Selasa, 03 September 2019

Politik dalam Pandangan Islam

Politik seringkali dinilai sebagi sesuatu yang buruk, kotor bahkan jahat. Padahal, dengan politik, keadilan bisa diwujudkan. Dengan politik juga kesejahteraan masyarakat akan bisa didapat. Bagaimana politik dari tinjauan Islam?
Islam bukan hanya agama ritual melainkan agama ideologi yang memiliki tatanan yang sempurna. Karenanya, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.
Islam mengatur permasalahan politik atau yang dikenal dengan istilah ‘siyasah’. Menurut terminologi bahasa siyasah menunjukkan arti mengatur, memperbaiki dan mendidik. Sedangkan secara etimologi, siyasah (politik) memiliki makna yang berkaitan dengan negara dan kekuasaan.
Islam dan politik adalah dua hal yang integral. Oleh karena itu, Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Namun, Islam juga mengajarkan bagaimana bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah adanya kedzaliman oleh penguasa.
Maka jika ada yang mengatakan bahwa Islam tidak usah berpolitik, adalah salah besar karena berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Jadi kita harus memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam’ hukumnya fardhu (wajib).

Rasulullah dan Para Sahabatpun Berpolitik

Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).
Pun dalam sejarah perjuangan para sahabat terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwasannya agama Islam memang memiliki otoritas terhadap politik. Salah satu yang menjadi bukti sejarah perpolitikan pada masa itu adalah ketika mengangkat seorang khalifah (kepala negara pengganti Rasulullah).
Dalam mengangkat seorang khalifah, para sahabat memberikan syarat kepada khalifah agar memegang teguh Al Quran dan As Sunnah. Karena mereka tahu betul bahwa politik tidak bisa dipisahkan dari agama, sehingga dalam pengangkatan khalifah harus didasarkan pada pertimbangan yang terbaik.
Jadi terbukti bahwa eksistensi politik sudah ada sejak jaman Rasulullah, bahkan jauh sebelum itu politik sudah ada sejak manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu.
Sayangnya, dijaman ini banyak masyarakat yang anti dengan politik. Dalam pandangan masyarakat, politik dianggap sebagai sesuatu yang berbau kelicikan, kebusukan, serta pandangan negatif lainnya.
Terlebih saat ini, kita melihat ada sebagian penguasa muslim yang tidak konsisten menjalankan kebijakan politiknya di atas ketentuan hukum dan etika syariat. Akibatnya, mereka menetapkan peraturan yang menyimpang dari ajaran Islam. Maka banyak orang yang beragama Islam tidak sepakat dengan adanya politik dalam Islam.
Padahal, dalam hal ini umat muslim harus cerdas dan bisa memahami betapa pentingnya berpolitik sebagai landasan munculnya gerakan Islam melalui dua arah, yaitu secara kultural dan struktural. Aktivitas gerakan Islam secara kultural akan terfokus pada proses dakwah di suatu negara agar tetap sesuai dengan ajaran Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan secara struktural dapat mempengaruhi dibatalkannya atau direvisinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan membawa kerugian terhadap masyarakat.
Jadi sudah dipastikan bahwa berpolitik itu dihalalkan karena memiliki pengaruh besar dalam mempertahankan ajaran Islam di suatu negara asalkan tetap memegang teguh prinsip- prinsip Islam.

Minggu, 09 September 2018

Tafsir Ayat Ahkam (I): Pengertian Dan Macam Ayat Ahkam

TAFSIR AYAT AHKAM

A.    Pengertian dan Macam Tafsir
1.      Etimologi
Tafsir berasal dari isim masdar dari wajan (تفعيل). Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaituيفسّر تفسيرا فسّرyang artinya menjelaskan. Pengertian inilah yang dimaksud di dalam lisan al arab dengan كشف المغطلى ( membuka sesuatu yang tertutup ).
a.       Pengertian tafsir secara bahasa ditulis oleh Ibnu Mahdzur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafaz.
b.      Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh para ulama tafsir dengan ايضاح و التبيين ( menjelaskan dan menerangkan ).
c.       Di dalam kamus bahasa indonesia kata “ tafsir” diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an
d.      Ada juga beberapa makna lain dari tafsir secara etimologi yaitu:
a.       Menampakan (الاظهار),
b.      menyibak (الكشف) dan
c.       merinci (التفصيل).
2.      Terminologi
Pengertian tafsir menurut para ulama tafsir:
a.      Imam al-Zarkasiy :
علم يعرف به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم و بيان معانيه و استخراج احكامه و حكمه
"Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum atau hikmah darinya"
b.      Imam al-Kilbi dalam kitab al-Tashil:
شرح القران و بيان معناه و الأفصاح بما يقتضيه بنصّه إو إشارته أو نجواه
"Menguraikan al-Qur`an dan menguraikan maknanya, memperjelas makna tersebut sesuai dengan tuntutan nash atau adanya isyarat yang mengarah ke arah penjelasan tersebut atau dengan mengetahui rahasia terdalamnya."
c.       Syekh Abd al-Azhim al-Zarqani dalam kitabManahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur`an
علم يبحث عن القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
"ilmu yang membahas tentang al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"

Berdasarkan pendapat ulama diatas sebagian ulama ada yang menyebutkan ilmu dan ada yang tidakdalam definisi tafsir. Jalan tengah untuk merumuskan kembali definisi klasik tafsir ini agaknya perlu dua rumusan yang berbeda paradigmanya.
1)      Tafsir sebagai ilmu dengan definisi yang merumuskan aspek-aspek terkait seperti asbab al-nuzul, makkiyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, 'am dan khash, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum, amtsal, kisah dan lain sebagainya yang berhubungan dengan persoalan instrumental.
2)      Tafsir sebagai metode dengan definisi yang merumuskan aspek-aspek terkait seperti petunjuk-petunjuk, hukum-hukum, perintah dan larangan, halal dan haram, janji dan ancaman, makna-makna dan lain sebagainya yang berhubungan dengan produktifitas.
Kesimpulan dan titik perhatian dari definisi tafsirdi atas adalah meliputi :
a.       Pemahaman terhadap al-Qur`ân.
b.      Menjelaskan makna ayat.
c.       Mengeluarkan hukum-hukum.
d.      Menggali hikmah-hikmah Titik fokus definisi ini adalah ilmu.

3.      Macam Tafsir
a.      Tafsir riwayat
Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-Quran.
Contoh dari penafsiran ini iyalah:
QS Al-Maidah (5): 1:
يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلي الصيد وأنتم حرم إن الله يحكم ما يريد
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan oleh Allah dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به…..
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang disembelih atas nama selain Allah

b.      Tafsir Dirayah
Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat.
Tafsir dirayah bukanlah menafsirkan al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda Nabi:"Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia harus bersedia menempatkan dirinya di neraka. Dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran dengan ra'yunya maka hedaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka." (HR. Turmudzi dari Ibnu Abbas)

Ra'yu yang dimaksudkan oleh hadits di atas adalah hawa nafsu. Hadits-hadits di atas melarang seseorang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu atau sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, dan lain sebagainya. Dengan demikian, tafsir dirayah ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran.
Contoh penafsiran dengan ra’yu!!
وَمَنْ كَانَ فِيْ هَدِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الاَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
Artinya; "barangsipa yang buta (hati) di (dunia) ini, niscayaiaakanbuta pula di akhirat dan lebih sesat jalannya". (QS. Al-Isra': 72).
Orang tidak paham akan berpendapat bahwa setiap orang yang buta akan mengalami nasib celaka, rugi, dan masuk neraka. Padahal yang dimaksudkan buta disini bukanlah buta mata, melainkan buta hati.

B.     Ayat Ahkam
1.      Pengertian Ayat Ahkam
a.       Ayat
Ayat adalah Ayat Al-Qur’an. Menurut istilah ahli tafsir : “Ayat adalah beberapa jumlah, atau susunan perkataan yang mempunyai permulaan dan penghabisan yang dihitung sebagai suatu bagian dari surat “. Adapun kumpulan ayat dalam jumlah tertentu dan nama tertentu disebut Surat. 
Ahkam
Adapun Ahkam adalah jama’ dari hukum. Dengan demikian Ayat-Ayat Ahkam berarti Ayat-Ayat yang bertalian dengan berbagai macam hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
 Dalam pembahasan Ayat-Ayat Ahkam, selalu menggunakan term Ayat Al-Qur’an, dan dapat dikatakan tidak pernah menggunakan term Surat, karena Ayat sifatnya lebih fokus. Sekalipun demikian dalam pembahasan hukum, dalam Ayat ini dibahas pula potongan-potongan ayat, atau satuan kalimat (lafadz), atau bahkan satuan huruf dalam setiap kalimat yang terdapat dalam sebuah Ayat.
Dalam Ilmu Tafsir , ada pembahasan khusus mengenai macam-macam lafadz dalam sebuah Ayat. Pembahasan tersebut meliputi
  1. Am dan Khash;
  2. Muthlaq dan Muqayyad;
  3. Mujmal, Musyki, dan Khofi; 
  4. Mufassar, Mubayyan dan Mufashshal ;
  5. Muhkam dan Mutasyabbih;
  6. Muawwal;
  7. Dzahir dan Muhtamil;
  8. Manthuq dan Mafhum;
  9. Muraddif dan Musytaraq fih;
  10. Hakikat dan  Majaz
  11.  Kinayah.
2.      Macam-Macam Ayat Ahkam
Dalam kedudukannya Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari : 
a.       Hukum thaharah (kebersihan);
b.      Hukum ibadah (shalat, zakat, puasa dan haji)
c.       Hukum makanan dan penyembelihan
d.      Hukum perkawinane. Hukum waris
e.        Hukum perjanjian
f.       Hukum pidana
g.      Hukum perang dan
h.      Hukum antar bangsa-bangsa
Dalam buku Sejarah dan Ilmu Tafsir, karangan Prof. Dr. TM. Hasbiy Ash-Shiddiqie , Ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua bagian:
1.      Hukum-hukum ibadat
Hukum muamalat yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk mengatur perhubungan hamba dengan Tuhannya. Ibadat ini terbagi kepada tiga macam:
a.       Ibadah badaniyah, seperti shalat dan shaum.
b.      Ibadah maliyah, ijtimaiyah, yaitu zakat dan sedekah.
c.       Ibadah ruhiyah, badaniyah, yaitu haji, jihad, dan nadzar.

2.      Hukum-hukum muamalat
Hukum muamalat yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk menyusun dan mengatur perhubungan manusia satu sama lainnya, serta perikatan antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan masyarakat, atau perseorangan dengan negara.

Muamalat dibagi kepada:
a.       Hukum-hukum ahwal syakhsyiyah, yaitu : hukum-hukum yang rapat perhubungannya dengan pribadi manusia sendiri sejak lahir hingga matinya, yaitu kawin, cerai, iddah, hubungan kekeluargaan, penyusuan, nafkah, wasiat dan pusaka.
b.      Hukum-hukum muamalat madaniyah, yaitu hukum-hukum jual beli, sewa menyewa. 
c.        Hukum-hukum jinayah (pidana), yaitu : hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara hidup manusia, kehormatan dan harta.
d.      Hukum-hukum ini diterangkan secara terperinci dalam Al-Qur’an.
Perbuatan manusia yang diterangkan Al-Qur’an, ialah : pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan tidak disengaja, mencuri, merampok, zina, dan q
adzaf.
e.       Hukum-hukum internasional, umum dan khusus. Masuk ke dalamnya hukum-hukum yang disyari’atkan untuk jihad, aturan-aturan perang, perhubungan antara ummat Islam dengan ummat lain, hukum-hukum tawanan dan rampasan perang.
f.       Hukum-hukum acara.
g.      Hukum-hukum dustur, yaitu hukum-hukum yang diatur untuk menggariskan hubungan antara rakyat dengan negara. 
h.      Hukum-hukum yang berpautan dengan kekeluargaan : kawin, cerai dan pusaka.
i.        Urusan-urusan pidana, hukum membunuh, mencuri dan sebagainya.
j.        Hukum-hukum internasional, yaitu : hukum-hukum perang, perhubungan negara dengan negara dan rampasan-rampasan perang.
k.      Hukum-hukum perdata : Jual beli, riba, gadai, sewa menyewa dan sebagainya. 
3.      Jumlah Ayat Ahkam
Jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit, bahkan tidak mencapai 1/10 dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Ada beberapa pendapat ulama tentang jumlah ayat ahkam:
a.       Diperkirakan jumlah ayat hukum lebih kurang 250 ayat, ada pula yang menyatakan 200 ayat seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
b.      Syekh Ibn al-Arabi dalam kitab “Ahkam al-Quran” : 400 ayat
c.        Syekh Abdul Wahhab Khallaf, jumlahnyamenyebutkan sekitar 228 ayat.
d.      Bahkan jika pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia mengatakan ayat hukum di dalam Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat.
e.       Imam al-Ghazali beliau berpendapat sekitar 500 ayat
Dapat di simpulkan terlepas dari perbedaan jumlah ayat hukum, apakah 150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu, namun yang jelas ada semacam kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat hukum tidak lebih dari 500 ayat.
Selanjutnya Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masing-masing tersebut berjumlah :
a.       Berhubungan dengan ibadah, sebanya 140 Ayat
b.      Mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c.       Berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d.      Berhubungan dengan hukum-hukum perang dan damai, tugas pemerintahan, sebanyak 35 Ayat.
e.       Berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
f.       Mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masing-masing tersebut berjumlah :
a.       Berhubungan dengan ibadah, sebanyak 140 Ayat.
b.      Mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c.       Berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d.      Berhubungan dengan perdata, sebanyak 70 Ayat.
e.       Berhubungan dengan hubungan Islam dan bukan Islam, sebanyak 25 Ayat.
f.       Berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
g.      Mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.
h.      Mengenai hubungan kaya dan miskin, sebanyak 10 Ayat.