Jumat, 31 Maret 2017

SEKULARISME PANGKAL KERUSAKAN

[Al-Islam No. 850, 2 Rajab 1438 H — 31 Maret 2017]
.

Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Barus Sumatera Utara berpesan agar rakyat Indonesia tidak mencampuradukkan politik dengan agama. Hal itu demi mencegah gesekan antarumat beragama. "Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama. Dipisah betul sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik", kata Jokowi (Antaranews, 24/3/17).

Ungkapan Presiden Jokowi tersebut menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Pidato ini dianggap mempertegas prinsip sekularisme di Indonesia. Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Maruf Amin, menjelaskan, “Agama dan politik itu kan saling mempengaruhi. Politik kebangsaan itu kan juga harus memperoleh pembenaran dari agama. Kalau tidak, bagaimana?” ujarnya saat menghadiri Refleksi Kebangsaan 71 Tahun Muslimat NU di Hotel Crowne Plaza, Jakarta Selatan, Senin (27/3) (Tribunnews.com 27/3/17).

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. H. Amien Rais, MA, juga menanggapi, “Itu kata-kata seseorang yang tidak paham Pancasila,” katanya usai menjadi pembicara dalam Tabligh Akbar di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (26/3/2017), seperti dikutip Panjimas.com. “Karena kalau politik dipisahkan dari agama, politik menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan; akan jadi beringas; akan jadi eksploitatif,” tegasnya.
.

Sejarah Sekularisme

Gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) pertama kali muncul di Barat sebagai kritik terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Ketika itu Gereja Kristen menjadi institusi dominan. Dengan pembentukan Sistem Kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan; khususnya aspek politik, sosial dan pemikiran (Idris, 1991: 75-80; Ulwan, 1996: 73). Dominasi ini ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan melalui persekongkolan Gereja dan raja/kaisar; mengakibatkan kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Kemudian muncul upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531) dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan kemunculan para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592). Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki agama disingkirkan dari kehidupan dan menuntut kebebasan.

Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah terjadinya perang selama 30 tahun, yang diakhiri dengan adanya Perjanjian Westphali 1846. Melalui perjanjian ini, akhirnya secara total Gereja dipisahkan dari masyarakat, negara dan politik (Qashash, 1995: 30-31). Sejak itulah lahir sekularisme yang menjadi dasar ideologi dan peradaban Barat.
.

Sekularisme di Indonesia

Sekularisme masuk ke Indonesia secara paksa melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan, bahwa Pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama (Suminto, 1986: 27).

Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada Pemerintah Kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah: (1) dalam bidang ibadah murni, Pemerintah hendaknya memberikan kebebasan sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, Pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam (Suminto, 1986: 12).

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular yang ditanamkan penjajah. Sayang sekali, ini tidak terjadi. Revolusi Kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tetapi ideologi tetap sekular. Karena itu sejak awal Indonesia adalah negara sekular.

Alhasil, gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) sebagaimana yang diutarakan oleh Presiden Jokowi tak lain sekadar mengekor ke peradaban Barat; mengikuti dan melanggengkan arahan penjajah.
.

Sekularisme Pangkal Kerusakan

Sebagai warisan penjajah Barat, sekularisme merupakan paham yang rusak karena jelas-jelas menolak peran agama (Islam) dalam pengaturan kehidupan, khususnya politik. Di bidang politik, sekularisme merusak karena melenyapkan aspek spiritual (nâhiyah rûhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. Akibatnya, kekuasaan pun hanya dijadikan alat untuk meraih keuntungan materi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka, sebagaimana yang Islam perintahkan.

Dalam politik sekular, kebebasan hanya menjadi alat pembenaran berbagai perilaku maksiat. Sebaliknya, tidak ada kebebasan untuk taat dalam bersyariah secara kaffah. Demokrasi adalah sistem sekular yang menipu rakyat dengan konsepnya: kedaulatan di tangan mereka. Faktanya, pemilik modallah yang mengendalikan para penguasa dan wakil rakyat. Akibatnya, para penguasa dan wakil rakyat sering abai terhadap rakyat. Mereka lebih banyak memperkaya diri dengan perilakunya yang koruptif, tak peduli urusan rakyat. Akibat sekularisme pula, umat tidak paham bahwa Islam mengharamkan mengangkat pemimpin kafir bagi mereka.

Sekularisme di bidang ekonomi didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi, misalnya, dianggap menguntungkan meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. Sistem perbankan ribawi, sistem perusahaan kapitalisme (PT) dan sistem uang kertas (fiat money) melahirkan berbagai krisis ekonomi dan moneter. Sistem ini dibangun tanpa mengindahkan sama sekali aturan Allah SWT.

Di bidang sosial sekularisme menyebabkan kerusakan moral. Wanita, misalnya, hanya dianggap komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, sementara poligami justru dianggap perbuatan kriminal. Sistem sosial yang bobrok seperti ini telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral dan melahirkan anak-anak hasil zina.

Itulah sekularisme, pangkal segala kerusakan.
.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Keburukan sekularisme semestinya melahirkan kesadaran pada umat Islam akan keindahan ajaran Islam. Islam rahmatan lil alamin. Islam melahirkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik yang berdasarkan syariah. Sistem politik Islam dibangun di atas dasar akidah islamiyah sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiah), yaitu terkait dengan Allah SWT; terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan hakiki bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah menaati Allah SWT dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya, orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah SWT dan merasa berdosa.

Tujuan sistem politik Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok dan keadilan di dalam negeri.

Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tetapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Faktanya, penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sukarela seperti para penakluknya. Ini menunjukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik.
.

Wahai kaum Muslim!

Sungguh tak mungkin Islam dapat berdampingan dengan sekularisme. Sekularisme menciptakan kerusakan serta menyuburkan kemaksiatan dan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT. Sebaliknya, Islam menebarkan rahmat bagi semesta alam. Karena itu pantas jika Allah SWT berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Karena itu pula, saatnya kita mencampakkan sekularisme, lalu kita ganti dengan akidah dan syariah Islam. Hanya saja, penegakkan syariah Islam membutuhkan institusi pemerintahan Islam. Itulah Khilafah ala minhaj an-Nubuwwah. Khilafah inilah yang harus segera kita tegakkan. []

.

Komentar al-Islam:

MUI: Politik Tanpa Agama akan Buat Manusia Jadi Serigala (Republika.co.id, 29/3/2017).

Apa yang dinyatakan MUI di atas sebetulnya sudah terjadi dalam sistem politik demokrasi saat ini. Pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.

Penguasa menjadikan rakyat sebagai mangsa yang terus ditindas dengan berbagai kebijakan yang zalim seperti: membebani rakyat dengan ragam pajak, kenaikan harga BBM, gas, listrik; menyerahkan kekayaan milik rakyat kepada pihak asing; dll.

Hanya dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah, politik benar-benar ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka.

Rabu, 29 Maret 2017

Cara Islam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi Global

Sumber: Majalah Al Waie

Kita sempat tercengang oleh hasil survei yang dipaparkan oleh Oxfam International pada Februari 2017. Pasalnya, hasil riset tersebut menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat keenam dalam kategori ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia. Pada tahun 2016, sebanyak 1 persen individu terkaya dari total penduduknya menguasai hampir separuh (49 persen) total kekayaan.

Analisis Oxfam International tersebut patut dicermati dan disikapi secara kritis. Pasalnya, riset tersebut menggambarkan paradigma pembangunan yang telah dijalankan Indonesia selama ini. Sejak tahun 2000, perekonomian Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Memang, akhir-akhir ini terjadi perlambatan, pertumbuhan PDB rata-rata mencapai lebih dari 5 persen selama periode tahun 2000-2016. Namun,  manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut belum terbagi secara merata, dan masih banyak yang tertinggal jauh di belakang. Jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan yaitu $3,10 atau Rp 40.300 pendapatan perhari perorang sebagai batas kemiskinan, jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini masih sangat tinggi, yaitu 93 juta (36 persen dari total penduduk). Dengan pertumbuhan ekonomi, jurang antara yang kaya dengan miskin meningkat secara signifikan. Ketimpangan khususnya di daerah perkotaan semakin meningkat karena Indonesia mengalami pertumbuhan urbanisasi tertinggi di kawasan Asia. Sepuluh persen orang terkaya di daerah perkotaan memiliki lebih dari sepertiga total pendapatan Indonesia. Ketimpangan kekayaan di Indonesia bahkan lebih suram.

Selama 15 tahun terakhir kekayaan di Indonesia terkonsentrasi pada kelompok ultrakaya yang terus bertambah kekayaannya. Posisi istimewa tersebut diraih dari pemanfaatan sumberdaya ekonomi dan komoditas seperti kelapa sawit, batubara dan mineral lainnya; atau dari bidang multimedia, teknologi komunikasi dan keuangan. Jumlah miliader di Indonesia telah meningkat secara pesat dari satu orang pada tahun 2002 menjadi 20 pada tahun 2016. Indonesia saat ini memiliki 20 miliarder yang tercatat dalam daftar miliarder”Forbes”.

Dengan menelaah bagaimana miliarder di Indonesia memperoleh kekayaannya, akan diperoleh gambaran industri apa saja di Indonesia yang paling banyak menyumbang kekayaan bagi para miliarder Indonesia. Industri keuangan menghasilkan kontribusi terbesar bagi kekayaan para miliarder Indonesia. Pertanian dan pertambangan juga menyumbangkan proporsi yang cukup besar pada kekayaan para miliarder di Indonesia, yang memang wajar karena sektor-sektor tersebut memiliki porsi besar dalam perekonomian Indonesia.

Pengamat Ekonomi Indonesia, Faisal Basri, menilai besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Kelompok milyarder di Indonesia meraup dua pertiga kekayaannya dari praktik bisnis di sektor kroni (crony sectors). Ini  dimungkinkan karena kedekatannya dengan kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika Crony-Capitalism Index Indonesia bertengger di peringkat ketujuh dunia. Posisi Indonesia pada tahun 2016 itu memburuk dibandingkan tahun 2007 dan 2014. Peningkatan jumlah jutawan dan miliarder di negeri ini, ketika dikontraskan dengan situasi kemiskinan yang sangat mengkhawatirkan, membuktikan bahwa kelompok kayalah yang meraup manfaat dari kinerja ekonomi Indonesia yang banyak digembar-gemborkan, sementara jutaan kalangan bawah dibiarkan tertinggal di belakang.

Persoalan ketimpangan tidak hanya menyangkut masalah pendapatan dan kekayaan. Ketimpangan pada akhirnya adalah mengenai kekuasaan. Ketimpangan ekonomi menyebabkan ketimpangan kekuasaan dalam hal siapa yang membuat aturan, siapa yang menguasai modal dan sumberdaya dan siapa yang dapat menantang status quo. Ketidakseimbangan kekuasaan yang berakibat pada ketimpangan yang lebar antara kelompok kaya dan kelompok lain semakin melanggengkan ketimpangan. Pasalnya, mereka yang berada di atas memiliki akses istimewa dan pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang dimanfaatkan agar perekonomian dan berbagai kebijakan dapat melayani kepentingan mereka. Adapun kepentingan orang-orang yang berada di bawah cenderung tidak dihiraukan. Hal ini pada gilirannya berakibat pada ketidakstabilan social. Pasalnya, ruang politik dan ekonomi digunakan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang daripada kepentingan banyak orang (Oxfam, 2016).

 

Penyebab Ketimpangan

Dalam laporannya, Oxfam Internasional menjelaskan bahwa setidaknya ada empat pendorong utama ketimpangan di Indonesia yaitu:

Upah murah dan pekerjaan yang tidak memberikan rasa aman bagi mereka yang berada di bagian paling bawah semakin memperparah masalah ketimpangan. Akibatnya, pekerja merasa tidak berdaya untuk mengangkat diri mereka dari jurang kemiskinan.Ketimpangan akses antara pedesaan dan perkotaan terhadap infrastruktur seperti jaringan listrik dan jalan yang berkualitas semakin memperlebar ketimpangan spasial antara kota dan desa.Pemusatan penguasaan lahan oleh perusahaan besar dan individu kaya menyebabkan manfaat yang diperoleh dari hak kepemilikan lahan hanya menumpuk pada mereka yang berada di bagian teratas dengan mengorbankan masyarakat yang lain.Sistem perpajakan telah gagal memainkan peran pentingnya dalam mendistribusikan kekayaan; masih jauh dari potensi pencapaiannya dalam meningkatkan pendapatan untuk membiayai layanan publik guna mengurangi ketimpangan. Pemungutan pajak di Indonesia sebagai persentase dari PDB menempati peringkat terendah kedua di Asia Tenggara.

 

Solusi Islam

Sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang membuat timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Kesejahteran rakyat  akan terwujud. Ini karena politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat bisa terpenuhi. Negara/Khilafah mesti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan dan keamanan). Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai yang terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, kewajiban itu beralih ke negara. Negara bisa memberikan bantuan langsung maupun dengan memberi pekerjaan.

Semua potensi kekayaan alam yang menjadi sumber pendapatan penting negara akan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Dalam Islam, barang-barang tambang yang melimpah seperti emas, perak, timah, batu bara, minyak dan gas adalah milik rakyat yang disebut milkiyah ‘amah sehingga tidak boleh diberikan kepada individu, swasta apalagi asing. Kekayaan alam milik umum ini harus dikelola negara dengan baik, amanah, transparan, profesional dan  penuh tanggung jawab. Seluruh hasilnya untuk kepentingan rakyat. Dengan sistem ini, rakyat Indonesia dengan alamnya yang kaya raya ini akan sejahtera.

Kita tidak bernostalgia dengan sejarah. Namun, kemampuan Khilafah untuk menyejahterakan ini terbukti dalam sejarah Islam. Salah satu contoh, kesejahteraan rakyat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tergambar dari ucapan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, “Saat hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.”

Inilah sistem ekonomi Islam. Ia merupakan hukum-hukum syariah yang berasal dari Zat Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu. Dia Yang Mahasuci mengetahui hakikat apa yang menjadikan baik bagi makhluk-makhluk-Nya. Demikian sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Ingatlah Allah Yang menciptakan itu mengetahui dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu? (TQS al-Mulk [67]: 14).

Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang sahih. Sistem ini menyediakan kehidupan yang aman dan baik untuk pihak yang kuat maupun yang lemah, kaya maupun miskin. Dengan sistem itu mereka semuanya akan menjadi hamba-hamba Allah SWT yang saling bersaudara. Sesungguhnya sistem ini akan membuat baik kondisi umat manusia. Mahabenar Allah Yang Mahagung, Yang telah berfirman (yang artinya): Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, lalu siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku,  sungguh bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 123-124).

Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam bisa menjadi solusi bagi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan yang saat ini terjadi di Indonesia. Mengatasi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan tentu saja tidak bisa secara parsial, namun harus lewat perubahan sistem yang menyeluruh. Caranya adalah dengan mengganti sistem Kapitalisme yang menjadi penyebab utama ketimpangan dan kemiskinan masyarakat dengan sistem Islam. Di sinilah kecemerlangan Islam dalam menuntaskan problem ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Artinya, Islam tidak memandang bahwa kemiskinan merupakan urusan individu semata, tetapi melibatkan negara dan sistemnya.[]

 

Daftar Rujukan:

An-Nabhani, Taqiyuddin, 2012. Sistem Ekonomi Islam. Hizbut tahrir Indonesia.

Noerdin, 2014. Transport, Health Services and Budget Allocation to Address Maternal Mortality in Rural Indonesia. Transport and Communications Bulletin for Asia and the Pacific, No 84.

Forbes, 2016. “The World’s Billionaires”.http://www.forbes.com/billionaires/list/

INDEF, 2017. Proyeksi Ekonomi Indonesia: Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia.

Oxfam, 2017. “Menuju Indonesia yang Lebih Setara”. Oxfamblog.org./Indonesia/wp-conten/upload2017/02/report-indonesia.pdf

TNP2K (The National Team for the Acceleration of Poverty Reduction) The Smart Indonesia Programme Through the Smart Indonesia Card (KIP)http://www.tnp2k.go.id/en/frequently-asked-questions-faqs/cluster-i-2/the-smart-indonesia-programme-through-the-smart-indonesia-card-kip/

World Bank, 2015.’ Indonesia’s Rising Divide’, hlm. 8.http://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide

Zallum, Abdul Qodim. Sistem Keuangan Negara Khilafah. HTI-Press.

Corporated Democracy

Awal Maret lalu, saya hadir dalam acara yang diberi tajuk Pengajian Kebangsaan dengan tema, “Perspektif Islam dalam Menyikapi Dinamika Politik-Ekonomi Nasional dan Global”. Acara diselenggarakan di rumah dinas Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan, di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Oleh pengundangnya, Prof. Rokhmin Dahuri, pengajian ini disebut bersifat lintasfirqah dan lintas fraksi (politik) untuk Islam yang satu.

Sesuai dengan nama dan sifatnya, hadir  banyak tokoh dari berbagai kalangan. Di antaranya: Prof. Jimly Assidiqi, Prof. Nasaruddin Umar, Prof. Komaruddin Hidayat, Sutrisno Bachir, Muhammad Siddiq (Ketua Umum DDII), Syafii Antonio, Ahmad Riawan Amin, Eggy Sujana, Chusnul Mar’iyah, Neno Warisman, Hanafi Rais, Muhammad al-Khaththath  dan masih banyak lagi yang lain. Ada beberapa topik yang disoroti oleh forum yang dimoderatori oleh Siti Zuhro itu. Namun, yang paling mengemuka tak lain adalah soal Ahok dan peran politik umat Islam.

Ketika berbicara tentang peran politik umat Islam, tak sedikit peserta mengkhawatirkan kecenderungan liberalisasi politik saat ini, yang tampaknya akan makin meminggirkan peran umat Islam. Mengenai hal ini, Prof. Jimly memberikan penjelasan yang menarik. Pada intinya ia mengatakan, saat ini  demokrasi di Indonesia memang telah berkembang menjadi corporated democracy. Aslinya, demokrasi itu dikatakan sebagai sistem politik “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Namun, dalam faktanya demokrasi sekarang telah dikooptasi oleh para pemilik modal. Dengan kekuatan uangnya, mereka menguasai media massa, market (pasar), society (masyarakat), bahkan state(negara), termasuk di dalamnya partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik.

Sebenarnya gejala berkembangnya corporated democracy sudah lama ditengarai. Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi demokrasi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company”. Gejala itu ia lihat hanya  sebelas tahun setelah Presiden Abraham Lincoln (1860-1865)—yang semasa hidupnya dengan gagah mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”—meninggal.

++++

Peran para pemilik modal dalam dunia politik di Indonesia dilihat oleh Nanik S Deyang, mantan wartawan senior, sangatlah nyata. Ia, yang pernah menjadi salah satu wartawan dengan spesialisasi meliput konglomerat di Indonesia ini, paham betul bagaimana perangai konglomerat Cina atau para taipan di Indonesia; termasuk hubungan mereka dengan lembaga-lembaga negara mulai Kepresidenan, TNI/Polri, DPR dan lainya. Nanik mencontohkan, ketika seorang presiden hendak melakukan reshuflle kabinet, konsultasinya dengan konglomerat Cina.

Singkat cerita, ia menegaskan, negara ini sejatinya memang dikuasai oleh para pemilik modal dari kalangan konglomerat Cina. Seperti disebut Prof. Jimly, mereka kini praktis sudah menguasai society melalui penguasaan media massa dan market. Bahkan mereka juga sudah menguasai state melalui penguasaan partai politik yang dibeli atau dibiayai, serta tentu saja lembaga parlemen tempat berkumpul para wakil rakyat dari partai-partai yang sudah mereka kuasai itu. Bila partai politik sudah dikuasi maka pejabat sipil, militer maupun kepolisian, termasuk pejabat di lembaga penegak hukum, yang diangkat oleh partai politik itu, juga ikut dikuasai dan dikendalikan. Dari sini bisa dimengerti mengapa sedemikian banyak kasus-kasus korupsi—seperti kasus Sumber Waras, Busway, tanah Cengkareng, juga proyek reklamasi—yang melibatkan Ahok hingga sekarang tak kunjung diproses. Hanya setelah ada tekanan dahsyat dari umat melalui Aksi 411 saja, Ahok dijadikan tersangka untuk kasus penistaan agama.

Namun belakangan, mereka merasa “membeli” terlalu mahal politikus dan partai politik. Lalu mereka berpikir, mengapa tidak memunculkan presiden dari kalangan mereka sendiri. Apalagi demokrasi di Indonesia sudah demikian longgar. Rakyat mudah dikuasai melalui market dan media massa. Mereka pun mudah dipecah-belah. Di sinilah mereka bertemu dengan fenomena Ahok.

Jadi, menurut Nanik, soal Ahok ini bukan masalah agama saja, tetapi ada masalah yang lebih besar. Kalau tidak, tentu tidak akan energi seluruh pejabat negeri ini ditumpahkan hanya untuk membela Ahok. Ahok adalah representasi kekuatan para pemilik modal besar untuk menguasai perekonomian melalui politik, juga sebagai kartu truf mereka untuk Pilpres 2019. Mereka ingin, setelah Ahok jadi gubernur DKI, nanti pada tahun 2019 ia dipasangkan sebagai Wapresnya Jokowi. Mereka sangat yakin bisa berhasil. Buktinya, mereka juga bisa menjadikan Jokowi sebagai presiden. Setelah itu, nanti pada tahun 2024 Ahok didorong menjadi presiden. Tentu untuk itu semua biayanya akan sangat mahal. Namun, bila rencana itu berhasil, pasca 2024 melalui tangan Ahok, seluruh negeri  ini, dari Sabang sampai Merauke, bisa mereka kuasai. Bila itu benar-benar terjadi nanti, maka kasus Singapura yang dulu didominasi Melayu—melalui rekayasa politik kini dikuasai Cina—akan  kembali terulang dengan skala yang lebih besar dan lebih dahsyat.

++++

Jadi, jelaslah bahwa demokrasi memang telah menjadi alat bagi para pemilik modal, baik dari Barat (asing) maupun dari Timur (aseng) untuk menguasai  negeri-negeri Muslim. Inilah penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Oleh karena itu, William Blum, penulis buku America’s Deadliest Export Democracy, menyebut demokrasi adalah alat dominasi Amerika Serikat—kini juga dipakai Cina—atas seluruh dunia. Simpulnya, demokrasi merupakan alat untuk menguasai dunia demi kepentingan ekonomi, politik dan ideologi.

Melalui demokrasi, lahirlah negara yang dikontrol oleh korporasi. Dominasi korporasi terhadap negara semakin mencengkeram setelah korporasi multinasional turut bermain. Mereka turut menentukan siapa yang menjadi pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut.

Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi yang mereka jauhi ke korporatokrasi. Semakin lama negara-negara demokrasi berjalan, semakin masuk dalam ketundukan kepada pemilik modal. Selama dua abad ini, kekuasaan pemilik modal pun semakin kuat, bahkan lintas negara. Kekuatannya tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Lihatlah, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia, 49 adalah negara, 51-nya adalah korporasi.

Jadi, bagaimana caranya menghentikan Ahok? Mestinya kemarin ia jangan dicalonkan. Kalau sudah terjanjur dicalonkan, ya jangan dipilih. Namun, andaipun Ahok kali ini tidak terpilih, masih mungkin akan lahir ’Ahok-Ahok’ baru karena sistem demokrasi membolehkan orang seperti Ahok memimpin dan para pemilik modal terus bermain. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya ’Ahok-Ahok’ baru pada masa mendatang, corporated democracy—sistem yang memungkinkan dijadikan tunggangan pemilik modal bagi meraih kepentingan ekonomi, politik dan ideologi—tidak bisa tidak harus dihentikan![H. M. Ismail Yusanto]

Selasa, 28 Maret 2017

Kesalahan Fatal Ketika Politik Dipisahkan dari Agama (Islam)

Oleh: Umar Syarifudin

Presiden Joko Widodo mengingatkan keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia adalah aset negara yang harus dijaga. Jangan sampai muncul persoalan di tengah masyarakat yang disebabkan oleh keberagaman tersebut. …”Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama, dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” katanya. (https://news.detik.com/berita/3456602/jokowi-politik-dan-agama-harus-dipisah-betul)
.

Catatan

Jangan Anda terperdaya dengan berbagai tipuan. Kaum Muslim harus bertahan di atas agamanya dan tidak akan pernah menanggalkan Islam demi sekulerisme, liberalisme dan nilai-nilai barat. peradaban sekulerisme dimana agama dipisah dari kehidupan termasuk politik adalah peradaban yang rendah. Sehingga umat Islam harus kuat di jalan yang sesuai apa yang telah diturunkan oleh Allah sebagai keterikatan terhadap perintah Allah SWT:

dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 49-50)

Demi Allah, aneh ketika seorang pemimpin yang beragama Islam menyeru kaum muslim untuk berintegrasi dengan pengertian  meyakini nilai-nilai sekulerisme.  Yaitu menyeru kaum muslim untuk memisahkan agama dari politik, dengan konsekuensi meninggalkan syariah Rabb semesta alam dan mengadopsi syariah manusia lalu berlindung dibalik semboyan keberagaman.

Bukankah kita merasakan kesengsaraan ketika Islam dipisahkan dari politik, lalu demokrasi memimpin. Sementara kelemahan pemikiran sekulerisme telah tampak, dan kemudian rezim-rezim sekuler bersandar kepada kekuatan untuk memaksa pihak lain mengikuti nilai-nilai dan konsepsi-konsepsinya. Kemudian para rezim menuduh Sistem politik Islam sebagai ideologi totalitarianisme. Lalu siapa sebenarnya yang totaliter? Apakah Rezim yang mengatakan kebebasan, namun justru melecehkan agama Islam dan ingin memaksa kaum Muslim dengan kekuatan agar meninggalkan agama mereka? Belum tibakah waktunya bagi Kita menyadari kemarahan Allah terhadap sikap diam kita terhadap para rezim sekuleris kapitalis yang menjerumuskan rakyat dalam krisis?

Ketahuilah bahwa Allah SWT memerintahkan kepada kita yaitu agar kita tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya, tidak menaati selain Dia dan tidak menyandarkan bantuan kecuali dari Dia. Dan di dalam agama Islam ada kecukupan yang membuat kita tidak perlu meminta bantuan dengan yang lain. Di dalamnya juga ada kebenaran dan keadilan yang membuat kita tidak perlu merujuk kepada kebatilan dan kegelapan sistem barat.
Allah SWT berfirman :

Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 123-124)

Ketahuilah bahwa daulah al-Khilafah ar-Rasyidah adalah pembangkit jalan keluar Anda satu-satunya dari kesempitan hidup bagi seluruh umat akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sebagai muslim, sesungguhnya hati kita berhimpun dalam kecintaan dan ketaatan kepada Allah. Perhatian utama kita, penderitaan kita dan harapan kita adalah satu, yaitu: agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi; agar Allah SWT merealisasi janji-Nya kepada umat dan memberikan kemudahan kepada para aktivis yang berjuang di jalan Allah untuk menegakkan Khilafah.[]
.

https://hizbut-tahrir.or.id/2017/03/26/kesalahan-fatal-ketika-politik-dipisahkan-dari-agama-islam/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

***

KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG PRO PUBLIK

Oleh : Muhammad Ananta Firdaus
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa banyak sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Belum lagi areal hutannya yang termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, serta alamnya nan indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas banyak terkadung potensi-potensi sumber daya alam yang belum tergali hingga kini.
Namun disisi lain, Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang serius. Berdasarkan data yang ada, selama tahun 2007, kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia secara umum masih memprihatinkan. Jumlah rakyat miskin masih cukup banyak, dan tidak mengalami perubahan secara signifikan meski berbagai usaha telah dilakukan. Malah menurut BPS, jumlah rakyat miskin di tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 35 juta orang. Di tahun 2007, meski pemerintah melalui BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, tapi Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%. Ini didasarkan pada perhitungan penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah USD 2/hari/orang, dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta orang pada 2007 dan 236,4 juta orang pada 2008.
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kebijakan pemerintah yang dilakukan pun cukup beragam, mulai dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang mulai tahun 2008 diganti dengan Subsidi Tunai Bersyarat. Akan tetapi, kebijakan tambal sulam seperti ini tampaknya tidak akan mampu menyelesaikan problematika kemiskinan dan kesejahteraan rakyat selama pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil.
Kebijakan publik dalam lintasan sejarah di Indonesia mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, dan pascareformasi menjadi alat kontrol terhadap masyarakat melalui beberapa aturan baik perda, UU, ataupun aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi kebijakan pada awalnya harus membela kepentingan rakyat melalui prasarana kebijakan yang lebih partisipatif. Akan tetapi, kebijakan yang dijalankan para elite negara selama ini cenderung bersifat elitis.
Sehingga dalam konteks inilah kebijakan publik dan pengambilan kebijakan para birokrat negara harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh banyak harapan pada administrator publiknya agar mereka selalu melayani pelayanan yang sebaik-baiknya kepada publik, sehingga fungsi policy maker secara legal formal memang tetap perangkat negara. Seyogianya dengan adanya partisipasi publik, yang ingin dicapai adalah transparansi dalam proses kebijakan publik. Kita bisa mengamati beberapa kebijakan publik, di antaranya kebijakan kesejahteraan rakyat, perumahan rakyat, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan politik.
Seiring dengan munculnya fenomena kebijakan publik di negara kita dan banyaknya masalah yang silih berganti yang harus dihadapi masyarakat, kini kebijakan tidak hanya pemerintah yang menetapkan, tetapi juga di tetapkan oleh DPR sebagai wakil rakyat. Secara garis besar mekanisme tersebut rupanya mampu menerobos kebijakan yang dilakukan pemerintah dan melampauinya kebijakannya yang dianggap taktis dan strategis. Akan tetapi, dari keputusan kedua kebijakan pascareformasi ini tidak ada kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Rakyat selalu dibebani dengan kebijakan yang tidak rasional demi untuk kepentingan sekelompok elit. Sebagai contoh, kebijakan dalam kasus BLBI, kenaikan harga BBM, sampai kepada akan munculnya RUU BHP yang akan semakin menyengsarakan rakyat.
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah mesti memiliki tingkat presisi yang tinggi. Sebab, negara adalah institusi paling absah dalam mengatur urusan rakyatnya. Oleh karena itu, negara paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Benar, negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta.
Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak-hak dasar, ekonomi, dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat "wajib" (obligation). Sementara itu, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat "tanggung jawab" (responsibility). Dalam bahasa Inggris, kata responsibility berasal dari dua suku kata, response dan ability. Artinya, respons atau tanggapan yang diberikan tidak bersifat wajib, tetapi disesuaikan dengan kemampuan atau ability. Sebagai ilustrasi, memberikan pendidikan dasar adalah tanggung jawab orang tua anak. Namun, manakala sesuatu sebab, seperti kemiskinan, membuat orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya, tanggung jawab orang tua tersebut gugur dengan sendirinya dan tidak dapat dikenakan sanksi. Negaralah yang kemudian harus memikul kewajiban memberikan pendidikan dasar bagi warganya yang tidak mampu. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang membela hak-hak dasar rakyat miskin, kebijakan "wajib belajar sembilan tahun" sebenarnya salah kaprah. Yang tepat adalah kebijakan "hak belajar sembilan tahun".
Meskipun kenyataannya kebijakan publik di tanah air lebih sering membela golongan kaya daripada kaum miskin, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut negara kesejahteraan. Pembukaan berikut pasal 27, 33, dan 34 UUD 1945, serta UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, secara gamblang mengharuskan negara memainkan peranan penting dalam memelihara fakir miskin dan anak telantar, serta mengembangkan sistem jaminan sosial nasional.
Oleh karena itu, untuk memperkuat kebijakan pemerintah yang pro publik sedikitnya ada dua agenda strategis yang perlu dilakukan. Pertama, mempertegas visi dan komitmen para policy makers terhadap pentingnya kebijakan sosial sesuai dengan khitahnya yang berpijak pada ideologi negara kesejahteraan, bukannya neoliberalisme seperti dipraktikkan selama iniKedua, membangun kesadaran dan partisipasi publik, khususnya peran dari partai politk dan organisasi-organisasi massa (ormas) yang ada, dengan begitu akan mampu memberi peran kepada pemerintah untuk meningkatkan komitmen dan keberpihakannya bagi kaum miskin.

Ulama Besar Pencetak Para Ulama Besar Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (1860-1916 M)

Imam Masjidil Haram

Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi merupakan salah satu ulama besar Nusantara kelas dunia. Puncak karier ulama asal Ranah Minang (Minangkabau) tersebut  adalah sebagai guru besar, imam sekaligus khatib di Masjidil Haram, Mekah Al Mukaramah pada penghujung abad 19 hingga awal abad 20 Masehi.

Di Tanah Suci umat Islam sedunia tersebut, Ahmad Khatib juga diamanahi sebagai mufti Mazhab Syafi’i. Di kiblat seluruh umat Islam tersebut Ahmad Khatib juga menjadi guru bagi ulama-ulama Melayu dan Jawa.

Banyak murid Ahmad Khatib yang diajari fiqih Syafi’i. Kelak di kemudian hari, dari ulama besar ini banyak lahir ulama-ulama besar di Indonesia, di antaranya, Haji Abdul Karim “Haji Rasul” Amrullah (ayah Buya Hamka), Haji Abdullah Ahmad (pendiri Sumatera Thawalib); KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

Keturunan Padri

Nama lengkap Ahmad Khatib adalah Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari Rahimahullah.

Ia dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec Ampek Koto, Kab Agam, Prov Sumatera Barat pada Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan Padri (ulama) yang benar-benar menentang penjajahan Belanda.

Abdullah, kakeknya atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khatib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat di belakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syekh Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Alquran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh ayahnya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekah untuk menyelesaikan hafalan Alqurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekah, terutama yang mengajar di Masjid Al Haram. Di antaranya adalah Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’i   (1259-1330 H);  Penulis I’anatuth Thalibin Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) dan Mufti Madzhab Syafi’i Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304).

Salah satu kebiasaan, Ahmad Khatib di Mekah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli.

Karena seringnya Ahmad Khatib mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Al Kurdi terhadap Ahmad Khatib dibuktikan dengan dijadikannya ulama asal Minangkabau tersebut sebagai menantu. Ahmad Khatib sempat ragu menerima lamaran karena tidak adanya biaya yang mencukupi. Ia pun menolak dengan alasan apa adanya, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjadikannya menantu.

Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Ahmad Khatib. Hal itu dilakukan Al Kurdi karena ia melihat kepribadian Ahmad Khatib yang mulia dan keilmuannya yang luar biasa.

Tentang pengambilan Syeikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Al Kurdi: “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa Arab kecuali setelah belajar di  Mekah?”

“Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertakwa,” jawab Al Kurdi seketika.

Pada kesempatan lain, Ahmad Khatib bertemu dengan Syarif ‘Anunur Rafiq dengan cara yang unik untuk menjadi Imam Masjid Al Haram. Suatu ketika ia shalat berjamaah yang diimami langsung Syarif 'Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah. Mengetahui kesalahan bacaan itu, Ahmad Khatib yang saat itu shalat di belakang imam dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Usai shalat, Syarif 'Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.

Lalu ditunjukkannya Ahmad Khatib yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif 'Aunur Rafiq mengangkatnya sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.

Namun sayang, di tempat suci itu, ada juga ulama yang dengki. Adalah Muhammad Sa’id Babsil, seorang ulama yang juga menjadi guru di  Masjidil Haram. Babsil yang juga Mufti dari Mazhab Syafi’i merasa iri dan merasa tidak senang melihat non Arab memperoleh tempat mengajar di pusat pengajaran Kota Mekah.

Maka ketika Ahmad Khatib baru mengajar di Masjidil Haram, ia dilempari batu oleh orang suruhan Babsil. Namun Babsil, tidak bisa berbuat lebih dari itu, lantaran Ahmad Khatib mendapatkan perlindungan dari Syarif ‘Aunur Rafiq.

Pembaharu Minangkabau

Meski hingga menghembuskan nafas terakhirnya di Mekah, namun ia juga dapat dikatakan sebagai pembaharu dan penerus kaum Padri di Minangkabau. Melalui kitab yang ditulisnya serta muridnya yang berasal dari Minangkabau Abdullah Ahmad, ia mengkritik kaum Adat yang meski sudah beragama Islam tetapi tetap menerapkan adat yang bertentangan dengan hukum Islam.

Salah satu adat yang diserang Ahmad Khatib adalah hukum waris. Kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.

Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.

Pemahaman dan pendalaman dari Ahmad Khatib ini kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib.

Ahmad Khatib pun memberikan kritik keras terhadap teologi Kristen yang dibawa penjajah Belanda. Dalam kitabnya yang berjudul Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep tuhan yang ambigu.

Selain itu, Ahmad Khatib juga pakar dalam berbagai disiplin ilmu di antaranya ilmu falak,  geometri, trigonometri. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.

Lebih dari empat puluh kitab telah ditulisnya. Karya tulisnya pun dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab (setidaknya 26 kitab) dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (setidaknya 21 kitab).

Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat yang bertentangan dengan Islam, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Alquran & Sunah.[] joko prasetyo dari berbagai sumber.

Sumber: http://mediaumat.com/sosok/5035-114-ulama-besar-pencetak-para-ulama-besar.html

APAKAH KERAJAAN SAUDI MEWAKILI ISLAM?

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Di saat umat Islam di Indonesia merasa dalam posisi terzalimi, karena kasus penistaan terhadap agama Islam belum juga diselesaikan oleh negara; di saat penguasa di negeri ini justru tampak memusuhi Islam dan umatnya, tidak sedikit yang menyuarakan harapan di media sosial kepada Raja Salman, yang nota bene adalah pelayan dua tanah suci, Makkah dan Madinah. Itu semua tampak dari penyambutan yang begitu rupa diberikan oleh sebagian umat Islam. Pertanyaannya, benarkah Kerajaan Arab Saudi dan Rajanya adalah representasi Islam?

Sebelumnya, Imam Shamsi Ali, telah menulis bahwa Kerajaan Arab Saudi bukan representasi Islam. Alasannya, karena sistem Monarchi itu sendiri bukan sistem Islam. Begitu tulis Imam Shamsi. Selain itu, diakui atau tidak, fakta Kerajaan Saudi juga tidak menerapkan syariat Islam juga tampak di dalam kehidupan masyarakatnya, terutama di kota-kota metropolitan, seperti Riyadh, Jeddah dan lainnya.
Selain itu, mereka juga menerapkan sistem ekonomi dan politik Kapitalisme, dengan stock market [bursa saham], sistem uang kertas [fiat money], parlemen, dan lain-lain. Meski dalam beberapa aspek, masih mempertahankan hukum Islam, seperti dalam urusan hudud dan jinayat.

Kerajaan Arab Saudi [KSA], yaitu Najed, Hijaz dan sekitarnya, adalah bagian dari Jazirah Arab. Jazirah Arab sebelumnya diperintah dengan Islam hingga akhir era Khilafah ‘Utsmaniyyah. Ketika Ibn Saud diangkat menjadi amir Najed, kemudian Hijaz diintegrasikan ke dalam wilayah Saudi, wilayah ini masih tetap diperintah dengan Islam. Sampai akhirnya, ‘Abdul ‘Aziz bin Saud mengubah sistem pemerintahan dari keemiran syar’i menjadi sistem Monarchi. Sejak saat itu hingga sekarang, sistem pemerintahan di Saudi bukan merupakan sistem Islam. Karena sistem Monarchi bukan sistem Islam.

Sistem Monarchi mempunyai hukum dan istilah tertentu, maka apa yang dilakukan secara simbolis, seperti pengambilan bai’at oleh kelompok tertentu, tidak bisa mengajukan maupun menangguhkan sistem tersebut, dan tidak bisa mengubahnya menjadi sistem Islam, karena secara substansial tetap bukan merupakan sistem Islam.

Selain itu, faktanya bai’at yang diambil untuk mengangkat raja, baik untuk mengangkat Raja Saud, atau Raja Faishal, tetap tidak bisa menjadikan seseorang sebagai penguasa yang memerintah dengan sistem Monarchi, tetapi sistem Monarchi, putra mahkota dan hukum-hukum yang digunakan itu sendiri yang sesungguhnya menjadinya sebagai penguasa yang memerintah dengan sistem Monarchi. Baik bai’at itu sudah maupun belum dilakukan, bagi mereka bai’at itu hanya seremonial dan simbolik, untuk menipu khalayak dan menyesatkan logika publik, tetapi sama sekali tidak mempunyai pengaruh dalam pengangkatan penguasa.

Ini dari aspek sistem pemerintahan, dan bai’at yang bersifat simbolik. Adapun dari aspek hubungan luar negeri, hubungan luar negeri KSA tidak dibangun berdasarkan akidah Islam, bukan pula untuk mengemban dakwah Islam.

Karena itu, secara qath’i, politik luar negeri KSA bukan sistem politik luar negeri Islam. Jika kita tambahkan, bahwa politik luar negerinya mengikuti AS atau Inggris, selain itu KSA mengikatkan dirinya dengan hukum internasional, maka politik luar negerinya jelas tidak berdasarkan sistem Islam.

Sistem ekonomi di KSA juga merupakan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem kufur, sehingga tak ada yang tersisa kecuali sistem sanksi dan muamalah. Ini dimulai dari Raja Faishal yang memasukkan hukum-hukum Barat ke negerinya secara bertahap untuk menggantikan hukum Islam. Apapun kondisinya, andai saja yang tersisa hanya muamalah dan sanksi hukum saja, dimana peradilan di sana menjalankan hukum syara’, maka kondisi ini tidak cukup menjadikannya menjadi Negara Islam.

Karena itu, KSA bukan negara Islam, tetapi sama dengan negara-negara Arab yang lain, seperti Yordania, Kuwait, Maroko dan negara-negara non Islam lainnya. KSA jelas tidak ada bedanya dengan Yordania, kecuali peradilan di Saudi, yang menerapkan hukum syara’, baik dalam muamalah maupun sanksi hukum. Peradilan Yordania menerapkan hukum Islam dalam urusan pribadi, tetapi tidak dalam konteks yang lain. Sedangkan yang lain, baik Saudi maupun Yordania, sama saja.

Dengan demikian, saat ini, terutama setelah Khilafah ‘Utsmaniyyah runtuh 3 Maret 1924, atau sejak 93 tahun yang lalu,  jelas tidak ada yang menjadi representasi Islam. Saat ini tidak ada satu pun negara di dunia Islam yang bisa disebut sebagai Negara Islam dalam pengertian yang sesungguhnya. Kalau pun ada yang disebut Negara Islam sebutan itu hanyalah klaim, tetapi faktanya tidak.

“SIFILIS” dan “SEPILIS” dari Sudut Pandang Kesehatan Komunitas

Oleh : Reza Wiguna, S.Kep.,Ns

(Mahasiswa Pasca Sarjana Keperawatan Komunitas, Anggota HELP-S)

Sifilis dan Sepilis. Dua penyakit yang sama-sama mengancam. Yang pertama sifilis, suatu penyakit komunitas yang di awam dikenal juga sebagai si raja singa. Sementara Sepilis merupakan akronim dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, penyakit komunitas yang tak kalah berbahayanya. Namun yang mana di antara keduanya yang lebih berbahaya? Tulisan ini mencoba melakukan analisa dari sudut pandang kesehatan komunitas.

Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri spiroset treponema pallidum. Penularannya melalui kontak seksual, dan bisa menyebar melalui pajanan cairan tubuh penderitanya misalnya melalui darah, infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran. Orang yang telah terinfeksi penyakit sifilis umumnya tidak akan merasakan gejala selama bertahun-tahun. Sehingga mereka yang terkena sifilis, banyak yang tidak meyadari bahwa dirinya telah terinfeksi penyakit sifilis. Gejala umum yaitu terdapat perlukaan atau dikenal dengan istilah “chancre” dapat ditemukan dimana saja tetapi paling  sering  di  alat kelamin. Perjalanan penyakit ini cenderung kronis dan bersifat  sistemik.

Ancaman epidemisnya juga tidak main-main. Sifilis dalam penelitian Stamm, 2010. Disebutkan telah menginfeksi 12 juta orang pada tahun 1999, dengan lebih dari 90% kasus terjadi di negara berkembang. Penyakit ini memengaruhi 1,6 juta kehamilan setiap tahunnya, mengakibatkan aborsi mendadak, dan kematian janin dalam kandungan.

Namun, dengan kemajuan pengobatan dan ‘kesadaran’ penggunaan kondom, jumlah penderita sifilis ini sudah menurun di dekade ini. Bahkan, saat ini sudah mulai langka pasien berobat dengan penyakit sifilis.

Namun bagaimana dengan wabah sepilis?

Sepilis adalah trilogi penyakit yang meliputi sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ketiganya adalah paket yang tidak bisa dipisahkan. Sekulerisme   adalah sebuah pemahaman  yang memisahkan agama dari kehidupan. Di tengah kehidupan saat ini perlu diketahui bahwa paham sekulerisme bukan melarang adanya agama, melainkan agama harus dipisah dari aturan kehidupan. Lalu Pluralisme merupakan paham yang mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat relatif, dimana pandangan ini menyatakan semua agama adalah sama. Sedangkan Liberalisme merupakan sebuah pandangan yang didasarkan pada kebebasan dan persamaan adalah yang utama. Secara umum, liberalisme dicirikan oleh kebebasan berpikir.

Sepilis merupakan wabah yang tidak hanya mengivasi fisik saja. Dia adalah infeksi yang telah lama menjangkit kehidupan ummat manusia, dan uniknya penyakit jenis ini seringkali asimptomatik pada awal serangannya, sehingga banyak masyarakat tertipu, tidak sadar dan tenang-tenang saja kala terinfeksinya.

Dimana letak ancaman dan bahayanya? apa yang menyebabkan “sepilis” bisa menimbulkan sesuatu yang bersifat endemis merugikan masyarakat?

Jika penyakit sifilis menyerang kelompok dalam lingkup yang lebih kecil, hal itu berbeda dengan sepilis yang wabahnya multidimensional. Kita bisa melihat secara luas dan nyata di sekitar kita. Begitu berjejalnya kerusakan yang kita lihat. Jutaan kasus aborsi, peningkatan kasus narkoba, rusaknya keharmonisan keluarga, ribuan anak – anak terlantar, eksploitasi perempuan, kejahatan seksual, dan sebagainya. Instabilitas ekonomi, penguasaan sumber daya alam oleh segelintir orang,  budaya korupsi yang mewabah, kerusakan lingkungan, ketidakadilan yang menimpa umat islam serta penistaan agama adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu tersebut.

Berdasarkan survei Gallup belum lama ini menunjukkan 50 persen rakyat Amerika Serikat mendukung legalisasi perkawinan sesama jenis. Meningkatnya penderita HIV/AIDS tidak menghentikan preferensi terhadap hubungan homoseksual. Padahal di AS sekitar 1,2 juta dari total populasi terinfeksi HIV pada tahun 2011. Yang mengenaskan, data 2009 menyebutkan sekitar 4.000 anak-anak terjangkit virus AIDS melalui penularan dari ibu-anak.  Seks bebas di Amerika Serikat saja, sejak 1973 sampai 2002, seks bebas telah mengakibatkan 42 juta aborsi atau 4.000 perhari. Sedangkan di Indonesia dilaporkan dalam laman antaranews.com lebih parah lagi, aborsi terjadi 2,5 juta jiwa/tahun. Jumlah ini lebih banyak dari total korban perang Perang dunia II (407.316 jiwa) + Perang Dunia I (116.708 jiwa).

Dan kita harus jujur mengatakan, semua yang terjadi di atas hanyalah kumpulan simptom yang datang belakangan sebagai hasil dari sepilis yang sebelumnya di masa inkubasinya asimptomatis. Dan kini gejala kesakitannya telah menjelma menjadi sebuah ledakan.

Wabah sepilis sudah lama menyebar di masyarakat. Namun sayangnya diagnosisnya boleh dikatakan terlambat. Diagnosis penyakit ini baru berhasil ditegakkan di kala penyakit ini sudah terlanjur mengganas. Di Indonesia, sebagai sebuah komunitas yang terjangkiti wabah ini, sepilis telah lama bersarang, namun tegaknya diagnosis ini boleh dikatakan terlambat. Dalam munas ke VII tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haramnya penyakit tersebut. Ya, kita menyambut gembira, MUI telah memberikan resep untuk menghancurkan sepilis hingga ke etiologinya. Sayang, resep itu dianggurkan saja oleh negara sebagai pengidap penyakit. Negara lebih rela menggunakan terapi dari dukun-dukun palsu.

Padahal Allah, sang pemilik semesta telah jauh-jauh hari menegaskan ancaman bagi orang yang tidak mau menggunakan terapi dari-Nya:

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imran [3]: 85).

Spiral kemunduran berputar semakin cepat, terapi yang tidak berdasarkan evidence based hanya akan mengakibatkan tingkat morbiditas semakin lama semakin tinggi. Umat ini harus segera disadarkan. bahwa kehidupan saat ini sedang terinfeksi paham “sepilis”. Sudahlah, mari beralih ke terapi yang sudah terbukti dan teruji secara klinis, yakni kembali pada tatanan kehidupan yang didasarkan pada islam. Sebab, dengan serangkaian sistem kehidupanya, Islam merupakan solusi bagi seluruh problematika dan penyakit kehidupan manusia. Wallahu Aa’lam.

http://helpsharia.com/2017/03/13/sifilis-dan-sepilis-dari-sudut-pandang-kesehatan-komunitas/

ISLAM ITU MENAKUTKAN: SEDIKIT-SEDIKIT DIANCAM NERAKA?

Oleh Ust Choirul Anam

Sempat terpikir oleh saya pada saat kecil bahwa adanya neraka dengan siksa yang sangat pedih, menunjukkan bahwa Allah itu jahat sekali, bukan Maha Pengasih-Penyayang. Jika Allah memang Maha Pengasih-Penyayang, seharusnya semua orang dimasukkan surga. Orang-orang yang salah diampuni saja. Toh, sangat mudah bagi Allah mengampuni siapa saja dan juga tidak ada ruginya bagi Dia untuk mengampuni siapa saja.

Namun kemunculan pemikiran itu segera saya kubur dalam-dalam, bukan karena dapat jawaban yang memuaskan, tetapi khawatir adanya pemikiran itu menyebabkan Allah terpancing kemarahan-Nya dan memasukkan saya ke neraka. Jadi, beragama itu tampak sesuatu yang menakutkan. Hidup terus dihantui dengan ancaman dan siksaan yang tiada terperi. Hidup terasa sangat terkekang.

Setelah dewasa, saya mulai sering mendengar orang-orang mengatakan hal itu, yaitu oleh mereka yang menggugat agama, terutama dari mereka yang berhaluan ateis dan liberal. Penyataan dan gugatan mereka persis seperti yang pernah terbersit pada masa kecil saya.

Benarkah Allah swt itu jahat? Bagaimana memahami masalah ini?

Alhamdulillah saya menemukan jawabnnya dari halaqoh. Untuk sekedar berbagi ilmu, saya share dalam tulisan ini.

*****
Allah swt menciptakan segala sesuatu dengan hukum-hukum khusus yang berlaku padanya secara sempurna. Dengan hukum-hukum itulah alam ini ada dan berjalan dengan sangat teratur dan harmoni hingga detik ini. “Sesungguhnya Allah telah menciptakan hukum-hukum (qadar) atas segala sesuatu” (TQS. Ath-Talaq [65] 3)

Sebagian hukum tersebut, ada yang sudah diketahui manusia, namun sebagian yang lain belum diketahui oleh manusia. Hukum-hukum yang berlaku pada alam ini secara umum sering dinamakan Hukum Alam, atau diberi nama dengan nama orang yang menemukannya atau mengkajinya untuk pertama kali.

Sekadar contoh, sekarang ini, kita tahu bahwa saat ada dua materi yang memiliki massa, maka keduanya akan saling tarik-menarik. Besarnya gaya tarik ini sebanding dengan perkalian massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Hukum ini sudah ada semenjak bumi ini ada dan akan tetap ada sampai hari kiamat. Namun demikian, hukum itu secara matematis baru diformulasikan oleh Newton, sehingga hukum ini sering disebut Hukum Newton. Sekali lagi, hukum ini bukan buatan Newton. Hukum ini sudah ada sebelum Newton lahir, saat Newton hidup, dan tetap ada setelah Newton wafat.

Di dunia ini selain ada materi yang bisa kita kaji secara obyektif, ada juga fakta non-materi yang keberadaannya bisa kita ketahui secara pasti, tetapi hakikatnya kita tidak pernah tahu. Contoh paling sederhana adalah nyawa. Kita bisa mendeteksi makhluk yang masih bernyawa dan yang sudah tidak bernyawa. Kita tahu bahwa nyawa ada di dalam diri kita, tetapi kita tidak pernah tahu nyawa itu sebenarnya apa dan bagaimana. Keingin-tahuan tentang nyawa telah dipertanyakan oleh orang-orang pada masa lalu, masa sekarang, dan mungkin orang-orang yang akan hidup pada masa depan.

Keteraturan alam yang menakjubkan dalam segala hal, sebagaimana yang kita telah ketahui, membuktikan bahwa alam ini ada yang mengaturnya. Jika tidak ada yang mengatur, maka alam ini akan hancu berantakan dalam waktu sekejap dan tidak akan eksis hingga saat ini. Pengaturnya ini pasti Maha Sempurna, Maha Cerdas, Maha Kuat, dan Maha Segala-galanya. Di dalam Islam, pencipta dan pengatur ini adalah Allah swt.

Dengan mengamati terhadap materi-materi yang tampak, jelas bagi kita bahwa Allah swt, merupakan Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang. Segala hal yang memungkinkan kehidupan ini dilengkapi dan disediakan oleh-Nya dengan sangat sempurna, tanpa ada kekurangan sedikit pun. Di sudut mana pun kita melihat, yang ada hanyalah kesempurnaan yang menakjubkan. “Dialah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat yang tidak seimbang?” (TQS. Al-Mulk 3).

Segala sesuatu yang ada mengalami suatu proses dengan mengikuti hukum tertentu yang unik dan konsisten. Manusia yang diberi akal, naluri dan kebutuhan-kebutuhan jasmani menafsirkan semua proses alam yang terjadi sesuai dengan pemahaman-pemahamnya masing-masing. Proses-proses yang ada terkadang direspon dengan positif, terkadang direspon negatif. Proses-proses yang ada terkadang disenangi manusia, namun terkadang dibenci. Proses-proses itu terkadang dipahami oleh manusia, namun terkadang tidak mampu dipahami olehnya.

Kita akan ambil contoh Hukum Newton. Dua benda bermassa akan mengalami gaya tarik. Bumi memiliki massa, dan apel juga memiliki massa, maka keduaya akan saling tarik. Karena bumi jauh lebih besar dibanding apel, maka yang tampak oleh kita, apel jatuh ke bumi. Bukan hanya apel, semua benda di permukaan bumi tertarik ke bumi dan jatuh ke bumi. Jika ada benda yang tidak jatuh ke bumi, itu pasti ada gaya lain yang bekerja pada benda tersebut. Burung yang tidak jatuh ke bumi saat terbang, bukan karena burung tidak dipengaruhi gaya gravitasi bumi, tetapi pada gerakan sayap burung menghasilkan Gaya Archimedes ke atas, akibat aliran fluida udara pada saya-sayap burung tersebut. Gaya Archimedes itu mengimbangi gaya gravitasi sehingga resultannya (hasil akhirnya), burung tidak jatuh ke bawah. Demikian pula yang terjadi pada pesawat terbang.

Sekarang kita renungkan, seandainya kita memiliki barang yang sangat berharga, anggap saja terbuat dari bahan kaca yang jika terjatuh di lantai keramik kemungkinan besar akan pecah. Namun, karena keteledoran kita, kita menaruhnya di tempat sembarangan, akhirnya benda berharga itu jatuh dan pecah berkeping-keping.

Pertanyaannya, siapa yang memecahkan benda berharga tersebut?

Yang jelas benda tersebut jatuh karena proses alam atau karena gaya gravitasi Newton yang diciptakan Allah swt. Apakah Allah swt jahat karena hukumnya telah menyebabkan barang berharga kesayangan kita pecah berkeping-keping?

Kita bisa menjawab dengan pasti, bukan Allah swt atau hukum gravitasi yang jahat, tetapi kita sendiri yang salah karena tidak berhati-hati dalam menyimpan atau menaruh barang berharga tersebut dengan sembarangan.

Jika benda yang berharga itu sekarang kita ganti dengan “diri kita” yang sangat kita cintai. Misalkan karena suatu hal kita terjatuh dari lantai 10 gedung bertingkat, kira-kira apa yang akan terjadi? Dalam kondisi normal, kemungkinan besar kita akan meluncur ke bawah dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan saat membentur lantai, kita akan remuk dan terkoyak.

Pertanyaannya, siapa yang meremuk dan mengoyak tubuh kita?

Sekali lagi, kita jatuh karena hukum gravitasinya Allah. Apakah Allah swt jahat karena hukumnya telah menyebabkan diri kita hancur dan berserakan kemana-kemana?

Jika kita merenung dengan mendalam tidak ada yang jahat dalam proses ini. Proses ini memang terjadi dengan hukumnya gravitasinya Allah. Ini adalah proses alami. Dan kita pun sebenarnya sudah tahu tentang hal ini. Karena ada gaya gravitasi, jika kita berada dalam ketinggian, kita harus hati-hati, sebab jika sampai terjatuh dapat menyebabkan diri kita seperti telah disebutkan di atas.

Jika kita berpikir obyektif, di sini tidak bisa disimpulkan bahwa Allah jahat sekali. Justru sebaliknya, hukum gravitasi inilah yang membuat alam ini ada dan berjalan dengan keteraturan yang menakjubkan hingga detik ini. Seandainya, kita jatuh diberi AMPUN oleh Allah, sehingga bukan ke bawah, tetapi tetap diam di udara (agar kita selamat), maka alam ini justru akan hancur berantakan. Saat gravitasi hilang, sekejap saja, bulan akan lepas dari bumi dan tidak akan bergerak mengitari bumi. Bumi akan lepas dari matahari dan tidak akan mengitarinya. Dampak dari fenomena yang tampak sederhana ini, bumi dan semua planet yang ada akan hancur berhamburan dalam waktu kurang dari sepermilyar-milyar-milyar detik.

Namun, alhamdulillah hukum gravitasi itu selalu ada sehingga alam dan kehidupan masih ada dan berjalan dengan harmoni hingga detik ini.

Jika kita melanggar hukumnya Allah ini, berakibat hancur diri kita berkeping-keping. Allah tidak akan MENGAMPUNI kepada siapa saja yang berani melanggar hukumnya. Siapapun manusia akan sama dalam hubungannay dengan gaya gravitasi ini. Inlah contoh salah satu hukum Allah yang berlaku di dunia ini. Tentu masih ada jutaan hukum alam lain, bahkan tak terhingga hukum-hukum Allah lain yang berlaku di dunia ini. Hukum-hukum itu, sebagiannya telah diketahui dan dimanfaatkan oleh manusia, sebagiannya masih dalam proses penggalian dan kajian oleh manusia, dan sebagian besarnya belum diketahui manusia sama sekali. 

Hukum yang berlaku di alam ini diajarkan Allah kepada kita dengan pengindraan sehari-hari, lewat observasi secara mendalam terhadap fenomena alam yang terkondisikan di laboratorium, dan sebagian lagi lewat pengajaran dari makhluk Allah yang tahu lebih dahulu.

Tentu, ada orang-orang tertentu yang terkadang diberi hukum lain dalam kondisi tertentu yang kita tidak pernah tahu hakikatnya. Itulah yang dinamakan mukjizat.

*****
Telah dibahas, di dunia ini, selain ada materi yang bisa kita kaji secara obyektif dan ilmiah, ada juga fakta non-materi yang hakikatnya tidak pernah kita tahu. Contoh paling sederhana adalah nyawa. Kita hanya tahu kalau yang hidup itu bernyawa, sementara mati adalah ketiadaan nyawa. Apa itu nyawa? Bagaimana hukum-hukum yang berlaku pada nyawa? Apa yang terjadi setelah manusia mati? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak bisa kita jawab dengan pasti karena kita tidak tahu hakikatnya. Kita yang belum pernah mati, tidak akan mampu mengetahui apa yang terjadi setelah kematian. “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh (nyawa). Katakanlah: ‘ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’(TQS. Al-Isra’ [17]: 85).”

Tapi yang tidak meragukan sama sekali adalah bahwa nyawa kita akan meninggalkan tubuh kita, atau kita pasti akan mati. Kita tidak tahu kapan, namun secara statistik, mayoritas manusia yang sekarang hidup nyawanya akan keluar dari raganya atau mati, tidak lebih dari 70 tahun yang akan datang. Jadi, mati itu pasti akan terjadi pada kita dalam waktu yang tidak terlalu lama, siapa pun kita. “Katakanlah: ‘sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesuangguhnya kematian akan menemui kami’”. (TQS. Yunus [10] 49).

Banyak orang berpikir, bahwa nyawa dan kehidupan setelah tiadanya nyawa tidak bisa diverfikasi secara ilmiah dan obyektif, sehingga sebagain manusia mengabaikannya. Namun, tindakan ini justru gegabah, karena mengabaikan sesuatu yang pasti akan terjadi. Sebab, jika sesuatu tidak bisa diverifikasi dengan satu metode, harusnya diverifikasi dengan metode lain, bukan hanya diabaikan dan dibiarkan tanpa kejelasan.

Karena Allah mengetahui bahwa manusia dengan akalnya tidak akan mengetahui nyawa dan kehidupan setelah ketiadaan nyawa, maka dengan kasih sayang-Nya Allah memberi tahu kepada kita hukum-hukum yang berlaku pada kehidupan pasca kematian. Dengan pengetahuan itu, diharapkan manusia melakukan tindakan yang terbaik untuk kehidupannya dan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan kesengsaraan hidupnya.

Informasi-informasi Allah tentang kehidupan pasca kematian terdapat pada kitab suci-Nya, yaitu al-qur’an. Informasi-informasi inilah yang sering dinamakan petunjuk (hudan).

Dengan demikian, jika kita ingin memverifikasi dan memvalidasi hukum-hukum tentang kehidupan setelah kematian, maka yang mestinya harus kita lakukan adalah memverifikasi dan memvalidasi kebenaran al-qur’an. Bahkan al-qur’an menantang kita semua agar memverifikasi dan memvalidasinya.

Penting untuk diketahui, hukum itu berlaku baik kepada yang sudah memahami atau pun yang belum memahami. Sekedar contoh, hukum gravitasi Newton yang berlaku di dunia ini, berlaku kepada seorang Fisikawan yang sangat fasih dengan Hukum Newotn tersebut, dan juga berlaku kepada orang awam yang tidak pernah mempelajari Ilmu Fisika sama sekali. Seoarang Fisikawan atau orang awam, jika jatuh dari lantai 10 gedung bertingkat, sama-sama hancurnya.

Di dalam al-qur’an dinyatakan bahwa setiap yang kita lakukan akan berdampak pada kehidupan akhirat. “Siapa saja yang berbuat kebaikan (khoir) seberat dzarroh, ia akan melihat (dampak) atas kebaikan yang dilakukannya. Dan siapa saja yang berbuat keburukan (syar) sebesar dzarroh, ia juga akan melihat (dampak) atas keburukan yang dilakukannya” (TQS. Al-Zalzalah [99] 7-9).

Berbeda dengan baik dan buruk terhadap fenomena fisik duniawi yang dapat diobservasi, sehingga kita dapat mengambil kesimpulan murni dengan akal kita. “Baik” dan “buruk” yang berkaitan dengan kehidupan pasca kematian juga tidak kita ketahui. Sebab segala sesuatu tentang kehidupan pasca kematian tidak pernah bisa ketahui hakikatnya. Oleh karena itu, “baik” dan “buruk” juga tidak bisa kita definisikan sendiri. Sebenarnya, boleh saja kita mendefinisikan sendiri tentang “baik” dan “buruk”, tetapi tidak menjamin itu sesuai dengan hukum-hukum alam yang berlaku di akhirat yang memang kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, yang dinamakan “baik” dan “buruk” adalah yang dinyatakan “baik” dan “buruk” oleh Allah swt atau Rasul-Nya yang telah diberi mandat untuk menyampaikan informasi dari Allah swt.

Di akhirat pun berlaku hukum alam, yaitu hukum alam akhirat, sebagaimana yang diinformasikan Allah di dalam al-qur’an. Ada sesuatu yang jika kita lakukan membawa manfaat kepada kita, itulah “kabaikan”, ada sesuatu yang jika kita lakukan membawa petaka kepada kita, itulah “keburukan”.

Dengan demikian, saat Allah memberi tahu agar manusia jangan mengerjakan yang “buruk”, namun manusia justru melakukannya dengan sengaja atau melakukannya karena tidak mau tahu, maka hukum alam akhirat berlaku padanya. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Allah swt kejam atau atau tidak. Ini adalah hukum alam yang berlaku padanya di akhirat.

Jika kita di lantai 10 gedung bertingkat, dan kita melompat, baik dengan sengaja atau tidak, Fisikawan atau orang awam, kita akah terjatuh dan hancur. Itulah hukum yang berlaku. Oleh karena itu, jika kita tidak mau terjatuh dan hancur, jangan lakukan sesuatu yang menyebabkan kita terjatuh dari lantai 10.

Jika Allah sudah memberi tahu kepada kita, bahwa memakan riba itu berdampak bahwa hukum alam di akhirat akan menyebabkan kita hancur dan menderita, maka yang mesti dilakukan adalah meninggalkan riba. Jika kita terus mengambil riba, maka berlaku hukum alam akhirat, sebagaimana hukum alam dunia yang berlaku kepada orang yang melompat dari gedung lantai 10.

Tentu di akhirat ada banyak sekali hukum alam yang berlaku, sebagaimana banyak sekali hukum alam yang berlaku di dunia. Namun, dunia yang berbeda, sangat mungkin hukum alamnya juga berbeda.

*****
Untuk hidup di akhirat dengan bahagia, kuncinya adalah taat Allah secara sempurna, atau dalam bahasa lain masuk Islam secara kaffah. BerIslam secara kaffah itu bukan seperti digambarkan dalam sinetron, yang kemana-kaman membawa tasbih dan memakai jubah. Bukan seperti itu yang dinamakan kaffah.

Hukumnya Allah itu terangkum dalam lima hukum, yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram. BerIslam secara kaffah itu kriterianya sederhana, yaitu melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram. Sebagai tambahan, sebisa mungkin melakukan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dan jika karena suatu hal melakukan yang haram, harus berusaha menyadari kesalahan itu dan berusaha tidak melakukannya lagi. Ini yang dinamakan taubat.

Hukum yang lima itu akan selalu ada dalam setiap aktivitas manusia, apa pun itu. Mulai manusia bangun tidur sampai bangun tidur lagi. Bukan hanya aktivitas fisik, hukum tersebut juga berlaku pada aktivitas hati. Apa saja yang disimpan di dalam hati, juga berdampak dalam kehidupan akhirat nanti. Hukumnya Allah itu dalam bahasa lain juga disebut syariah Allah atau syariah Islam.

Mungkin ada sebagian orang yang berpikir, yang penting saya melaksanakan sebagian syariah, namun dengan secara sadar melanggar syariah yang lain. Menurutnya, itu lebih baik daripada tidak melaksanakan sama sekali. Jika yang dimaksud itu adalah melaksanakan sebagian keharaman atau meninggalkan sebagian kewajiban, maka orang tersebut seperti hati-hati saat di gedung tinggi agar tidak jatuh, tetapi dengan sembrono menyentuh kabel listrik tegangan tinggi. Dia memang tidak hancur karena jatuh dari gedung, tetapi terbakar karena tersetrum arus listrik.

Memang tidak semua harus kita jalankan, tetapi ada standar minimal yang mesti diperhatikan. Ini bukan hanya tentang kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan akhirat. Standar minimal itu adalah: yang wajib dilaksanakan dan yang haram ditinggalkan.

Hal-hal yang wajib dan haram ini ada dalam setiap aktivitas manusia, baik dalam interaksinya dengan orang lain, dengan dirinya sendiri, maupun dengan Tuhannya.

*****
Jadi, siksa yang berlaku di akhirat sama sekali bukan menunjukkan kejamnya Allah swt. Tetapi justru Maha Kasih-Sayangnya Allah kepada kita. Kita diberi tahu hukum alam yang berlaku di alam akhirat tersebut dan hubungannya dengan keputusan kita dan perbuatan kita di dunia ini. Kita diberi tahu, mana yang berbahaya dan mana yang membawa manfaat. Kita diberitahu Allah sejak awal, sebelum kita hidup di alam akhirat dengan hukum alamnya yang khas.

Ini persis orang yang membeli mobil baru di toko. Pabrikan memberi tahu kepada kita cara mengemudikan kendaraan yang akan membawa keselamatan dan juga meninformasikan hal-hal berbahaya yang semestinya tidak dilakukan agar kita selamat dalam hidup berkendara. Saat pabrikan menyampaikan bahayanya mengendarai mobil dengan kecepaan 150 km/jam, misalnya, karena jika tidak hati-hati akan menyebabkan kecelakan parah, sama sekali tidak bisa ditafsirkan bahwa Pabrikan dengan prosedur-manualnya SANGAT KEJAM kepada kita. Apalagi dianggap sebagai PENGEKANG KEBEBASAN. Itu hanya petunjuka untuk kebaikan kita dan menghindarkan bahaya dari kita. Selanjutnya terserah kita, untuk:

*Percaya atau tidak

*Mengikuti atau tidak

Dampak dari kepatuhan kita atau ketidak-patuhan kita bukan kembali kepada Pabrikan mobil tersebut, tetapi kembali kepada kita. ”Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”(TQS. Al-Israa’ 7)

Jadi, beragama Islam itu bukan sesuatu yang menakutkan, yang selalu dijejali dengan ancaman. Juga bukan tali kekang kebebasan kita. Tetapi bergama Islam justru sesuatu yang penuh dengan rohmah, kita dikasih tahu mana perbuatan yang berdampak baik dan berdampak buruk, sebelum semua itu terjadi. Sehingga kita bisa memaksimalkan perbuatan baik, dan menghindarkan perbuatan buruk.

Allah sama sekali tidak kejam dan juga tidak dzalim kepada kita, tetapi kita sendiri yang sering bertindak kejam dan dzalim kepada diri kita. Diri ini kita korbarkan hanya untuk menuruti kemauan jangka pendek kita, sementara diri ini kita biarkan hancur dan menderita pada kehidupan jangka panjang. “Tuhan tidak menzalimi mereka itu, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (TQS. Ar-Rum 9)

Wallahu a’lam.

Cinta Bersujud di Mihrab Taat

Oleh: Salim A. Fillah

JULAIBIB, begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri jasmani serta kedudukannya di antara manusia; kerdil dan rendahan.

Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan dia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat kemasyarakatan yang tak terampunkan.

Julaibib yang tersisih. Tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh.

Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak. Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, ”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”

Demikianlah Julaibib.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhlukpun bisa menghalangi. Julaibib berbinar menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.

”Ya Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil, ”Tidakkah engkau menikah?”

”Siapakah orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib, ”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. ”Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. ”Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah,

”Menikahkan puteri kalian.”

”Betapa indahnya dan betapa berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon menantunya. ”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”

”Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah. ”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”

”Julaibib?”,  nyaris terpekik ayah sang gadis.

”Ya. Untuk Julaibib.”

”Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. ”Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.”

”Dengan Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita telah menolak berbagai lamaran..”

Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. ”Siapakah yang meminta?”

Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

”Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah lalu membaca ayat ini;

Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al Ahzab [33]: 36)

Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, ”Allahumma shubba ‘alaihima khairan shabban.. Wa la taj’al ‘aisyahuma kaddan kadda.. Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Doa yang indah.

Sungguh kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi orang seperti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar agar cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, mentaati Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali ketidaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.

Isteri Julaibib mensujudkan cintanya di mihrab taat. Ketika taat, dia tak merisaukan kemampuannya.

Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihinya. Isteri Julaibib telah taat kepada Allah dan RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah telah berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga. ”Ya Allah”, lirih Sang Nabi, ”Limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Alangkah agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita. Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak. Maka sang gadis menyanggupi pernikahan yang nyaris tak pernah diimpikan gadis manapun itu. Juga tak pernah terbayang dalam angannya. Karena ia taat pada Allah dan RasulNya.

Tetapi bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya pada dirinya. Ada tekanan-tekanan yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski ketika taat ia tak mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan bukakan jalan keluar jika ia menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubris. Ia yakin bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang mentaatiNya.

Maka benarlah doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi semuanya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang isteri shalihah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat kepadanya. Adapun isterinya, kata Anas ibn Malik, tak satupun wanita Madinah yang shadaqahnya melampaui dia, hingga kelak para lelaki utama meminangnya.

Saat Julaibib syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi beliau akan mengajarkan sesuatu kepada para shahabatnya. Maka Sang Nabi bertanya di akhir pertempuran, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Tidak Ya Rasulallah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.
“Tidak Ya Rasullallah!” Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.
Rasulullah menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.

Para shahabat tersadar.

“Carilah Julaibib!”

Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh.

Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatkannya secara pribadi. Ketika kuburnya digali, Rasulullah duduk dan memangku jasad Julaibib, mengalasinya dengan kedua lengan beliau yang mulia. Bahkan pula beliau ikut turun ke lahatnya untuk membaringkan Julaibib. Saat itulah, kalimat Sang Nabi untuk si mayyit akan membuat iri semua makhluq hingga hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Ya. Pada kalimat itu; tidakkah kita cemburu?

MENGAPA PARA ILMUAN BANYAK YANG ATHEIS ATAU SEKULER?

Oleh: Dr. Choirul Anam

Semakin dalam seseorang mengkaji ilmu pengetahuan dan alam ini, maka akan semakin dalam keimanannya kepada Allah swt, sebab mereka melihat dengan “mata kepala” sendiri keselarasan dan ketepatan semua proses yang terjadi di alam ini. Dan semua itu mustahil terjadi dengan sendirinya sebagai peristiwa kebetulan, sebab sebuah keteraturan pastilah ada yang mengaturnya. Sebuah proses kebetulan hanya mungkin terjadi sesekali pada proses sederhana, tetapi keteraturan pada proses yang sangat kompleks secara kontinyu hanya terjadi pada proses yang diatur atau dikendalikan atau terencana dengan sangat baik. Pengendali dan perencana alam yang sangat menakjubkan ini pastilah sesuatu yang Maha Cerdas dan Maha Sempurna. Dialah kausa prima, ujung dari segala ujung pencarian, sumber dari segala sumber energi, asal dari segala eksistensi, Dialah Pencipta alam semesta, Allah swt.

Dengan pernyataan tersebut, mestinya para ilmuan itu merupakan orang-orang dengan keimanan yang menghunjam, tetapi mengapa realitasnya justru banyak ilmuan yang atheis atau minimal tidak menganggap penting agama? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ilmu pengetahuan sekarang?

*****
Kebanyakan orang sering menjawab bahwa mereka atheis atau sekuler karena belum mendapat hidayah. Meskipun jawaban ini mungkin cukup memuaskan bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian orang lain belum cukup memuaskan. Sebab, hidayah merupakan proses kompleks yang hanya diketahui hasil akhirnya. Sebagian orang terkadang ingin tahu prosesnya dan alasan yang lebih rasional di balik suatu fenomena, termasuk fenomena banyaknya ilmuan yang atheis atau minimal menganggap bahwa agama bukan sesuatu yang penting.

Dr. Salim Frederick dalam bukunya yang bejudul “Political and Cultural Invasion” menganalisis bahwa fenomena banyaknya ilmuan yang atheis atau tidak menganggap penting agama sangat erat hubugannya dengan paradigma ilmu yang mereka yakini dan ini merupakan bagian integral dari filsafat ilmu saat ini. Salah satunya, ilmu pengetahuan telah direduksi hanya untuk menjawab pertanyaan “how (bagaimana)”, tetapi dianggap tabu untuk menjawab “why (mengapa)”. Bahkan seandainya, pertanyaan “why” diajukan, itu pun hanya sekedar untuk membantu menjawab pertanyaan “how”. Pertanyaan tentang “how” inilah yang dikejar dan diteliti dengan sangat mendalam oleh para ilmuan. How did things happen? How will things happen? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu berkecamuk pada pikiran para ilmuan.

Beberapa Fisikawan mungkin memiliki pertanyaan yang sangat mengagetkan, misalnya: Bagaimana alam semesta diciptakan? Terus terang pertanyaan ini merupakan sesuatu yang luar biasa, pertanyaan yang teramat sangat rumit. Perlu diketahui bahwa pertanyaan tersebut bukan untuk sekedar gaya-gayaan para Fisikawan, tetapi mereka benar-benar mencurahkan segala pikiran, tenaga, dana dan semua potensinya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang sangat menarik, berkat kerja keras mereka, setiap saat mereka mendapatkan serpihan-serpihan jawaban, lalu serpihan-serpihan jawaban itu mereka rangkai secara terus-menerus tanpa kenal lelah, untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana alam semesta diciptakan? Meski demikian, mereka tak pernah ingin menjawab pertanyaan lanjutannya: Mengapa alam semesta diciptakan?

Para Fisikawan dengan bidang penelitian yang lain, para Ahli Kimia, para Ahli Biologi, dan semua ilmuan juga sama. Mereka sangat serius dan mencurahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab pertanyaan mereka masing-masing tentang “how”, tetapi tidak tentang “why”.

Dari pertanyaan “how” memang telah menghasilkan perkembangan sains yang sangat mengagumkan. Einstein telah memberikan penjelasan yang mengagumkan tentang ruang-waktu, Hubble telah menjelaskan dengan sangat mencengangkan tentang Big-Bang dan pengembangan alam semesta dari pergeseran merah frekuensi radiasi bintang-bintang, Crick dan Watson telah menjelaskan tentang sangat menakjubkan tentang kompleksitas pewarisan sifat dan perkembangan makhluk hidup dengan bentuk spiral molekul DNA, dan beribu-ribu fenomena lain yang sangat menakjubkan. Bukan hanya sains, tetapi dengan menjawab pertanyaan “how” juga telah menghasilkan teknologi-teknologi canggih yang tak terlintas dalam pikiran generasi sebelumnya. Kini telah terdapat teknologi yang memungkinkan kita untuk mengobrol dengan teman dan keluarga yang berada di benua yang berbeda, tercipta “dunia maya” dengan media sosial, pesawat-pesawat ruang angkasa, berbagai organ tubuh tiruan, dan teknologi tinggi lainnya.

Namun demikian, pertanyaan dengan “why” tidak terjawab dengan memadai. Memang, para ilmua juga menjawab pertanyaan tentang “why”, tetapi hanya “why” yang berhubungan langsung dengan “how”. Misalnya pertanyaan: Mengapa apel jatuh? Dijawab oleh Newton, karena gravitasi bumi. Mengapa ada gravitasi bumi, dijawab Eisntein karena kehadiran massa benda yang mendistorsi ruang (space). Mengapa kehadiran massa suatu benda mendistorsi ruang? Belum terjawab hingga saat ini. Meskipun jawaban Newton dan Einstein tampak sebagai jawaban tentang “why”, tetapi sebenarnya masih jawaban tentang “how” atau bagaimana alama ini bekerja.

Pertanyaan tentang “why” yang sebenarnya belum terjawab, seperti pertanyaan: Mengapa alam semesta ini ada? Mengapa dunia ini ada? Mengapa  ada gravitasi? Mengapa ada ruang dan waktu? Mengapa manusia hidup? Mengapa manusia dilahirkan dan akhirnya mati? Mengapa fenomena alam harus mengikuti hukum tertentu?

Semua pertanyaan “mengapa” ini memang dibiarkan tidak dijawab oleh para ilmuan. Ini pun memunculkan pertanyaan: Mengapa mereka tidak mau menjawabnya?

*****
Mengapa mereka tidak mau menjawab pertanyaan “mengapa”? Sebab mereka meyakini bahwa dalam filsafat ilmu, ilmu itu telah diklasifikasi menjadi berbagai cabang ilmu dan seorang ilmuan harus fokus dengan spesialisasi ilmu tertentu.

Seorang ilmuan fokus pada satu cabang ilmu. Mereka, setiap hari bahkan setiap saat, bergulat dan bergelut dengan spesialisasi ilmunya. Dengan demikian mereka menjadi pakar (expert) di bidang-nya masing-masing. Karena sangat fokus ini mereka mampu menemukan hal-hal baru pada bidangnya yang sangat mengagumkan. Seorang ilmuan ahli cacing misalnya, tiap hari ia bergulat dengan cacing, hingga “mengetahui” dengan detil tentang cacing, ibaratnya dari “ujung kuku hingga ujung rambutnya”. Tapi jangan pernah tanya mereka tentang semut. Dia akan menjawab dengan datar: “saya bukan ahli semut”. Demikian juga sikap pakar-pakar pada bidang yang lain. Sikap ini memang sangat positif, sehingga hanya hanya orang yang ahli di bidangnya yang akan bicara memberi penjelasan. Sementara orang yang tidak ahli di bidangnya, ia akan diam mendengarkan, tidak akan banyak bicara, apalagi “memberi fatwa” tanpa bekal ilmu yang cukup.

Para ilmuan, mereka sangat ahli tentang fenomena fisis pada bidangnya masing-masing.

Kembali ke pertanyaan “mengapa”, menurut mereka adalah pertanyaan metafisika, bukan pertanyaan fisika (fisis). Oleh karena itu, pertanyaan tentang “mengapa”, jawabannya bukan di ilmu pengetahuan, tetapi di agama. Jadi, sekulerisme memang menjadi paradigma ilmu. Jika selama ini kita mengetahui sekulerisme itu ada dalam politik-ekonomi-hukum, maka sekuler juga mejadi paradigma ilmu. Sains-teknologi dan agama itu dua hal yang berbeda. Sains dan teknologi itu berurusan dengan fenomena fisis, sementara fenomena meta-fisis itu hanya berhubungan dengan agama. Agama dan sains-teknologi tidak ada hubungannya sama sekali.

Terdapat banyak fenomena dimana jawaban agama dan sains-teknologi bahkan bertolak belakang terhadap suatu fenomena. Oleh karena itu mereka harus menerima “takdir” bahwa sains-teknologi dan agama memang dua hal yang berbeda, yang tidak berhubungan sama sekali. Keduanya terpisah sama sekali.

Sekedar contoh menurut doktrin “agama” (yang ada di Barat), bumi adalah pusat tata surya (geosentris), sebab manusia adalah makluk utama, dan makhluk utama pastilah ada di tempat utama, dan tempat utama pastilah sebagai pusat dan dikelilingi yang lain, bukan mengelilingi yang lain. Karena itu, bumi yang dihuni makhluk utama haruslah dikelilingi bulan, matahari, dan planet-planet yang lain. Sementara itu, sains yang dasarnya adalah observasi dan penarikan kongklusi secara logis menjelaskan bahwa bulan memang mengitari bumi, tetapi matahari tidak mengelilingi bumi. Bumi dan planet-planet yang lain justru berputar  matahari (helio-sentris).

Contoh yang lain, menurut doktrin “agama” (yang ada di Barat) dikenal konsep trinitas, dan salah satunya adalah tuhan anak, yang lahir sekitar 2000 tahun yang lalu. Sementara menurut sains berdasarkan pengamatan teropong Hubble bahwa alam muncul melalui fenomena Big-Bang yang terjadi milyaran tahun yang lalu. Jika tuhan anak baru lahir 2000 tatun atau anggap saja jauh lebih lama sekitar 20.000 tahun, lalu siapa yang memunculkan alam semesta dan megaturnya dengan keteraturan yang menakjubkan dalam segala aspeknya sejak milyaran tahun lalu.

Inilah misalnya yang dikatakan dengan jujur oleh Fisikawan terkenal Lipson terkait dengan asal-usul alam semesta: “Satu-satunya penjelasan yang dapat diterima adalah PENCIPTAAN. Saya mengetahui bahwa hal ini adalah SANGAT HARAM dan TABU bagi ahli Fisika, bahkan bagi saya sekalipun, tetapi kita tidak bisa menolak sebuah teori yang tidak kita sukai jika bukti-bukti eksperimental benar-benar mendukungnya”. Mereka percaya pencipta, tetapi pencipta alam yang sebenarnya, bukan pencipta versi “agama” yang dinilainya irasional dan hanya kumpulan doktrin.

Dalam konstruksi paradigma Barat, “agama” dan sains memang dua hal yang berbeda dengan doktrin-doktrin dan filosofi yang berbeda. Orang harus memilih apakah percaya “agama” atau percaya sains. Orang tidak bisa percaya keduanya, karena keduanya memiliki doktrin yang saling kontradiktif. Bisa ditebak meski orang awam lebih percaya “agama”, tetapi para ilmuan tentu lebih percaya sains dan teknologi yang diperoleh dari hasil pengamatannya sendiri dan kolega-koleganya yang memiiki paradiga yang sama. Itulah mengapa para ilmuan tampak sebagai orang-orang “atheis” dan “sekuler” yang cenderung tak peduli dengan agama.

Karena itu, para ilmuan berusaha menghindari untuk menjawab pertanyaan tentang “why”, sebab itu pertanyaan tentang metafisika. Itu pertanyaanya “agama”, dan sangat tabu ilmuan bicara “agama”. Dengan bahasa “halus” mereka menjawab bahwa para ilmuan tidak fokus tentang urusan metafisika dan agama. Namun, sebagian ilmuan yang berani berterus terang, mereka menganggap agama hanyalah kumpulan pengabdi mitos, kumpulan orang-orang tak rasional, dan kumpulan orang-orang dengan pemikiran jumud.

Begitulah kira-kira gambaran paradigma ilmu pengetahuan saat ini. Paradigma tersebut tersebut telah mengkerangkeng ilmu dan para ilmuan pada zona sempit yang bersifat sangat teknis. Meskipun menghasilkan ledakan sains dan teknologi yang luar biasa, paradigma tersebut telah memenjara para ilmuan pada khususnya dan manusia pada umumnya untuk tidak berani menerobosnya pada pertanyaan yang membebaskan, yaitu: Mengapa dunia ini ada? Mengapa manusia hidup? Dan untuk apa hidup ini?

Konsekuensinya di Barat dan di dunia yang menjadikan Barat sebagai kiblat, terciptalah masyarakat atheis dan sekuler secara masif. Ini bukan fenomena yang terjadi secara kebetulan, tetapi terjadi secara sistematis oleh paradigma ilmu yang mereka gunakan.

*****
Tentu saja di mana pun selalu ada orang-orang yang berpikir out of the box, keluar dari zona aman dan nyaman, untuk kemudian menembus batas-batas yang dipagari oleh paradigma ilmu dan dianggap tabu oleh komunitas dan masyarakatnya.

Dr. Maurice Bucaille, misalnya. Dia berani dianggap tabu dan menembus batas pagar paradigma ilmu. Beliau beusaha meneliti secara obyektif, kebenaran sains dan kitab-kitab suci agama-agama. Peneliian dan penelusuran itu beliau tulis dalam bukunya yang terkenal “ La Bible le Coran et la Science”.

Dalam penelitiannya, Ia menempatkan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al-Qur’an yang dianggap sebagai kumpulan kitab agama-agama samawi. Menurut dia, alam adalah ciptaan Sang Pencipta dan kitab suci adalah firman Sang Pencipta. Oleh karena itu keduanya pasti menghasilkan kesimpulan yang sama pada fenomena yang sama. Tentu saja, sains adalah sesuatu yang progresif yang terus berkembang, demikian pula penafsiran kitab suci. Namun, ada suatu titik dimana hal-hal fundamental dianggap proven dan tidak mengalami perkembangan lagi kecuali pada hal-hal yang bersifat permukaan. Pada titik itulah, ia membandingkannya. Ia membandingkan bukan hanya satu fenomena alam, tetapi banyak fenomena alam yang dianggap proven dan sampai pada titik yang diyakini kebenarannya.

Dari penelitian tersebut, Ia memeperoleh kesimpulan bahwa terdapat keselarasan yang mengagumkan antara sains modern dengan al-qur’an, sebaliknya ia mendapat banyak fenomena yang kontradiktif antara sains modern dengan kitab suci yang lain. Dengan demikian, al-qur’an memang kitab suci yang berasal dari Sang Pencipta. Sedangkan selainnya, mungkin berasal dari Sang Pencipta, tapi mungkin mengalami perubahan-perubahan secara historis oleh pihak-pihak tertentu.

Terdapat ribuan ayat al-quran yang menantang manusia untuk mengkaji alam secara seksama dan mengkritisi kebenaran al-qur’an. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih bergantinya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengaturan angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (TQS. Al-Baqarah [2]: 164). “Katakanlah: (‘Kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya (al-qur’an)” (TQS. Yunus [10]: 38).

Oleh karena, menganggap semua agama bertentangan dengan sains modern, merupakan cara pandang sempit yang dikungkung oleh opini sempit dan paradigma yang perlu dikoreksi. Agama itu tidak hanya satu, yaitu yang dominan di Barat. Di luar itu ada agama yang berbeda dengan agama yang dominan di Barat, yaitu Islam.

Namun, apakah para ilmuan menerima Islam begitu saja? Meski banyak yang akhirnya menemukan kebenaran di dalam Islam, tetapi banyak yang justru menganggap Islam lebih hina dibanding agama yang eksis di Barat. Jika di Barat, agama yang eksis hanya dianggap bertentangan dengan Sains, Islam lebih parah lagi sudahlah dianggap kontradiksi dengan Sains, Islam juga mengajarkan terorisme, pembunuhan, konflik, peperangan dan segala atribut negatif lainnya.

Inilah salah satu medan dakwah fikriyah yang juga harus dipikirkan oleh umat Islam. Atheisme dan sekulerisme tidak bisa diluruskan hanya dengan marah dan gebar-gembor. Atheisme, sosialisme, dan sekulerisme ini merupakan suatu paham tentang kehidupan yang bersemanyam dengan kuat di hati dan pikiran para pengikutnya. Pemikiran tersebut memiliki bangunan dan pondasi yang menopangnya. Meskipun kritik pada sebagian aplikasi praktisnya terkadang berdampak, tetapi selama paradigma dan fondasinya tidak berubah, maka secara keseluruhan tidak akan ada perubahan apa-apa.

Satu-satunya cara untuk mencabut dan membongkar paham tersebut hanya dengan menghadirkan pemahaman ideologi Islam dengan bahasa yang dapat dipahami mereka. Pada titik ini, battle for minds and hearts adalah battle yang sebenarnya. Inilah sebenarnya esensi dari dakwah fikriyah wa siyasiyah.

Wallahu a’lam.