, ganti dengan hukum Allah dan RasulNya!!!!

(8) Wahai penguasa-penguasa Muslim, para jenderal Muslim, sungguh saat ini Panjenengan tengah dimasukkan dalam jebakan dan perangkap mematikan.  Ingatlah, Amerika tidak akan segan-segan membunuh anjing-anjing penjilatnya, begitu sang anjing sudah tidak berguna lagi, atau untuk dikorbankan demi kepentingan mereka yang lebih besar.  Berhati-hatilah Anda mulai sekarang .  Mestinya Anda bersama umat Islam, bersama Allah dan RasulNya untuk menegakkan syariat dan Khilafah, bukan malah bersama negara imperialis yang sewaktu-waktu akan “mendepak bahkan membinasakan kalian dengan penuh kehinaan”. [Gus Syams]

===================================================

Kamis, 11 Mei 2017

Dokumen RAND Corporation: Niat AS Hancurkan Islam

Pasca keruntuhan Uni Sovyet, Amerika mengarahkan bidikannya ke dunia Islam. Salah satu rencana AS mengobrak-abrik dunia Islam ini tertuang dalam dokumen Rand Corporation, sebuah lembaga yang dibiayai oleh Gedung Putih. Paling tidak ada tiga hal yang disorot yakni penanganan konflik Timur Tengah, terorisme dan radikalisme Islam, serta penanganan fundamentalisme Islam. Intinya Amerika tidak ingin Islam tampil sebuah kekuatan riil dalam sebuah negara.

Khusus untuk menangani fundamentalisme Islam, Rand Corp. pada tahun 2007 juga mengeluarkan sebuah laporan setebal 217 halaman yang berjudul: Building Moderate Muslim Network. Dalam laporan yang terdiri atas sepuluh bab tersebut, Rand Corp. mengungkapkan latar belakang dilakukannya kajian ini, di mana ada ketidakseimbangan kekuatan antara kalangan radikal-fundamentalis dengan kalangan moderat-liberal.

Ketidakseimbangan sarana yang dimiliki antara kalangan radikal dan moderat ini menurut Rand Corp. memiliki konsekuensi bagi ‘perang pemikiran’ di dunia Islam. Sehingga AS dan negara-negara Barat diharapkan dapat sedikit mempengaruhi hasil dari ‘perang pemikiran’ ini secara langsung dengan memanfaatkan kalangan Muslim sendiri – untuk mengecam kesalahan persepsi Islam yang dikembangkan kaum yang mereka sebut ekstrimis karena ingin menegakkan Islam kaffah.

Secara gamblang Rand Corp mengungkapkan peta jalan (road map) bagaimana membangun jaringan Muslim moderat ini dengan mulai memberikan prioritas bantuannya pada pihak-pihak yang dinilai paling cepat memberikan dampak dalam perang pemikiran, yakni : 1) Akademisi dan intelektual Muslim yang liberal dan sekuler, 2) Mahasiswa muda religius yang moderat, 3) Komunitas aktivis, 4) Organisasi-organisasi yang mengkampanyekan persamaan gender, dan 5) Wartawan dan penulis moderat. Pemerintah AS harus memastikan bahwa kalangan-kalangan tersebut diikutsertakan dalam kunjungan kongresional (dialog), dan membuat mereka dikenal oleh pembuat kebijakan.

Rand Corp. juga merinci kriteria kalangan moderat-liberal yang akan dijadikan mitra AS, yakni : 1) Mendukung demokrasi, 2) Mengenal hak-hak manusia, termasuk di dalamnya kesetaraan gender dan kebebasan berkeyakinan, 3) Menghargai keberagaman, 4) Menerima sumber hukum yang non sektarian, 5) Menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan ilegal lainnya.

Pembinaan-pembinaan yang dilakukan atas mereka selanjutnya diarahkan ke dalam sektor-sektor yang meliputi :

a.Democratic education (pendidikan demokratis), khususnya pada program-program yang menggunakan teks-teks Islam dan model pengajaran tradisional yang mendukung nilai-nilai demokratis dan pluralistik.

b.Media. Dukungan bagi media yang moderat sangat penting untuk menyerang dominasi media yang anti demokratis dan elemen-elemen Muslim konservatif.

c.Gender equality (kesetaraan gender). Isu hak-hak perempuan merupakan hal mendasar pada perang pemikiran dalam Islam. Promosi kesetaraan gender merupakan komponen kritis untuk memperkuat Muslim moderat.

d.Policy Advocacy (Advokasi/dukungan kebijakan). Kalangan Islamis memiliki sejumlah agenda, dan kalangan moderat memerlukan advokasi kebijakan untuk membentuk lingkungan yang legal dan politis di dunia Islam.

Kajian teknis yang dikeluarkan Rand Corp. sebelumnya pada tahun 2003 yang berjudul Civil Democratic Islam bahkan secara terbuka membagi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok: Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis, dan Sekuleris.

Kelompok Fundamentalis diidentifikasi sebagai kalangan yang menolak demokrasi dan budaya Barat, menginginkan sebuah negara otoriter yang menerapkan hukum Islam, serta memakai penemuan dan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok Tradisionalis dicirikan sebagai suatu masyarakat yang konservatif, mencurigai modernitas, inovasi, dan perubahan. Adapun kelompok Modernis menginginkan dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikannya dengan zaman. Sedangkan kelompok Sekularis diidentifikasi sebagai kalangan yang menginginkan dunia Islam dapat menerima pemisahan antara agama dan negara seperti yang dilakukan negara-negara demokrasi industri Barat, dengan membatasi agama hanya pada lingkup pribadi.

Rand Corp. selanjutnya merinci langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menggempur kalangan yang mereka kelompokkan sebagai fundamentalis yakni mendukung kelompok modernis, mendukung kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis, mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis, dan mendukung kaum sekuler secara selektif.

Dokumen itu menunjukkan, politik adu domba sebagai jalan untuk melemahkan Islam. Politik pecah belah dilaksanakan oleh media massa yang punya link dengan Amerika baik secara langsung maupun tidak. Di sinilah jahatnya media.

https://www.rand.org/