Oleh Ust Choirul Anam
Sempat terpikir oleh saya pada saat kecil bahwa adanya neraka dengan siksa yang sangat pedih, menunjukkan bahwa Allah itu jahat sekali, bukan Maha Pengasih-Penyayang. Jika Allah memang Maha Pengasih-Penyayang, seharusnya semua orang dimasukkan surga. Orang-orang yang salah diampuni saja. Toh, sangat mudah bagi Allah mengampuni siapa saja dan juga tidak ada ruginya bagi Dia untuk mengampuni siapa saja.
Namun kemunculan pemikiran itu segera saya kubur dalam-dalam, bukan karena dapat jawaban yang memuaskan, tetapi khawatir adanya pemikiran itu menyebabkan Allah terpancing kemarahan-Nya dan memasukkan saya ke neraka. Jadi, beragama itu tampak sesuatu yang menakutkan. Hidup terus dihantui dengan ancaman dan siksaan yang tiada terperi. Hidup terasa sangat terkekang.
Setelah dewasa, saya mulai sering mendengar orang-orang mengatakan hal itu, yaitu oleh mereka yang menggugat agama, terutama dari mereka yang berhaluan ateis dan liberal. Penyataan dan gugatan mereka persis seperti yang pernah terbersit pada masa kecil saya.
Benarkah Allah swt itu jahat? Bagaimana memahami masalah ini?
Alhamdulillah saya menemukan jawabnnya dari halaqoh. Untuk sekedar berbagi ilmu, saya share dalam tulisan ini.
*****
Allah swt menciptakan segala sesuatu dengan hukum-hukum khusus yang berlaku padanya secara sempurna. Dengan hukum-hukum itulah alam ini ada dan berjalan dengan sangat teratur dan harmoni hingga detik ini. “Sesungguhnya Allah telah menciptakan hukum-hukum (qadar) atas segala sesuatu” (TQS. Ath-Talaq [65] 3)
Sebagian hukum tersebut, ada yang sudah diketahui manusia, namun sebagian yang lain belum diketahui oleh manusia. Hukum-hukum yang berlaku pada alam ini secara umum sering dinamakan Hukum Alam, atau diberi nama dengan nama orang yang menemukannya atau mengkajinya untuk pertama kali.
Sekadar contoh, sekarang ini, kita tahu bahwa saat ada dua materi yang memiliki massa, maka keduanya akan saling tarik-menarik. Besarnya gaya tarik ini sebanding dengan perkalian massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Hukum ini sudah ada semenjak bumi ini ada dan akan tetap ada sampai hari kiamat. Namun demikian, hukum itu secara matematis baru diformulasikan oleh Newton, sehingga hukum ini sering disebut Hukum Newton. Sekali lagi, hukum ini bukan buatan Newton. Hukum ini sudah ada sebelum Newton lahir, saat Newton hidup, dan tetap ada setelah Newton wafat.
Di dunia ini selain ada materi yang bisa kita kaji secara obyektif, ada juga fakta non-materi yang keberadaannya bisa kita ketahui secara pasti, tetapi hakikatnya kita tidak pernah tahu. Contoh paling sederhana adalah nyawa. Kita bisa mendeteksi makhluk yang masih bernyawa dan yang sudah tidak bernyawa. Kita tahu bahwa nyawa ada di dalam diri kita, tetapi kita tidak pernah tahu nyawa itu sebenarnya apa dan bagaimana. Keingin-tahuan tentang nyawa telah dipertanyakan oleh orang-orang pada masa lalu, masa sekarang, dan mungkin orang-orang yang akan hidup pada masa depan.
Keteraturan alam yang menakjubkan dalam segala hal, sebagaimana yang kita telah ketahui, membuktikan bahwa alam ini ada yang mengaturnya. Jika tidak ada yang mengatur, maka alam ini akan hancu berantakan dalam waktu sekejap dan tidak akan eksis hingga saat ini. Pengaturnya ini pasti Maha Sempurna, Maha Cerdas, Maha Kuat, dan Maha Segala-galanya. Di dalam Islam, pencipta dan pengatur ini adalah Allah swt.
Dengan mengamati terhadap materi-materi yang tampak, jelas bagi kita bahwa Allah swt, merupakan Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang. Segala hal yang memungkinkan kehidupan ini dilengkapi dan disediakan oleh-Nya dengan sangat sempurna, tanpa ada kekurangan sedikit pun. Di sudut mana pun kita melihat, yang ada hanyalah kesempurnaan yang menakjubkan. “Dialah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat yang tidak seimbang?” (TQS. Al-Mulk 3).
Segala sesuatu yang ada mengalami suatu proses dengan mengikuti hukum tertentu yang unik dan konsisten. Manusia yang diberi akal, naluri dan kebutuhan-kebutuhan jasmani menafsirkan semua proses alam yang terjadi sesuai dengan pemahaman-pemahamnya masing-masing. Proses-proses yang ada terkadang direspon dengan positif, terkadang direspon negatif. Proses-proses yang ada terkadang disenangi manusia, namun terkadang dibenci. Proses-proses itu terkadang dipahami oleh manusia, namun terkadang tidak mampu dipahami olehnya.
Kita akan ambil contoh Hukum Newton. Dua benda bermassa akan mengalami gaya tarik. Bumi memiliki massa, dan apel juga memiliki massa, maka keduaya akan saling tarik. Karena bumi jauh lebih besar dibanding apel, maka yang tampak oleh kita, apel jatuh ke bumi. Bukan hanya apel, semua benda di permukaan bumi tertarik ke bumi dan jatuh ke bumi. Jika ada benda yang tidak jatuh ke bumi, itu pasti ada gaya lain yang bekerja pada benda tersebut. Burung yang tidak jatuh ke bumi saat terbang, bukan karena burung tidak dipengaruhi gaya gravitasi bumi, tetapi pada gerakan sayap burung menghasilkan Gaya Archimedes ke atas, akibat aliran fluida udara pada saya-sayap burung tersebut. Gaya Archimedes itu mengimbangi gaya gravitasi sehingga resultannya (hasil akhirnya), burung tidak jatuh ke bawah. Demikian pula yang terjadi pada pesawat terbang.
Sekarang kita renungkan, seandainya kita memiliki barang yang sangat berharga, anggap saja terbuat dari bahan kaca yang jika terjatuh di lantai keramik kemungkinan besar akan pecah. Namun, karena keteledoran kita, kita menaruhnya di tempat sembarangan, akhirnya benda berharga itu jatuh dan pecah berkeping-keping.
Pertanyaannya, siapa yang memecahkan benda berharga tersebut?
Yang jelas benda tersebut jatuh karena proses alam atau karena gaya gravitasi Newton yang diciptakan Allah swt. Apakah Allah swt jahat karena hukumnya telah menyebabkan barang berharga kesayangan kita pecah berkeping-keping?
Kita bisa menjawab dengan pasti, bukan Allah swt atau hukum gravitasi yang jahat, tetapi kita sendiri yang salah karena tidak berhati-hati dalam menyimpan atau menaruh barang berharga tersebut dengan sembarangan.
Jika benda yang berharga itu sekarang kita ganti dengan “diri kita” yang sangat kita cintai. Misalkan karena suatu hal kita terjatuh dari lantai 10 gedung bertingkat, kira-kira apa yang akan terjadi? Dalam kondisi normal, kemungkinan besar kita akan meluncur ke bawah dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan saat membentur lantai, kita akan remuk dan terkoyak.
Pertanyaannya, siapa yang meremuk dan mengoyak tubuh kita?
Sekali lagi, kita jatuh karena hukum gravitasinya Allah. Apakah Allah swt jahat karena hukumnya telah menyebabkan diri kita hancur dan berserakan kemana-kemana?
Jika kita merenung dengan mendalam tidak ada yang jahat dalam proses ini. Proses ini memang terjadi dengan hukumnya gravitasinya Allah. Ini adalah proses alami. Dan kita pun sebenarnya sudah tahu tentang hal ini. Karena ada gaya gravitasi, jika kita berada dalam ketinggian, kita harus hati-hati, sebab jika sampai terjatuh dapat menyebabkan diri kita seperti telah disebutkan di atas.
Jika kita berpikir obyektif, di sini tidak bisa disimpulkan bahwa Allah jahat sekali. Justru sebaliknya, hukum gravitasi inilah yang membuat alam ini ada dan berjalan dengan keteraturan yang menakjubkan hingga detik ini. Seandainya, kita jatuh diberi AMPUN oleh Allah, sehingga bukan ke bawah, tetapi tetap diam di udara (agar kita selamat), maka alam ini justru akan hancur berantakan. Saat gravitasi hilang, sekejap saja, bulan akan lepas dari bumi dan tidak akan bergerak mengitari bumi. Bumi akan lepas dari matahari dan tidak akan mengitarinya. Dampak dari fenomena yang tampak sederhana ini, bumi dan semua planet yang ada akan hancur berhamburan dalam waktu kurang dari sepermilyar-milyar-milyar detik.
Namun, alhamdulillah hukum gravitasi itu selalu ada sehingga alam dan kehidupan masih ada dan berjalan dengan harmoni hingga detik ini.
Jika kita melanggar hukumnya Allah ini, berakibat hancur diri kita berkeping-keping. Allah tidak akan MENGAMPUNI kepada siapa saja yang berani melanggar hukumnya. Siapapun manusia akan sama dalam hubungannay dengan gaya gravitasi ini. Inlah contoh salah satu hukum Allah yang berlaku di dunia ini. Tentu masih ada jutaan hukum alam lain, bahkan tak terhingga hukum-hukum Allah lain yang berlaku di dunia ini. Hukum-hukum itu, sebagiannya telah diketahui dan dimanfaatkan oleh manusia, sebagiannya masih dalam proses penggalian dan kajian oleh manusia, dan sebagian besarnya belum diketahui manusia sama sekali.
Hukum yang berlaku di alam ini diajarkan Allah kepada kita dengan pengindraan sehari-hari, lewat observasi secara mendalam terhadap fenomena alam yang terkondisikan di laboratorium, dan sebagian lagi lewat pengajaran dari makhluk Allah yang tahu lebih dahulu.
Tentu, ada orang-orang tertentu yang terkadang diberi hukum lain dalam kondisi tertentu yang kita tidak pernah tahu hakikatnya. Itulah yang dinamakan mukjizat.
*****
Telah dibahas, di dunia ini, selain ada materi yang bisa kita kaji secara obyektif dan ilmiah, ada juga fakta non-materi yang hakikatnya tidak pernah kita tahu. Contoh paling sederhana adalah nyawa. Kita hanya tahu kalau yang hidup itu bernyawa, sementara mati adalah ketiadaan nyawa. Apa itu nyawa? Bagaimana hukum-hukum yang berlaku pada nyawa? Apa yang terjadi setelah manusia mati? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak bisa kita jawab dengan pasti karena kita tidak tahu hakikatnya. Kita yang belum pernah mati, tidak akan mampu mengetahui apa yang terjadi setelah kematian. “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh (nyawa). Katakanlah: ‘ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’(TQS. Al-Isra’ [17]: 85).”
Tapi yang tidak meragukan sama sekali adalah bahwa nyawa kita akan meninggalkan tubuh kita, atau kita pasti akan mati. Kita tidak tahu kapan, namun secara statistik, mayoritas manusia yang sekarang hidup nyawanya akan keluar dari raganya atau mati, tidak lebih dari 70 tahun yang akan datang. Jadi, mati itu pasti akan terjadi pada kita dalam waktu yang tidak terlalu lama, siapa pun kita. “Katakanlah: ‘sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesuangguhnya kematian akan menemui kami’”. (TQS. Yunus [10] 49).
Banyak orang berpikir, bahwa nyawa dan kehidupan setelah tiadanya nyawa tidak bisa diverfikasi secara ilmiah dan obyektif, sehingga sebagain manusia mengabaikannya. Namun, tindakan ini justru gegabah, karena mengabaikan sesuatu yang pasti akan terjadi. Sebab, jika sesuatu tidak bisa diverifikasi dengan satu metode, harusnya diverifikasi dengan metode lain, bukan hanya diabaikan dan dibiarkan tanpa kejelasan.
Karena Allah mengetahui bahwa manusia dengan akalnya tidak akan mengetahui nyawa dan kehidupan setelah ketiadaan nyawa, maka dengan kasih sayang-Nya Allah memberi tahu kepada kita hukum-hukum yang berlaku pada kehidupan pasca kematian. Dengan pengetahuan itu, diharapkan manusia melakukan tindakan yang terbaik untuk kehidupannya dan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan kesengsaraan hidupnya.
Informasi-informasi Allah tentang kehidupan pasca kematian terdapat pada kitab suci-Nya, yaitu al-qur’an. Informasi-informasi inilah yang sering dinamakan petunjuk (hudan).
Dengan demikian, jika kita ingin memverifikasi dan memvalidasi hukum-hukum tentang kehidupan setelah kematian, maka yang mestinya harus kita lakukan adalah memverifikasi dan memvalidasi kebenaran al-qur’an. Bahkan al-qur’an menantang kita semua agar memverifikasi dan memvalidasinya.
Penting untuk diketahui, hukum itu berlaku baik kepada yang sudah memahami atau pun yang belum memahami. Sekedar contoh, hukum gravitasi Newton yang berlaku di dunia ini, berlaku kepada seorang Fisikawan yang sangat fasih dengan Hukum Newotn tersebut, dan juga berlaku kepada orang awam yang tidak pernah mempelajari Ilmu Fisika sama sekali. Seoarang Fisikawan atau orang awam, jika jatuh dari lantai 10 gedung bertingkat, sama-sama hancurnya.
Di dalam al-qur’an dinyatakan bahwa setiap yang kita lakukan akan berdampak pada kehidupan akhirat. “Siapa saja yang berbuat kebaikan (khoir) seberat dzarroh, ia akan melihat (dampak) atas kebaikan yang dilakukannya. Dan siapa saja yang berbuat keburukan (syar) sebesar dzarroh, ia juga akan melihat (dampak) atas keburukan yang dilakukannya” (TQS. Al-Zalzalah [99] 7-9).
Berbeda dengan baik dan buruk terhadap fenomena fisik duniawi yang dapat diobservasi, sehingga kita dapat mengambil kesimpulan murni dengan akal kita. “Baik” dan “buruk” yang berkaitan dengan kehidupan pasca kematian juga tidak kita ketahui. Sebab segala sesuatu tentang kehidupan pasca kematian tidak pernah bisa ketahui hakikatnya. Oleh karena itu, “baik” dan “buruk” juga tidak bisa kita definisikan sendiri. Sebenarnya, boleh saja kita mendefinisikan sendiri tentang “baik” dan “buruk”, tetapi tidak menjamin itu sesuai dengan hukum-hukum alam yang berlaku di akhirat yang memang kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, yang dinamakan “baik” dan “buruk” adalah yang dinyatakan “baik” dan “buruk” oleh Allah swt atau Rasul-Nya yang telah diberi mandat untuk menyampaikan informasi dari Allah swt.
Di akhirat pun berlaku hukum alam, yaitu hukum alam akhirat, sebagaimana yang diinformasikan Allah di dalam al-qur’an. Ada sesuatu yang jika kita lakukan membawa manfaat kepada kita, itulah “kabaikan”, ada sesuatu yang jika kita lakukan membawa petaka kepada kita, itulah “keburukan”.
Dengan demikian, saat Allah memberi tahu agar manusia jangan mengerjakan yang “buruk”, namun manusia justru melakukannya dengan sengaja atau melakukannya karena tidak mau tahu, maka hukum alam akhirat berlaku padanya. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Allah swt kejam atau atau tidak. Ini adalah hukum alam yang berlaku padanya di akhirat.
Jika kita di lantai 10 gedung bertingkat, dan kita melompat, baik dengan sengaja atau tidak, Fisikawan atau orang awam, kita akah terjatuh dan hancur. Itulah hukum yang berlaku. Oleh karena itu, jika kita tidak mau terjatuh dan hancur, jangan lakukan sesuatu yang menyebabkan kita terjatuh dari lantai 10.
Jika Allah sudah memberi tahu kepada kita, bahwa memakan riba itu berdampak bahwa hukum alam di akhirat akan menyebabkan kita hancur dan menderita, maka yang mesti dilakukan adalah meninggalkan riba. Jika kita terus mengambil riba, maka berlaku hukum alam akhirat, sebagaimana hukum alam dunia yang berlaku kepada orang yang melompat dari gedung lantai 10.
Tentu di akhirat ada banyak sekali hukum alam yang berlaku, sebagaimana banyak sekali hukum alam yang berlaku di dunia. Namun, dunia yang berbeda, sangat mungkin hukum alamnya juga berbeda.
*****
Untuk hidup di akhirat dengan bahagia, kuncinya adalah taat Allah secara sempurna, atau dalam bahasa lain masuk Islam secara kaffah. BerIslam secara kaffah itu bukan seperti digambarkan dalam sinetron, yang kemana-kaman membawa tasbih dan memakai jubah. Bukan seperti itu yang dinamakan kaffah.
Hukumnya Allah itu terangkum dalam lima hukum, yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram. BerIslam secara kaffah itu kriterianya sederhana, yaitu melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram. Sebagai tambahan, sebisa mungkin melakukan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dan jika karena suatu hal melakukan yang haram, harus berusaha menyadari kesalahan itu dan berusaha tidak melakukannya lagi. Ini yang dinamakan taubat.
Hukum yang lima itu akan selalu ada dalam setiap aktivitas manusia, apa pun itu. Mulai manusia bangun tidur sampai bangun tidur lagi. Bukan hanya aktivitas fisik, hukum tersebut juga berlaku pada aktivitas hati. Apa saja yang disimpan di dalam hati, juga berdampak dalam kehidupan akhirat nanti. Hukumnya Allah itu dalam bahasa lain juga disebut syariah Allah atau syariah Islam.
Mungkin ada sebagian orang yang berpikir, yang penting saya melaksanakan sebagian syariah, namun dengan secara sadar melanggar syariah yang lain. Menurutnya, itu lebih baik daripada tidak melaksanakan sama sekali. Jika yang dimaksud itu adalah melaksanakan sebagian keharaman atau meninggalkan sebagian kewajiban, maka orang tersebut seperti hati-hati saat di gedung tinggi agar tidak jatuh, tetapi dengan sembrono menyentuh kabel listrik tegangan tinggi. Dia memang tidak hancur karena jatuh dari gedung, tetapi terbakar karena tersetrum arus listrik.
Memang tidak semua harus kita jalankan, tetapi ada standar minimal yang mesti diperhatikan. Ini bukan hanya tentang kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan akhirat. Standar minimal itu adalah: yang wajib dilaksanakan dan yang haram ditinggalkan.
Hal-hal yang wajib dan haram ini ada dalam setiap aktivitas manusia, baik dalam interaksinya dengan orang lain, dengan dirinya sendiri, maupun dengan Tuhannya.
*****
Jadi, siksa yang berlaku di akhirat sama sekali bukan menunjukkan kejamnya Allah swt. Tetapi justru Maha Kasih-Sayangnya Allah kepada kita. Kita diberi tahu hukum alam yang berlaku di alam akhirat tersebut dan hubungannya dengan keputusan kita dan perbuatan kita di dunia ini. Kita diberi tahu, mana yang berbahaya dan mana yang membawa manfaat. Kita diberitahu Allah sejak awal, sebelum kita hidup di alam akhirat dengan hukum alamnya yang khas.
Ini persis orang yang membeli mobil baru di toko. Pabrikan memberi tahu kepada kita cara mengemudikan kendaraan yang akan membawa keselamatan dan juga meninformasikan hal-hal berbahaya yang semestinya tidak dilakukan agar kita selamat dalam hidup berkendara. Saat pabrikan menyampaikan bahayanya mengendarai mobil dengan kecepaan 150 km/jam, misalnya, karena jika tidak hati-hati akan menyebabkan kecelakan parah, sama sekali tidak bisa ditafsirkan bahwa Pabrikan dengan prosedur-manualnya SANGAT KEJAM kepada kita. Apalagi dianggap sebagai PENGEKANG KEBEBASAN. Itu hanya petunjuka untuk kebaikan kita dan menghindarkan bahaya dari kita. Selanjutnya terserah kita, untuk:
*Percaya atau tidak
*Mengikuti atau tidak
Dampak dari kepatuhan kita atau ketidak-patuhan kita bukan kembali kepada Pabrikan mobil tersebut, tetapi kembali kepada kita. ”Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”(TQS. Al-Israa’ 7)
Jadi, beragama Islam itu bukan sesuatu yang menakutkan, yang selalu dijejali dengan ancaman. Juga bukan tali kekang kebebasan kita. Tetapi bergama Islam justru sesuatu yang penuh dengan rohmah, kita dikasih tahu mana perbuatan yang berdampak baik dan berdampak buruk, sebelum semua itu terjadi. Sehingga kita bisa memaksimalkan perbuatan baik, dan menghindarkan perbuatan buruk.
Allah sama sekali tidak kejam dan juga tidak dzalim kepada kita, tetapi kita sendiri yang sering bertindak kejam dan dzalim kepada diri kita. Diri ini kita korbarkan hanya untuk menuruti kemauan jangka pendek kita, sementara diri ini kita biarkan hancur dan menderita pada kehidupan jangka panjang. “Tuhan tidak menzalimi mereka itu, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (TQS. Ar-Rum 9)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar