Buku yang menarik dan provokatif ini akan mengubah cara Anda berpikir tentang demokrasi. Menantang nilai-nilai konvensional tentang demokrasi, Daniel Ross menunjukkan bagaimana dari asal-usulnya sampai ke masa depan globalnya, kekerasan merupakan bagian integral dari sistem demokrasi. Dia mengacu pada contoh-contoh tentang terorisme global dan keamanan, perang di Irak dan Afghanistan, hubungan antara penguasa kolonial dengan penduduk pribumi, dan perlakuan terhadap para pencari suaka.
Buku yang sangat topikal ini mengkaji bagaimana demokrasi mencoba untuk mengatasi perang terhadap terorisme yang berpotensi tanpa akhir. Penulis berpendapat bahwa asal-usul dan jantung demokrasi pada dasarnya adalah kekerasan dan bahwa ancaman serangan teroris tidak hanya mengekspos bentuk-bentuk baru ‘kekerasan demokratis’ tetapi dapat mengubah watak demokrasi yang kita upayakan untuk dipertahankan. Apakah kita memiliki hak, misalnya, untuk membawa demokrasi kepada orang lain dengan jalan kekerasan? Karya yang mengungkap dan mengganggu kemapanan ini harus dipelajari oleh setiap pemimpin demokratis selagi masih ada waktu.
Judul lengkap buku ini, Violent Democracysecara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Demokrasi Kekerasan”. Buku yang ditulis oleh Daniel Ross ini diterbitkan oleh Cambridge University Press, Amerika Serikat, pada bulan Februari 2005.
Buku dengan ketebalan sebanyak 192 halaman ini mempunyai ISBN 978-0521603102 untuk versi cetak sampul tebal. Isi buku ini disusun menjadi 6 bab diluar Bab Pendahuluan dan Bab Kata Akhir. Buku ini juga dilengkapi dengan Daftar Catatan Kaki, Daftar Pustaka, dan Daftar Indeks.
Daniel Ross, penulis buku ini memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu politik dari Universitas Monash. Dia juga menjadi co-director dari film The Ister.
Ulasan Isi Buku
Berikut adalah ulasan terhadap buku ini yang diberikan oleh Kevin Carnahan dari Hendrix College, Conway Arkansas, AS. Ulasan tersebut dimuat dalam situs web
academia.edu.
Demokrasi, sejauh keberadaannya, bertengger di belakang leviathan (monster laut) Hobbes. Ini mungkin tampak sebagai klaim aneh karena banyak pihak menganggap demokrasi sebagai antitesis yang secara inheren bersifat damai terhadap konsepsi otoritarian kedaulatan. Tetapi menurut Daniel Ross, konsep demokrasi yang digambarkan belakangan ini mengaburkan hakikat demokrasi yang sesungguhnya, dan dalam prosesnya topeng itu benar-benar membumi dan kerawanan berlansung terus-menerus.
Demokrasi modern mengandalkan kisah-kisah mitis yang mereka ciptakan untuk mengaburkan kekerasan yang melekat di landasannya. Menurut mitos-mitos itu, demokrasi muncul dari penolakan terhadap tirani yang keras. Kedaulatan paksa oleh raja ditolak demi kedaulatan ‘rakyat’.
Kenyataannya, berdirinya demokrasi tidak pernah begitu polos tanpa dosa. Pertama, pendirian ini memerlukan pembangunan ‘rakyat’. Agar ada, demokrasi harus memutuskan siapa yang dianggap sebagai seseorang, dan siapa yang dianggap sebagai anggota dari rakyat tertentu ini. Pendirian ini juga mencakup definisi tentang tapal batas.
Rakyat ini harus dipisahkan secara fisik dan dilindungi dari orang lain yang bukan bagian darinya. Pendirian demokrasi itu membutuhkan penolakan destruktif terhadap tatanan sosial yang telah ada sebelum munculnya demokrasi. Yurisdiksi teritorial sebelumnya, ‘masyarakat’ asli, dan struktur sosial tradisional dihapuskan dengan pembentukan demokrasi ini.
Akhirnya, demokrasi membutuhkan pendiri yang berdaulat. Pendiri ini mungkin berupa kekuatan asing, pemimpin nasionalis, atau sebagian kecil dari ‘rakyat’ yang diajukan itu. Tidak pernah rakyat itu sendiri. ‘Rakyat’ yang dimaksud tidak ada sebelum deklarasi demokrasi itu. Dengan demikian, semua demokrasi tergantung pada pendiriannya atas tindakan berdaulat yang mendahului dan menetapkan rakyat yang akan berdaulat.
Betapapun suksesnya mitos mereka mengaburkan eksistensinya, tak terelakkan bahwa demokrasi selalu tidak aman dan dibayangi oleh hantu-hantu kekerasan mereka sendiri. Karena ‘rakyat’ dari demokrasi dibangun dalam proses pendirian demokrasi itu, legitimasi demokrasi tidak dapat, dengan sendirinya, menjadi persoalan sejarah.
Legitimasi harus bergantung pada rakyat ini dalam menerima deklarasi pendirian berdaulat itu dan terus-menerus menegaskan kembali fakta keberadaan mereka sebagai rakyat ini dalam tapal-batasnya. Namun tidak ada jaminan penerimaan semacam itu. Demokrasi selalu merupakan janji untuk dipenuhi pada saat berikutnya ketika rakyat itu mungkin atau mungkin tidak melegalkannya dengan mengidentifikasi dengannya.
Demokrasi juga tidak pernah meninggalkan ketergantungan tersembunyi mereka pada kedaulatan non-demokratis. Untuk mempertahankan perbatasan, identitas, dan fungsi masyarakat demokratis, demokrasi terkadang membutuhkan intervensi struktur non-demokratis.
Dengan demikian Australia mengijinkan Gubernur Jenderal untuk menggulingkan Perdana Menterinya dalam kasus kebuntuan birokrasi dan Amerika mengijinkan Mahkamah Agung untuk membuat suatu kasus putusan spesifik yang menentukan pemilihan demokratis yang sah.
Di masa perang demokrasi juga tergantung pada sistem otoritas non-demokratis untuk tindakan yang efisien dan efektif. Di sini kedaulatan eksekutif/militer selalu dalam ketegangan dengan kedaulatan rakyat. Menyangkal adanya kebutuhan akan struktur-struktur ini adalah mengingkari situasi demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasi, untuk bertahan sebagai ‘rakyat ini’, harus meminta bantuan pada struktur semacam itu. Demokrasi selalu mengendarai punggung sang leviathan. Tetapi jika demokrasi tergantung pada leviathan, ia juga selalu terancam oleh leviathan itu.
Setiap pengerahan kedaulatan non-demokratis dalam sebuah demokrasi akan menawarkan kemungkinan munculnya tirani sederhana yang terselubung dalam kedok demokrasi. Tanpa penilaian yang realistis terhadap kekerasan di jantung demokrasi, demokrasi pasti meremehkan kemudahannya dalam bertransformasi menjadi fasisme.
‘Perang terhadap teror’ yang tidak terbatas, Ross mengkhawatirkan, akan menawarkan kesempatan untuk transformasi semacam itu. Perebutan kekuasaan untuk menangguhkan hukum pada bagian eksekutif Amerika mewakili penampilan baru dan berbahaya dari leviathanitu. Mahkamah Agung atau Kongres Amerika mungkin masih bisa menjerat leviathan, tetapi tidak seorang pun boleh meremehkan realitasnya dengan alasan bahwa ia tidak dapat tumbuh dari demokrasi.
Itulah garis argumen utama dalam buku Violent Democracy. Argumen ini dieksplorasi dan dijelaskan melalui perlakuan Ross yang seringkali terasa provokatif terhadap perkembangan terbaru dalam politik dan hukum Australia dan Amerika. Status orang Aborigin Australia, reaksi yang tepat terhadap perlindungan perbatasan, landasan filosofi politik neo-konservatif Amerika, pembenaran atas perang di Afghanistan dan Irak, dan penunjukan serta perlakuan terhadap para petempur musuh, semuanya menjadi bahan pembicaraan dalam karya ini.
Klaim Ross ini bukannya tanpa kontroversial. Perspektifnya sendiri tentang legitimasi dan moralitas yang didasarkan pada individualisme Hobbes, seharusnya didekonstruksi selengkap dengan pandangan demokrasi yang secara sengaja dia serang. Pandangannya tentang perang oleh negara tanpa hukum di antara bangsa-bangsa lain juga harus ditantang dengan penggunaan penuh hukum perang kontemporer dan signifikansi dari tradisi perang yang adil secara keseluruhan.
Lebih lanjut, interpretasinya tentang motif dan karakter tindakan politik tertentu terbuka untuk kritik. Namun, Ross menawarkan di sini kerangka kerja yang menarik untuk berpikir tentang demokrasi, dan telah menyajikan narasi lugas yang menyoroti bahaya nyata di kancah politik kontemporer.